Damian pemuda urakan, badboy, hobi nonton film blue, dan tidak pernah naik kelas. Bahkan saat usianya 19 tahun ia masih duduk di bangku kelas 1 SMA.
Gwen, siswi beasiswa. la murid pindahan yang secara kebetulan mendapatkan beasiswa untuk masuk ke sekolah milik keluarga Damian. Otaknya yang encer membuat di berkesempatan bersekolah di SMA Praja Nusantara. Namun di hari pertamanya dia harus berurusan dengan Damian, sampai ia harus terjebak menjadi tutor untuk si trouble maker Damian.
Tidak sampai di situ, ketika suatu kejadian membuatnya harus berurusan dengan yang namanya pernikahan muda karena Married by accident bersama Damian. Akan tetapi, pernikahan mereka harus ditutupi dari teman-temannya termasuk pihak sekolah atas permintaan Gwen.
Lalu, bagaimana kisah kedua orang yang selalu ribut dan bermusuhan ini tinggal di satu atap yang sama, dan dalam status pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Gwen sungguh masih malu dengan kejadian beberapa saat yang lalu. Bisa-bisanya handuknya melorot dengan tidak elitnya, mana di depan si kampret Damian lagi. Harga dirinya langsung jatuh di depan suami merangkap musuhnya itu.
Ingin rasanya ia menenggelamkan dirinya di rawa-rawa. Entah, mungkin si Damian ini pasti bahagia sekali karena melihat adegan live secara langsung tanpa disensor.
"Gila, malu banget gue. Kok bisa sih handuk gue melorot di depan si kampret itu. Perasaan gue udah kunci tuh pintu kamar, lah si Damian kok bisa masuk? Apa dia punya kunci cadangan? Atau dia punya ilmu permalingan? Arghh, bego, bego banget si gue."
Gwen memukuli kepalanya sendiri karena kebodohannya lupa mengunci pintu kamar, dan itu berakibat sangat fatal. Bahkan malunya mungkin sampai seumur hidup.
"Woy, napa lo mukulin kepala kek gitu? Kesambet lo! Atau kepengen bego?" seru Damian yang sudah berdiri di samping mobil menunggu Gwen.
Gwen tak menangapi, hanya kedua matanya saja yang melotot tajam pada sang suami. Jika tak bicara ngawur, tukang hina, dan narsis, bukan Damian namanya.
"Apaan sih, ditanyain malah melotot, beneran kesurupan lo?"
"Gara-gara lo tuh, lo bikin gue malu tau."
Damian menaikkan satu alisnya, sial ia harus mengingatnya lagi. Kejadian tadi membuatnya harus bersolo karir di kamar mandi, dan bodohnya saat dia ingin membayangkan wajah member girl band kesayangannya itu. Namun, justru wajah Gwen yang muncul.
Apalagi saat melakukan aksi bermain solo, jantungnya seperti orang tengah clubing, jedag-jedug tak karuan dengan wajah Gwen bertebaran ke mana-mana.
"Otak gue pasti udah konslet. Ilmu pelet nih cewek makin hari makin kuat aja nih," gumam Damian, sembari memperhatikan Gwen yang sepertinya kehilangan muka karena kejadian tadi. "Malu kenapa? Yang lihat gue ini, suami lo yang paling cakep satu negara. Lagian gue juga nggak berpikir aneh-aneh, orang tubuh lo kurus kering kek triplek. Kagak ada bagus-bagusnya."
Bohong, semuanya hanyalah dusta belaka. Bahkan si Damian hampir meneteskan air liur tadi di kamar Gwen.
"Apaan, gue lihat muka lo kek Om-om cabul."
"Nggak usah kegeeran, body lo nggak seksi, dulu pasti waktu bayi lo kurang gizi. Makannya sampai segedhe ini lo kurus kena gizi buruk, ya?"
Duag!
"Wadaw! Busyet sakit, anjirr!" teriaknya.
"Rasain lo, mulut lo perlu gue jahit. Ngomongnya nggak bener semua, ngehina mulu. Kapan lo muji gue," desis Gwen setelah menginjak kaki Damian dengan sekuat tenaga.
"Nggak, kalau gue puji ntar lo bertingkah aneh."
"Mau gue hajar lagi?" sentak Gwen.
Damian hanya bisa geleng-geleng kepala. "Perasaan, gue yang preman, tapi galakan lo."
"Bodo amat, buruan. Keburu malam, entar Bu Jessica nunggu kelamaan."
Melihat jam di tangan, akhirnya Damian masuk ke dalam mobil. Namun, sebelum ia menyalakan mesin mobilnya pemuda itu mengambil ponselnya, yang kemudian dia arahkan ke wajah.
"Selfie dulu ah, dah lama gue nggak update postingan."
Ia menghadap ke kamera dengan pose tampan, maksudnya biar banyak yang ngelike dan komentar.
"Ngapain sih, lo?" tanya Gwen dengan alis berkerut.
"Bajak sawah."
"Yang bener dong lo." Sumpah, Gwen sudah ingin menendang Damian ke planet Uranus.
"Udah tahu lagi selfie, masih nanya," ujarnya. Setelah mengupload foto beserta caption yang memunculkan opini beragam, ia kemudian mengantongi kembali ponselnya, dan menjalankan kendaraan roda empat tersebut.
"Dasar narsis, gue baru nemu preman sekolah model kek lo, Dam. Udah muka mirip Miss universe, kelakuan kek bocah, tapi mulut pedes kek cabai," desis Gwen. Karena memang faktanya begitu. Damian itu berandalan sekolah, tapi memiliki wajah androgini. Jika diperhatikan baik-baik, Damian memiliki sisi wajah cantik, atau memang terlalu tampan, jadi menjurus cantik. Gwen saja iri dengan kulit putih sang suami. Tetapi, Gwen malas memujinya, jiwa narsis pemuda itu nanti meronta-ronta.
"Gue cowok, njirr. Awas aja ngatain muka gue kek Miss universe lagi. Gue cium lo di sini sampai mampus, mau?" deliknya tajam.
Gwen agak merinding dengan tatapan itu. "Nggak usah aneh-aneh, bisa ditangkap satpol PP lo, kena kasus pelecehan anak di bawah umur. Udah buruan, keburu Bu Jessica nungguin kita."
Meskipun Damian masih kesal, namun ia tak lagi menanggapi ocehan sang istri. Gwen benar, sebelum ibunya ceramah panjang lebar karena dirinya datang terlambat, lebih baik ia segera melesat ke sana.
***
"Guys, lihat deh. Gila si Damian, pantas aja gue ajakin nongkrong nggak mau," celetuk Jason sembari membawa ponselnya ke hadapan kedua sahabatnya yang tengah duduk di teras rumah Axton.
Christ yang tengah serius menonton salah satu chanel memasak di ponselnya, kini mengalihkan atensinya pada layar ponsel milik Jason.
"Wuihh, anjirr dia pergi kencan!" teriak Axton tiba-tiba
Di depan layar ponsel milik Jason, memperlihatkan Damian yang tengah duduk di kursi kemudi sembari menghadap layar ponsel. Memperlihatkan wajahnya yang tampan, dengan style rambut model ala anak-anak boyband dari negeri ginseng Korea dengan caption, 'Pergi dengan Babu.'
"Kok sama babu? Busyet si Damian kencan sama Bi Asih? Mana kencannya malam jum'at kliwon lagi. Keren si Damian." Lagi-lagi, Axton menyeletuk, bersamaan dengan kepalanya yang dipukul oleh Christ dari belakang.
"Keren pala lo, yang bener aja sih lo, masa dia kencan sama Bi Asih?"
"Lah, emang yang dia sebut babu siapa lagi? Kemarin aja Bi Asih nelpon dia, mana foto profilenya cowok Korea lagi. Nih pasti ada something antara Damian sama Bi Asih." Axton kembali membuat argumen yang tak masuk akal.
"Wah gila nih kalau ini bener, berani banget Damian jadi pebinor terang-terangan, bukannya Mang Kardi suaminya Bi Asih itu supir pribadinya Pak Arthur, ya?" Jason menimpali. Sembari membayangkan Damian tengah kencan dengan Bi Asih.
"Heh, lo bayangin yang nggak-nggak nih pasti?" tegur Christ, sembari memukul kasar bahu Jason. Ingatkan mereka, Christ adalah orang yang paling waras di antara mereka berempat.
"Ya habis nih anak bikin postingan yang Membagongkan, nih bisa menggiring opini banyak pihak menjurus ke hal-hal perselingkuhan terang-terangan antara Damian dan Bi Asih," ujar Axton.
"Bener juga sih kata lo, Ton. Kan udah gue bilang, makin hari kelakuan Damian makin aneh, dia jarang nongkrong sama Kita-kita, nggak pernah bully anak cupu lagi di sekolah. Okelah kalau dia takut sama Pak Arthur, tapi nggak mungkin secepat itu deh Damian tobatnya."
Ketiganya lantas berpikir, mengakat dua tangan dan mengusap-usapnya di dagu bersamaan. Sebelum Jason menyeletuk kembali. "Kayaknya kita emang harus selidikin si Damian deh, gue yakin dia nyembuyiin sesuatu."
Meskipun agak ragu dengan ide Jason, namun keduanya menggangguk setuju dengan ide si tukang gosip.
***
Selepas magrib, Damian dan Gwen sampai di depan rumah Pak Arthur. Damian membuka pintu mobil dan melenggang lebih dulu, kebiasaan memang tak mau membukakan pintu untuk sang istri.
Gwen menggerutu di dalam mobil. "Keknya cita-cita gue nikah sama cowok romantis hanya di alam mimpi aja deh," desahnya. Sabar saja Gwen, semoga Damian mendapat wangsit setelah ini, dan berubah menjadi suami yang romantisnya mengalahkan pasangan bucinnya para artis, yang tengah Gwen shipperin saat ini.
Dia membuka pintu mobil, dan berjalan mengekor di belakang sang suami tengilnya.
"Mama, Aku pulang!" teriaknya seperti di hutan, dan reflek Gwen memukul kepalanya dari belakang.
"Apaan sih lo, perasaan dari tadi lo melakukan kekerasan mulu sama gue. Kalau gue makin cerdas gimana, njirr. Terus tiba-tiba gue lompat kelas, dan lulus dengan nilai terbaik, lalu gue dapat beasiswa kuliah di luar negeri. Ntar lo nangis LDRan sama gue."
Benarkan, baru saja Gwen meredakan rasa kesalnya, ini manusia sudah berulah lagi.
"Nggak usah halu, gue cuma mau ingetin lo kalau masuk rumah itu pakai salam, yang sopan. Meskipun ini rumah lo sendiri. Etika lo tuh diperbaikin napa. Udah gedhe lo, bentar lagi jadi tua, tapi kelakuan kek bocil lo."
"Iya-iya, bawel. Kebiasaan tau," decaknya.
"Nggak usah dibiasain. Sopan santun tuh perlu, apalagi sama Mama, dan Papa lo."
Damian memberengut. 'Apaan, Nyokap Bokap gue aja jarang ngajarin gue, ya pantes aja gue kek gini,' batinnya.
Tak berapa lama, Jessica keluar, dan menyambut keduanya.
"Eh kalian udah dateng," ujar Bu Jessica. Gwen langsung melangkah, dan mencium tangan ibu mertuanya itu.
"Kamu nggak mau cium tangan Mama juga, Dam?"
Damian mendengus, dengan ogah-ogahan ia lalu mencium tangan ibunya seperti yang Gwen lakukan.
"Mama seneng lho, kamu nikah sama Gwen, jadi anak yang baik sekarang."
Damian diam saja. "Papa mana, Ma?"
"Udah nungguin kalian di ruang makan tuh, ayo ke sana?" ajaknya.
Damian, dan Gwen lalu mengekor pada Bu Jessica ke arah meja makan.
Sampai di sana, Gwen merotasikan arah pandangnya, tapi tak menemukan ibu dan adiknya.
"Bu, eh Mama, Ibu sama Dirly kok nggak ada?" tanyanya.
"Eh iya, tadi saat dijemput sama Mang Kardi, Ibumu dan Dirly ada keperluan mendadak. Jadi nggak bisa dateng. Makan malamnya sama Mama dan Papa aja."
Gwen mengangguk, meskipun agak kecewa sebenarnya. Dirly juga tak mengirim pesan padanya kalau ia, dan ibunya tak jadi datang.
Gwen mengambil tempat duduk di sebelah Damian.
Menikmati hidangan makan malam yang tertata di atas meja.
"Tumben Mama bikin acara makan malam?" tanya Damian. Agak aneh keluarganya bisa berkumpul di rumah tanpa ada acara penting. Biasanya ibunya lebih sering berpergian ke luar negeri untuk mengurus pekerjaan.
"Emang kamu nggak suka Mama pulang?"
"Kaget aja," ujarnya yang sedikit menohok hati Jessica.
Wanita itu melirik ke arah suaminya yang sibuk menelan makanannya.
"Ayo dimakan," tawar Pak Arthur.
Gwen mengangguk, mengambilkan nasi dan lauknya untuk Damian. Ingat, dia sedang di rumah mertua, tak baik membully Damian.
Damian lalu mengambil sendok, dan hampir menyuapkan ke dalam mulut, sebelum bahunya disenggol oleh Gwen.
Damian melirik ke arah istrinya. Bibirnya bergumam, "Apaan?"
"Tuh berdoa dulu, jangan maen langsung makan aja.
Biar nggak lupa sama Sang Pencipta. Tuh rejeki Tuhan yang ngasih, itu tanda kita bersyukur dengan berdoa sebelum makan, dan sesudah makan."
Damian mengangguk. Lima menit berselang ia menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
"Nanti kalian nginep, ya," pinta Bu Jessica di sela makan malam mereka.
"Nggak deh Ma, langsung pulang aja." Damian menyambar.
"Kayaknya mau hujan loh, tuh tadi ada petir. Mendungnya gelap banget di luar."
"Udah nginep aja, Dam. Turutin Mama kamu tuh." Pak Arthur menimpali.
Damian yang tak mau berdebat akhirnya mengangguk saja, mood dia tiba-tiba jelek soalnya.
***
"Lo mau ke mana?" tanyanya pada Gwen yang berjalan ke arah kamar tamu di lantai satu.
"Mau tidur lah. Udah malem juga, gue ngantuk. Besok harus bangun lebih pagi, soalnya seragam ada di rumah kita."
"Tidur di kamar gue, buruan."
Gwen menaikkan satu alisnya, merasa bingung dengan Damian. Bukankah pemuda itu melarangnya untuk tidur bersama? Ah Gwen jadi takut, mengingat kejadian tadi pagi. Gwen jadi berpikir buruk, dan reflek menutupi tubuhnya dengan kedua tangan.
"Napa lo? Takut gue perkosa?" tanyanya. "Nggak ada tuh sejarahnya suami perkosa istri, udah buruan. Lo nggak mau 'kan Mama curiga kalau kita pisah kamar?"
Gwen paham, dia takut ibu mertuanya mengira tidak akur padahal sudah menikah. Ya memang tidak akur sih, tapi haruskah diperlihatkan?
Gwen akhirnya mengangguk, dan berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua di mana kamar Damian berada.
"Hujannya di luar deres banget, di luar petirnya gedhe-gedhe," gumam Gwen yang mendekap tubuhnya sendiri. Tidak ada yang tahu jika Gwen itu phobia petir, pernah waktu kecil ia hampir tersambar petir. Maka dari itu ia trauma, dan ketakutan setiap mendengar suara petir.
Keduanya masuk ke dalam kamar. Damian lebih dulu merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
"Lo boleh tidur di kasur, tapi inget kasih jarak."
Gwen mendengus. "Emang gue mau ngapain? Justru lo tuh yang bahaya kalau deket-deket gue."
"Apaan? Sok iyes aja lo. Udah buruan lo tidur. Besok pagi bangunin gue, soalnya gue susah bangun pagi."
Tak mau lagi berdebat. Akhirnya Gwen juga ikut merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Hujan di luar bertambah lebat. Suara petir yang tak begitu keras bersahutan.
Gwen membungkus tubuhnya dengan selimut hingga sebatas dada. Tidur membelakangi sang suami. Mencoba meredakan takutnya akan petir.
Damian memperhatikan tingkah aneh istrinya sejak tadi hingga....
Jeder!
Suara petir sangat keras menghantam langit, membuat Gwen reflek menjerit. "Ibu!"
Tubuhnya mengigil hebat.
"Lo kenapa?" tanya Damian.
Gwen tak menjawab, memilih menutupi telinganya dengan kedua telapak tangan.
"Hei, cewek badak. Lo kenapa sih, jangan bilang lo takut petir?"
Tak ada jawaban, dan tubuh istrinya semakin bergetar. Hingga bunyi petir kedua kalinya dengan keras kembali terjadi. Gwen hampir berteriak, namun dengan reflek tubuhnya didekap dari belakang oleh Damian.
"Jangan takut, ada gue di sini. Kalau lo takut tuh bilang."
Dada Gwen berdesir hebat. Rasa hangat menjalar ke tubuhnya. Tidak pernah tahu jika Damian semanis ini.
"Dam."
"Udah tidur, gue bakal peluk lo sampai lo nggak takut lagi," ujarnya. Membuat rasa nyaman di tubuh Gwen, dan berangsur kedua bola matanya terpejam erat.
...***Bersambung***...