Serafim Dan Zephyr menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dari awal Serafim tahu Calon suaminya sudah mempunyai pacar, dan di balik senyum mereka, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blueberry Solenne, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 - Antara Velmora dan Velston
(Zephyr)
Saat tiba di rumah Zea, aku langsung memeluknya. Gelisahku seolah terbayar begitu melihatnya baik-baik saja. Detak jantungnya yang lembut di dadaku membuatku sedikit lega, meski masih ada rasa khawatir yang tersisa.
“Phyr, aku sangat merindukanmu,” bisiknya dengan suara lembut, bibirnya sedikit bergetar.
“Aku juga,” jawabku, sambil memeluknya lebih erat. Kami berpelukan lagi, kali ini lebih lama, seolah ingin menahan waktu sesaat.
Aku memintanya menjelaskan semua yang terjadi di kota Velston, hingga akhirnya ia berada di Velmora.
Flashback sebelum kejadian Zea menghilang
(POV Zea)
Waktu itu, aku baru selesai mandi ketika suara getar ponselku berhenti begitu saja. Saat menerima telepon dari nomor yang kukira milik kakakku, nada panik terdengar dari seberang.
“Nona Zea, Ibu Anda kritis. Tolong cepat pulang…”
Panik itu membuatku tak sempat berpikir panjang. Aku hanya meletakkan ponsel di meja, lalu bergegas ke kamar mandi. Saat keluar, ponselku sudah mati.
“Astaga… lowbat?” gumamku, cemas. Padahal sebelum mandi baterainya masih lima puluh persen. Aku menekan tombol power berkali-kali, tapi layarnya tetap hitam. Tidak ada getaran. Tidak ada logo. Hanya mati.
Flashback Zea end.
(Zephyr)
Aku paham sekarang, mungkin ada orang yang sedang mengancamku karena aku menemui Zea, tapi aku tidak tahu siapa. Rasanya seperti ada mata-mata yang terus mengintai langkahku.
Karena kelelahan, aku sempat tertidur. Setelah bangun, aku mengajaknya jalan-jalan; sudah lama sekali kami tidak keluar berdua.
Aku menyuruh Zea segera mengepak barang-barangnya karena aku harus kembali ke Velston. Kesibukanku semakin bertambah sejak menjadi Menteri Infrastruktur.
Namun, saat menoleh ke sebuah poster mobil, aku teringat soal Ethan.
“Zea, apa kau mau menemaniku?” tanyaku, suara sedikit berat menahan perasaan yang campur aduk.
Zea menoleh, menatapku dengan mata lembut tapi penuh kekhawatiran, lalu berkata sambil melipat bajunya, “Phyr, sampai kapan kau akan melupakan kejadian tragis itu?”
Ia melanjutkan, suaranya lembut tapi tegas, “Sebenarnya aku ingin sekali kita jalan-jalan berdua, bukankah sudah lama sekali kita tidak melakukannya? Tapi jika kau seperti ini, sebaiknya kita pulang saja. Aku tidak ingin kau terus mengenang kejadian tragis itu.”
Setidaknya dengan melihatnya, aku merasa bisa bertemu dengan Ethan meski menyakitkan, membuatku tak tenang, apalagi ada hal-hal yang membuatku janggal dan penasaran.
Namun, aku tahu Zea akan tetap melarangku, dan aku pun mengalah.
“Zea, kalau kau–”
“Zea… Zea… Zea… sekarang kau tak pernah memanggilku dengan panggilan ‘Boo’, ‘sayang’, atau kau lupa karena kau terlalu sering bersamanya, Phyr?” ujarnya sambil menyimpan koper di dekat kursi. Bibirnya tersenyum tipis tapi matanya menantang, ada sedikit cemberut.
“Sudahlah, kau tahu perasaanku padamu,” jawabku sambil menghela napas panjang, menarik tangannya lembut.
“Hari ini aku akan meluangkan waktu,” bisikku, mencoba tersenyum, meski hati masih berkecamuk.
Diam-diam Zea tersenyum, matanya berkilau, dan kami saling menggenggam tangan menelusuri beberapa tempat.
Aku mengajaknya jalan-jalan santai di Copperstill District, Ottawa, pada sore musim gugur yang cerah. Daun-daun yang jatuh menambah romantisme suasana, menari tertiup angin sepoi-sepoi. Kami berjalan melewati deretan toko vintage dan galeri seni, sambil menikmati aroma kopi dari kafe-kafe sekitar.
Saat melewati sebuah toko kerajinan lokal bernama Maple Crafts Boutique di sudut jalan, Zea berhenti dan menunjuk etalase.
“Lihat ini, Phyr! Jam pasir ukiran maple handmade, ukirannya daun maple asli Velmora yang halus banget. Bingkainya dari kayu maple solid Velmora, durasi 30 menit, cocok buat dekorasi kamar kita.
“Apa kau mau aku membelikanmu sebagai kenangan?” tanyaku sambil menatap matanya, mencoba membaca reaksinya.
Zea menatapku sebentar, mengangkat bahu santai, “Kalau kau menyukainya, beli saja, Phyr!”
“Tentu saja,” jawabku, padahal sebenarnya... aku juga ingin membelikannya untuk Serafim. Aku menggandeng tangannya masuk ke dalam toko, tersenyum lembut.
Setelah memilih, aku langsung membayar. Kami kembali ke rumah ibunya Zea, mengambil barangnya, kemudian menuju bandara. Untungnya, kami mendapat tiket ke Velston sehingga bisa kembali dengan cepat.
(Serafim)
Saat aku baru selesai mandi, Zephyr mengirim chat padaku.
Zephyr: Serafim, aku sudah menemukannya.
Aku tersenyum getir, bibirku sedikit menegang.
Serafim: Ya, tentu saja, aku senang mendengarnya.
Dia pasti bahagia sudah bertemu dengan Zea.
Zephyr: Aku yakin, kau pasti akan menyukainya.
Aku menatap layar ponsel: Kenapa aku harus menyukainya? Bukankah itu pacarnya? batinku sambil mengerutkan alis.
Zephyr: Bukannya kau memintaku membelikan jam pasir dengan ukuran maple untukmu?
Serafim: Oh, syukurlah.
Aku meletakkan handphone ku dan segera berpakaian, sarapan, dan berangkat ke Sakura Cement.
Saat baru tiba, aku dikejutkan dengan surprise ulang tahunku.
“Surprise!” seru mereka kompak.
Aku langsung memegang dadaku, mata melebar karena terkejut. Padahal aku tidak mengingat hari ini adalah ulang tahunku.
Ayah, Louis, Liam, dan karyawan lain menyuruhku meniup lilin, memberi satu gigitan kue, dan selain ucapan selamat, mereka juga memberikan hadiah untukku.
Aku juga mentraktir mereka makan siang di sebuah restoran pada jam makan siang.
Saat sedang menyeruput es kopiku, Liam menyenggol tanganku.
“Bagaimana Fim, apa kau sudah memberitahu mereka, kalau kau akan ikut denganku?” sambil menatap Ayah dan kakakku. Matanya bercahaya penuh rasa ingin tahu.
“Belum,” timpalku sambil menggeleng, wajah sedikit malu tapi tersenyum tipis.
“Kalau kau mau ikut liburan ke Montvale, pergi saja, Fleur!” kata Louis dengan senyum lebar.
Ayahku mengangguk, memberikan izin.
“Tapi jangan lama-lama cutinya, tiga hari juga cukup, bukan?”
Aku terheran-heran, rupanya kakak dan Ayahku sudah mengetahuinya.
Aku menoleh pada Liam, “kau pasti sudah memberitahu nya?” ujarku sambil memiringkan sedikit kepalaku.
Liam hanya terkekeh kecil.
“Iya Yah, tenang saja, aku akan segera kembali,” jawabku, nada suara lebih tenang dan mantap.
Selesai makan siang, aku dan Liam mengobrol.
“Fim, apa kau punya masalah dengan suamimu?”
“Ah, tidak,” jawabku cepat, mencoba tersenyum natural tapi hatiku sesak.
Liam terus membujukku untuk bicara, tapi aku tak bisa menceritakan apa pun.
“Aku iri pada suamimu karena bisa mendapatkanmu,” candanya sambil tersenyum ramah.
“Liam…” sahutku sambil tersenyum tipis, menutupi semua lukaku.
“Ah, aku juga beruntung mendapatkannya,” tambahnya.
Ya, andai saja ia tulus padaku, dengan perhatian yang diberikannya beberapa waktu terakhir, tapi sayang, dia sudah mengecewakanku. Rasa sakitku mungkin bisa kutahan saat ini, tapi aku tidak bisa hidup bersama orang yang tidak mencintaiku.
Aku harus mempersiapkan diri untuk berpisah dan menyesuaikan diri lagi seperti semula. Aku tahu dia akan memilih cinta lamanya, apalagi mereka lebih dulu bersama sebelum aku hadir dalam kehidupan Zephyr.
Saat ini mungkin aku belum bisa mengatakan apa pun pada orang lain, karena aku masih bisa mengatasinya. Ini bukanlah hal besar.
Aku kembali bekerja setelah makan siang, menyalakan komputer, menatap layar kerja. Email menumpuk, telepon berdenting. Tidak ada waktu untuk memikirkan dia lagi. Aku menyelesaikan satu per satu pekerjaanku dengan cepat, tanpa menoleh ke belakang.
Bersambung...