NovelToon NovelToon
Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Status: tamat
Genre:Romantis / Transmigrasi / Permainan Kematian / Tamat
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Carolline Fenita

Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.

Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya

Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?

p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Minami-Kawaki Wo Ameku

Caroline keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit rambutnya. Ia melihat Pratama duduk di ranjang, memegang amplop cokelat. Pandangan mereka bertemu. Tidak ada lagi amarah yang meledak-ledak di mata Caroline, hanya kekosongan yang membuat Pratama semakin cemas.

Pratama mengulurkan tangannya, mengambil handuk dari kepala Caroline dan mulai mengeringkan rambutnya dengan lembut. Gerakannya pelan dan hati-hati, sebuah sentuhan yang penuh kasih sayang, berusaha menyampaikan ketulusan yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Caroline tidak menolak, membiarkan Pratama melakukannya.

"Aku akan siapkan air hangat untuk kompres matamu, dan teh manis. Setelah itu, kamu harus makan sedikit. Aku tahu kamu tidak lapar, tapi tubuhmu butuh energi."

Pratama berbicara dengan suara tenang, seolah mengatur langkah-langkah medis untuk pasien yang sakit, bukan istrinya yang terluka parah secara emosional. Ia tidak memaksa Caroline untuk makan bubur, ia menawarkan alternatif yang lebih ringan.

Caroline hanya mengangguk kecil. Ia duduk di tepi ranjang saat Pratama meletakkan handuk dan pergi ke dapur. Tubuhnya masih terasa berat, dan pikirannya dipenuhi dengan kepingan-kepingan ingatan yang kini utuh, beradu dengan rasa sakit yang tak tertahankan.

Pratama kembali dengan kompres hangat dan secangkir teh. Ia meletakkan semuanya di nakas, lalu duduk di samping Caroline. Tanpa banyak bicara, ia mengambil kompres dan menempelkannya perlahan ke mata Caroline yang sembab. Kehangatan itu sedikit melegakan, mengurangi perih di matanya.

"Minum tehnya pelan-pelan," Pratama menyodorkan cangkir teh. Caroline meraihnya dengan tangan gemetar, mendekatkan tepi cangkir ke bibir lalu menyesapnya. Rasa hangat dan aroma herbal itu sedikit menenangkan perutnya yang kosong.

Setelah beberapa saat, Caroline meletakkan cangkir kosongnya. "Pram." suaranya nyaris tak terdengar.

"Ya, Lin?" Pratama mencondongkan tubuhnya.

"Aku tidak tahu harus bagaimana," bisik Caroline, air mata kembali mengalir, kali ini tanpa isakan, hanya tetesan yang diam.

"Aku merasa bersalah. Kenapa aku harus meninggalkan orang tuaku dalam perasaan bersalah. Mereka sudah membesarkanku, namun aku justru membalas mereka seperti air susu dibalas air tuba."

Pratama menghela napas panjang, merangkul bahu Caroline. "Bukan salahmu, Lin. Mereka mengerti. Mereka tahu kamu butuh waktu. Kamu tidak membalas mereka seperti itu."

Tiba-tiba, ponsel Pratama berdering. Nama mertuanya tertera di layar. Pratama menatap Caroline sejenak, ragu, lalu menyerahkan ponselnya kepada Caroline.

"Ingin berbicara dengan mereka?" tanya Pratama.

Caroline menatap ponsel itu dengan mata memerah. Ia sempat ragu, namun dorongan untuk mendengar suara orang tuanya lebih kuat. Dengan tangan bergetar, ia menerima ponsel dari Pratama dan menempelkannya ke telinga.

"Halo," suara Caroline begitu serak, hampir tak terdengar.

Suara Pak Ming di seberang sana terdengar berat, namun juga kelegaan karena bisa berbicara langsung dengan putrinya. "Ine, kami menemukan suratnya. Surat yang kamu tulis." Ada jeda, lalu suara gumaman penuh khawatir dari Ibu Lien terdengar di latar belakang.

Mata Caroline kembali berkaca-kaca. Ia menunduk, tidak sanggup menatap Pratama yang kini memperhatikan setiap ekspresinya.

"Bapak... Ibu..." Suara Caroline pecah. "Ine... minta maaf. Aku tidak bermaksud seperti itu. Ine hanya bingung harus bagaimana."

"Tidak. Ini bukan salahmu," sahut Ibu Caroline, kini mengambil alih telepon dari Pak Ming. Suaranya penuh kasih sayang. "Tidak ada yang menyalahkanmu, lagipula ini murni karena Ibu dan Bapak, memojokkanmu lima tahun yang lalu. Jika butuh apa-apa, katakan saja pada kami."

Caroline menggeleng tanpa sadar walaupun orang tuanya tidak melihatnya. "Surat itu, aku hanya ingin Bapak dan Ibu jaga diri dan jangan kejar ke sini. Aku ingin Bapak dan Ibu hidup tenang di Sidoarjo," bisiknya dengan lancar, tapi Pram jelas melihat air mata

Caroline sudah mengalir deras membasahi pipinya. Pria itu mengambil sapu tangan dan mengelapnya hati-hati.

"Kami akan baik-baik saja, Nak," jawab Ibu Caroline. "Kamu yang penting sekarang. Pratama di sana, kan? Dia akan menjagamu. Percayalah padanya, Nak. Kami memang melakukan banyak kesalahan, tapi percayalah bahwa memilih Tama bukan salah satunya."

Setelah beberapa menit lagi percakapan antara orang tua dan anak, Caroline akhirnya mengakhiri panggilan. Ia mengembalikan ponsel itu ke Pratama, lalu kembali menunduk, bahunya bergetar. Dia menarik selimut ke atas tubuh lalu memejamkan mata, membelakangi suaminya.

Pratama menerima ponsel itu, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk.

Saat makan malam tiba, Frans memasak hidangan ayam mentega kesukaan majikannya. Pelayan memang sudah lebih dahulu makan malam karena jam makan Pram dan Caroline kali ini mundur hampir tiga jam.

Pram yang awalnya mengurus beberapa persyaratan terkait pengurusan produksi obat baru di pabriknya baru mengingat jam makan. Dia memanggil Caroline dari kamar, dan ia terkejut saat Caroline keluar. Ekspresinya tenang, seolah-olah tidak ada apa pun yang terjadi beberapa jam sebelumnya. Tidak ada perlawanan, bahkan amarah atau tangisan.

Saat makan malam, Caroline bersikap seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Ia berbicara tentang hal-hal umum, menanyakan tentang pekerjaan Pratama di pabrik obat, dan bahkan menanyakan perkembangan uji batch yang ditunda.

"Apakah hasil investigasi batch obat itu sudah jelas, Pram?" tanyanya, suaranya terdengar tulus, sama sekali tidak mencerminkan seseorang yang baru menangis dan berteriak penuh frustrasi beberapa jam sebelumnya.

Pratama, yang awalnya masih sedikit ragu, perlahan mulai merasa lega. Ia menjawab dengan antusias, menceritakan detail temuan tim Andreas, bagaimana anomali yang ditunjuk Caroline benar-benar menyelamatkan mereka dari kerugian besar. Ia bahkan menunjukkan beberapa laporan singkat di tabletnya.

"Ah, sudah terselesaikan," Pratama memulai, tangannya bergerak mengambil sayur dan meletakkannya ke piring Caroline. "Saranmu saat itu berhasil mencegah kita dari kerugian besar."

Caroline mengangguk pelan, menusuk sayur dengan garpu dan memasukkannya ke dalam mulut. "Aku hanya mengikuti insting. Ada sesuatu yang terasa tidak pada tempatnya dalam layar grafik itu."

“Apakah ada kemajuan terkait obat barunya?” tanya Caroline.

Pratama agak bingung, namun dia meraih tabletnya yang ada di dekatnya. "Ini, laporan singkat yang baru saja dikirim Andreas. Dia sendiri yang bilang, kalau bukan karena petunjukmu, butuh waktu berminggu-minggu, mungkin berbulan-bulan, untuk menemukan akar masalahnya."

Pratama membuka beberapa grafik dan data yang rumit, menunjuk-nunjuk layar dengan semangat. "Lihat ini, penurunan efektivitas zat aktifnya sangat kecil di awal, tapi kalau batch ini sampai lolos, efek sampingnya bisa fatal untuk konsumen. Lebih dari cukup untuk menghancurkan reputasi perusahaan."

Caroline mencondongkan tubuhnya sedikit, mengamati angka-angka dan kurva di tablet itu dengan saksama. Tatapannya profesional, menganalisis data, sama sekali tidak mencerminkan emosi yang baru saja ia alami.

"Jadi, apa penyebabnya?" tanyanya, suaranya datar, namun ada nada ketertarikan yang tidak bisa ia sembunyikan.

"Kontaminasi mikroba di salah satu tangki fermentasi. Penyaringnya rusak," jelas Pratama, membesarkan salah satu penemuan atau bukti yang mengklarifikasi kerusakan alat. "Mikroba ini hanya aktif dalam kondisi suhu dan kelembaban tertentu, yang terjadi sesekali di gudang penyimpanan."

"Itu menjelaskan mengapa polanya tidak konsisten di setiap batch," Caroline menimpali, otaknya secara otomatis menganalisis masalah.

"Berarti sistem quality control perlu diperbaiki secara menyeluruh, tidak hanya pada penyaringan, tetapi juga pemantauan suhu dan kelembaban di seluruh rantai pasok."

Pratama mengangguk. Dia sudah meminta bawahannya untuk menyusun proposal perbaikan sistem secara menyeluruh. Bahkan melibatkan divisi konsultan eksternal untuk pengetatan audit pekerja.

Caroline mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk. Dalam benaknya, ia mengamati setiap interaksi Pratama, setiap detail laporan. Ia mengamati bagaimana Pratama menjelaskan masalah dengan keahlian, bagaimana ia memimpin tim, dan bagaimana ia merespons

pertanyaan-pertanyaannya.

Saat menelan daging terakhirnya, Caroline mengambil piring kotor dan membawanya ke wastafel. Ia sudah terbiasa dan tahu mana saja letak dan cara pakai alat disini. Sesudahnya ia berjalan ke meja dan melihat Pram yang tengah menyimpan sisa sayur di meja.

“Pram, aku ke kamar lebih dulu.”

Lelaki itu mengangguk. Saat kaki Caroline mencapai tangga ketiga, ia mendengar seruan Pram. “Jika ada apa-apa, hubungi aku dari smartphone atau langsung cari aku atau pelayan. Aku akan menghabiskan malam tersisa di ruang kerjaku.”

“Iya, terima kasih,” tutup perempuan itu dan melanjutkan langkahnya.

Masuk ke dalam kamar, dadanya terasa penuh, membuatnya mau tidak mau lari ke kamar mandi. Memuntahkan semua makanan yang baru saja ia santap. Mencium sisa makanan membuat rasa mual melandanya lagi. Sekali lagi, ia memuntahkan semua hingga hanya air liur dan cairan putih yang keluar. Caroline terbatuk seraya menyiram kloset hingga bersih. Bangkit, menggosok gigi, lalu keluar dan berbaring.

Dia menatap langit-langit kamar. Tenggorokannya agak seret, sebanyak apapun air putih yang ia telan. Mimiknya terdistorsi. Apakah ia bisa bersikap lebih baik ke depannya?

1
Cherlys_lyn
Hai hai haiii, moga moga karyaku bisa menghibur kalian sekalian yaa. Kalau ada kritik, saran, atau komentar kecil boleh diketik nihh. Selamat membaca ya readerss 🥰🥰
Anyelir
kak, mampir yuk ke ceritaku juga
Cherlys_lyn: okeee
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!