Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan paksa aku bertahan
Beberapa minggu setelah fakta yang menyesakkan itu, membuat hana menjadi semakin pendiam. Ayah nya dan ren selalu membujuk nya untuk tidak terlalu memikirkan banyak hal. Namun di sisi lain ia tahu, bahwasanya ia akan kembali mati, bahkan setelah kematian pernah merenggut dirinya.
----
Lampu meja redup menyorot sebagian wajah Hana yang berdiri mematung di dekat jendela. Tangannya menggenggam tirai, matanya menatap kosong pada langit malam yang gelap tanpa bintang.
Langkah kaki terdengar perlahan mendekat. Suara yang sudah sangat dikenalnya—Ren. Tapi kali ini, tak ada kehangatan di dalam langkah itu. Yang datang hanyalah ketegangan yang menyesakkan udara di antara mereka.
“Hana...” suara itu terdengar serak, seakan menahan sesuatu yang berat.
Gadis itu tak menoleh. Dia hanya mengangkat sedikit wajahnya, menarik napas dalam-dalam lalu melepaskannya perlahan. “Aku ingin bicara, Ren.”
Ren berdiri di belakangnya. Jarak mereka begitu dekat, tapi terasa begitu jauh. “Aku juga,” jawabnya datar. “Tapi sepertinya kau ingin mengatakan hal yang sama seperti beberapa hari terakhir—tentang menyerah, atau tentang mu yang selalu ingin pergi.”
Hana menutup matanya sejenak. “Aku serius, Ren. Aku lelah.”
“Lelah?” Ren tertawa hambar. “Dan kau pikir aku tidak?”
Suara tawa itu berubah menjadi geraman amarah yang tertahan. Ia melangkah maju, memutar tubuh Hana agar menghadapnya. Mata Ren merah, bukan karena cahaya, tapi karena emosi yang menumpuk terlalu lama.
“Apa kau tahu... seberapa hancurnya aku saat mendengar kau pergi?” suaranya bergetar. “Apa kau tahu seperti apa rasanya kehilangan seseorang yang bahkan tubuhnya pun tak bisa kau temukan?”
Hana menggigit bibirnya. Matanya memerah, namun ekspresinya tetap tenang—terlalu tenang. Ren membenci itu. Dia ingin melihat Hana menangis, marah, atau bahkan berteriak. Apa pun, asal bukan ekspresi datar penuh keputusasaan itu.
“Ren—”
“Tidak, biarkan aku menyelesaikannya,” potong Ren dengan nada tajam.
Ia menunduk sejenak, lalu menatap mata Hana dalam-dalam. “Tubuhmu, Hana... Kami tak menemukannya. Kami mencari berhari-hari. Ayahmu hampir gila. Aku—aku kehilangan arah.”
Suara Ren mulai pecah. Ia mengepalkan tangannya, menahan gejolak di dadanya yang semakin sulit dikendalikan.
“Memori yang dimaksud ayahmu,” lanjutnya lirih, “itu... bukan murni dari pikiranmu. Itu hanya sisa kenangan... sebagian kecil yang telah disimpan oleh ayahmu. Dan kau tahu?? kenangan-kenangan itu akan diputar saat hari pernikahan kita...”
Ren menarik napas dalam, lalu membuangnya dengan kasar. “Tapi semua berubah jadi bencana. Kami kehilanganmu. Ibumu juga. Mobil kalian ditemukan hancur, tapi... Di dalam mobil yang hancur itu, tak ada satu pun tubuh yang kami temukan....”
Akhirnya, air mata yang sejak tadi ditahan menetes dari sudut matanya. Ia mengusapnya dengan kasar, seolah marah pada dirinya sendiri.
“Apa kau tahu rasanya berdiri di tepi jurang, berharap mayat seseorang muncul agar bisa dikubur dengan layak? Aku... tidak punya apa-apa selain sepotong kenanganmu.”
Hana menunduk. Air matanya jatuh satu per satu tanpa suara. Tapi matanya tetap dingin, tidak menunjukkan apa-apa selain luka yang tak bisa disembuhkan.
“Aku hanya... aku tak ingin bertahan jika hanya menjadi bagian dari kesalahan. Aku... aku bukan manusia lagi, Ren. Aku... sistem. Tiruan,” bisiknya.
“Tidak!” bentak Ren tiba-tiba. Suaranya memantul di dinding kamar. “Jangan pernah bilang begitu lagi, Hana!”
Ia mencengkeram bahu gadis itu, memaksanya menatap wajahnya.
“Kau berpikir semua ini sia-sia? Bahwa keberadaanmu tak berarti apa-apa? Kalau begitu, untuk apa aku di sini? Untuk apa ayahmu bertahan selama ini?”
Ren menunduk, bibirnya bergetar. Tangannya perlahan melepas genggaman di bahu Hana, namun sorot matanya tak beranjak.
“Berhentilah menyerah, Hana... Kami memperjuangkanmu. Aku memperjuangkanmu. Jangan paksa aku menerima dunia tanpa kau di dalamnya,” katanya pelan, nyaris seperti doa.
Hana menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia terisak tanpa suara, mencoba menyembunyikan air matanya seperti yang biasa ia lakukan. Tapi kali ini, ia gagal. Suaranya pecah.
“Aku juga tidak ingin ini semua terjadi. Tapi aku takut... Ren, bagaimana jika suatu saat aku kehilangan kendali? Jika sistemku rusak? Jika ingatanku berhenti dan aku menjadi orang lain?”
Ren menggeleng keras. “Kalau pun itu terjadi, aku akan bersamamu. Aku akan tetap di sini, Hana.”
Hening. Hanya ada suara isakan pelan dari keduanya.
Ren perlahan memeluk Hana. Tak seerat biasanya, tapi dengan hati-hati seolah memeluk sesuatu yang bisa hancur kapan saja. Dan mungkin memang seperti itulah rasanya—memeluk serpihan dari masa lalu yang kini hidup kembali, namun belum tentu bisa bertahan lama.
"Jangan paksa aku, untuk mengikhlaskan, Hana!” bisik Ren di telinganya. “Karena aku tidak bisa.”
Hana hanya bisa terdiam di dalam pelukan itu. Dalam diamnya, dalam detik-detik yang terasa begitu panjang, ia berusaha mencari satu alasan lagi untuk bertahan. Dan dalam dada Ren yang hangat, ia mendengar detak jantung—nyata, kuat, dan penuh cinta.
Detak yang mengingatkannya, bahwa dirinya pernah hidup. Dan mungkin... masih hidup dalam kenangan yang terus diperjuangkan seseorang yang mencintainya.
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.