Sungguh berat beban hidup yang di jalani Sri Qonita, karena harus membesarkan anak tanpa suami. Ia tidak menyangka, suaminya yang bernama Widodo pamit ingin mencari kerja tetapi tidak pernah pulang. Selama 5 tahun Sri jatuh bangun untuk membesarkan anaknya. Hingga suatu ketika, Sri tidak sanggup lagi hidup di desa karena kerja kerasnya semakin tidak cukup untuk biaya hidup. Sri memutuskan mengajak anaknya bekerja di Jakarta.
Namun, betapa hancur berkeping-keping hati Sri ketika bekerja di salah satu rumah seorang pengusaha. Pengusaha tersebut adalah suaminya sendiri. Widodo suami yang ia tunggu-tunggu sudah menikah lagi bahkan sudah mempunyai anak.
"Kamu tega Mas membiarkan darah dagingmu kelaparan selama 5 tahun, tapi kamu menggait wanita kaya demi kebahagiaan kamu sendiri"
"Bukan begitu Sri, maafkan aku"
Nahlo, apa alasan Widodo sampai menikah lagi? Apakah yang akan terjadi dengan rumah tangga mereka? Kita ikuti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
"Ada apa ini?" Bu Gayatri berjalan cepat mengikuti Laras yang berlari lebih dulu mendekati Sri. Mereka rupanya mendengar ketika Sri berteriak.
"Bunda.... hiks hiks hiks, Bunda kenapa?" Laras menangis tersedu-sedu melihat pundak bundanya yang disingkap Pras dan berwarna merah.
"Tidak apa-apa Bu, sayang..." Sri mengatakan bahwa pundaknya kesiram teh panas karena tidak hati-hati ketika minum.
"Mari Ibu obati sebelum melepuh" Gayatri tidak percaya dengan penuturan Sri. Mana ada ketumpahan teh bisa di pundak, lagi pula tatapan Pras kepada Belinda itu menyebabkan tanda tanya. Namun, Gayatri tidak mau membahas itu dulu, mengobati Sri yang paling penting.
"Terima kasih Bu" Sri mengikuti bu Ratri sembari menenangkan putrinya yang masih terus menangis.
Sementara itu kemarahan Prasetyo kepada kekasihnya sudah tidak bisa dia tahan lagi. "Apa yang sudah kamu lakukan Bel?!" Tandas Prasetyo murka.
"Biar kapok, wanita itu sudah aku peringatkan agar jangan datang kesini tetapi masih juga melanggar" Belinda bukan menyesal tetapi nampak puas dengan apa yang ia lakukan.
"Kamu sudah keterlaluan Bel, Sri datang kesini karena memenuhi undangan saya, otak kamu itu tidak ada isinya selain cemburu. Jika Sri tidak terima bisa tuntut kamu ngerti tidak, Bel!"
"Kamu yang keterlaluan Pras, diam-diam selingkuh di belakang aku" Belinda memotong ucapan Pras, ia merasa jika Pras diam-diam mencintai Sri.
"Itu terus yang kamu bahas, aku cape Bel" Pras benar-benar lelah menghadapi wanita yang sudah ia kenal selama dua tahun itu. "Sekarang jawab dengan jujur Bel, kamu juga kan yang menyuruh anak buah aku untuk menaburkan pencahar di masakan Sri?" Lanjut Pras, hanya dia yang pantas untuk dicurigai.
"Omong kosong apa lagi ini Pras, jangan hanya karena kamu sudah mencintai wanita lain lantas menuduh aku tanpa alasan" Belinda marah akan tuduhan Pras.
"Jangan ngawur Bel, tidak ada gunanya hubungan ini kita lanjutkan, kita lebih baik putus" tegas Pras, karena ia tidak ingin jika rumah tangganya nanti diwarnai pertengkaran.
"Kamu kelewatan Pras, hanya demi janda itu tega memutuskan hubungan kita. Ingat Pras, suatu saat nanti kamu akan mencari aku" Belinda pun akhirnya pergi meninggalkan Prasetyo dengan perasaan dongkol.
Pras membanting bokongnya di kursi sofa, membayangkan sikap Belinda yang semakin kasar. Ia tidak menyangka jika wanita yang ia cintai itu sampai tega menyiram air panas ke badan Sri.
Ingat Sri, Pras pun ingat jika saat ini sedang diobati sang ibu. Ia segera beranjak ingin melihat keadaannya.
"Melepuh tidak, Bu?" Prasetyo sudah tiba di mana Sri diobati bu Ratri.
"Sudah ibu obati mudah-mudahan tidak melepuh" Gayatri sudah selesai mengoleskan salep untuk luka bakar.
"Sebaiknya kita bawa ke dokter saja Bu" Pras khawatir luka Sri serius.
"Tidak usah Mas" Sri menjawab, setelah diberi salep luka Sri terasa adem.
"Maksud Ibu juga begitu Pras, tapi Sri tidak mau" Ratri pun sudah mengajaknya ke dokter tetapi Sri menolak.
"Sudah tidak panas kok Bu" jujur Sri, ia masih dilindungi. Teh panas tersebut terhalang baju hingga tidak langsung mengenai kulitnya.
"Kenapa teh tadi bisa tumpah ke pundak Sri?" Gayatri yakin ada orang yang sengaja menyiram.
Sri melirik Pras agar jangan buka suara karena ada Laras. Sri tidak mau Laras tahu kejadiannya hingga tumbuh menjadi anak pendendam mengingat begitu sayangnya kepadanya.
"Laras... Bunda tidak apa-apa kan, sebaiknya kamu bereskan mainannya ya, Nak" Gayatri ada alasan agar Laras tidak mendengar masalah orang dewasa.
"Baik Mbah" Laras pun akhirnya ke ruang bermain.
"Belinda kan yang menyiram kamu?" Gayatri sudah curiga sejak tadi.
"Iya Bu" Pras yang menjawab.
"Astagfirullah..." Gayatri yang sudah tidak menyukai sikap Belinda sejak lama ada kesempatan untuk bicara. "Perbuatan Belinda itu sudah tidak bisa dimaafkan Pras, Ibu tidak setuju jika kamu menikahi Dia" tegas bu Ratri, ia tidak mau mempunyai menantu kejam seperti itu.
"Iya Bu" lirih Pras yang memang sudah tidak respek lagi dengan Belinda.
Merasa sudah lebih enak, Sri pun pamit pulang karena masih banyak yang harus ia kerjakan di ruko.
"Salepnya dibawa Sri, oleskan 3 kali sehari" Bu Ratri memberikan salep tersebut lalu minta Pras agar mengantar Sri.
"Tidak usah Bu" Sri selalu menolak bila diantar Pras, tapi atas desakan Pras sendiri dan juga bu Ratri, Sri pun akhirnya menurut. Dengan sepeda motor mereka berangkat, posisi Laras duduk di tengah.
"Terima kasih Mas" ucap Sri ketika sudah tiba di depan ruko.
"Sama-sama, kalau kamu belum bisa jualan besok jangan dipaksakan Mbak" Pras awalnya berharap Sri mengirim masakan ke restoran besok pagi, tapi melihat keadaan Sri tidak mau memaksa.
"Iya Mas, semoga luka saya tidak melepuh" Sri berharap luka bakar cepat sembuh hingga lusa bisa mulai mengirim dagangan ke resto.
"Aamiin..." ucap Pras lalu menurunkan Laras dari motor.
"Terima kasih Om" ucap Laras ketika tubuhnya diangkat oleh Prasetyo.
"Anak pintar" Pras mengusap kepala Laras, kemudian naik ke atas motor.
"Sampai besok ya Mbak" pamit Pras pada Sri yang masih berdiri di tempat itu hanya mengangguk dan tersenyum saja. Pras hendak menggunakan helm tetapi tatapannya tertuju kepada wajah Sri, walaupun sering bertemu tidak terlalu fokus. "Sri ternyata masih muda sekali, kok aku panggil Mbak" batin Prasetyo sebelum starter motor kemudian melesat pergi.
Mereka tidak tahu jika di pinggir jalan supir angkot tengah memperhatikan mereka dengan perasaan cemburu, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia adalah Widodo memandangi Sri dengan Laras hingga masuk ke dalam ruko.
Waktu sudah hampir maghrib, pria itu menemui bos angkutan umum menyerahkan uang setoran.
"Kenapa hanya segini?" Bos angkot marah setelah menghitung setoran tidak penuh.
"Maaf Bos, hari ini memang sepi" jawabnya jujur lalu menceritakan jika hari ini pun menahan lapar, karena uang hasil narik Widodo serahkan semua.
"Walaupun kamu kantongi, mana saya saya tahu" bos angkutan tidak percaya.
Widodo tidak mau menjawab makian bos, karena memang sudah biasa begitu bila setoran kurang akan marah-marah tidak mengerti bagaimana mencari penumpang di lapangan. Ia pun pamit pulang berjalan kaki ke kontrakan kecil yang ia sewa setiap bulan.
Tiba di dalam, ia buka topi dan masker kemudian ke dapur mencari sesuatu untuk mengganjal perut. Ia menemukan sebungkus mie instan sisa tadi malam, kemudian memasak tanpa telur dan sayur.
"Maafkan aku Sri, Laras... ternyata begini menahan lapar" Widodo tiba-tiba meneteskan air mata, ia sadar seolah semua penderitaan Sri selama ia tinggalkan berbalik kepadanya.
Mie instan telah matang, ia tuang ke dalam mangkuk kemudian membawa ke ruang depan di atas tikar yang biasanya ia gunakan untuk alas tidur.
Widodo mengangkat sesendok mie hendak memasukkan ke mulut.
Tok tok tok.
Mendengar pintu kontrakan diketuk ia menurunkan sendok tidak jadi makan, lalu membuka pintu.
...~Bersambung~...
hrse libur kerja selesaikan dng cepat tes DNA mlh pilih kantor di utamakan.
dr sini dah klihatan pras gk nganggap penting urusan kluarga. dia gk family man.
kasian sri dua kali nikah salah pilih suami terus.