Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Indekos Abu-abu
Gita dan Yuli berjalan menyusuri trotoar, sambil sesekali menengok ke arah belakang mereka, menunggu angkutan kota yang akan membawa mereka ke alamat Denting.
"Eh ... ketemu lagi!" sapa seorang pedagang jamu gendong dengan rambut disanggul dan mengenakan tunik kaos selutut. Langkahnya tampak tergesa-gesa.
Gita menoleh dan berhenti di tempat, menyambut kedatangan mbok jamu yang pernah bertemu dengannya tempo hari itu.
"Mau keliling ke mana, Mbok? Buru-buru banget kayaknya," tanya Gita ramah.
"Biasa, ke kampung depan sana, ada langganan mbok," jawabnya sambil berhenti sejenak, "udah mendung, takut kehujanan."
"Saya mau jamunya deh, Mbok!" ujar Gita sebelum mbok jamu beranjak pergi.
Mbok jamu itu tersenyum senang. Alhamdulillah rejeki, jarang-jarang anak muda beli jamu. Biasanya orang-orang yang udah pada tua terus yang beli.
Yuli berbisik pada Gita, "Emang Lo doyan jamu? Bukannya pait ya?"
Gita terkekeh, lalu berjongkok di samping mbok Jamu yang sudah bersiap menggelar bakulannya. Suara beberapa botol beling berisi ramuan, saling beradu dalam bakul bambu.
"Cobain aja kalau penasaran," ujar Gita pada Yuli, lalu menoleh pada mbok jamu, "saya mau kunyit asem ya Mbok."
Mbok jamu dengan cekatan mencampur beberapa ramuan dari botol-botol yang berbeda ke dalam gelas kaca kecil, lalu menyodorkannya pada Gita.
"Ini Neng satunya ... mau juga?" Mbok jamu menawarkan pada Yuli.
Yuli tampak ragu, lalu bertanya, "Memangnya jamu yang itu gunanya buat apa Mbok?" tanya Yuli menunjuk pada gelas di tangan Gita.
Sedangkan Gita dengan santai menyeruput ramuan kunyit asem sambil bersila di trotoar yang cukup lebar itu.
Mbok jamu pun kemudian dengan senang hati menjelaskan manfaat jamu yang dipesan Gita, serta merekomendasikan campuran lainnya untuk fungsi yang berbeda. Yuli menyimak dengan seksama, ia merasa antusias dengan penjelasan mbok jamu tersebut dan akhirnya memilih larutan hangat dari campuran jahe dan gula merah, karena cuaca sedang berangin.
"Oh iya, soal cerita hantu yang tempo hari mbok ceritain, jangan-jangan itu arwah penasaran murid yang meninggal di sekolah. Neng tau soal itu?" tanya mbok jamu seraya merapikan gelas-gelas yang tadi digunakan Gita dan Yuli.
Gita dan Yuli saling tatap, lalu sama-sama menggeleng.
"Mbok denger soal itu dari siapa?" tanya Gita. Asem banget nakut-nakutin orang tua tuh orang.
"Dari pak guru. Ganteng orangnya. Waktu itu mbok lagi lewat sekolah Pelita dan ada guru-guru yang beli jamunya mbok. Sekalian aja mbok tanyain soal hantu itu," ujar si mbok serius.
"Jadi bener gak ada yang meninggal dan masih gentayangan di sekolah?" cecar mbok jamu.
Gita garuk-garuk kepala. "Mungkin bercanda aja kali, Mbok. Biar akrab," balas Gita lantas terkekeh.
"Iya kali ya. Dasar, ganteng-ganteng kok mulutnya iseng," cibir mbok jamu.
Tak lama kemudian ia pun pergi setelah menerima bayaran dari Gita dan Yuli.
Dalam hati Gita menerka-nerka siapa gerangan guru tampan yang mengatakan soal siswa yang meninggal di sekolah.
Apa mungkin itu Rudi yang ngomong? Kayaknya gak ada tampang berghibah deh dia. Tapi bisa aja sih, dia merasa tersindir karena inget sama kelakuannya ke Denting. Ah gue udah nuduh lagi aja.
***
Gio yang duduk di depan gerbang perumahan mengehela napas lega, ia akhirnya berdiri ketika melihat Gita dan Yuli turun dari angkutan kota berwarna putih dan biru.
"Kalian lama banget, kirain tiba-tiba batalin janji," protes Gio.
"Maaf ketua OSIS, tadi kami minum jamu dulu," jawab Yuli.
"Motor Lo mana?" tanya Gita.
"Aman, udah diparkir," jawab Gio, lalu menatap mendung di langit, "cepetan yuk, takut keburu hujan!" ajak Gio seraya berjalan memasuki gerbang perumahan.
Setelah berjalan beberapa meter dari gerbang, Gio berhenti dan menunjuk sebuah rumah sederhana tanpa pagar, dengan cat abu-abu.
"Di situ tempat tinggal kak Denting," tunjuk Gio.
Gita menganggukkan kepalanya, ia melirik Gio yang tampak tegang namun ada binar antusias pada kedua matanya. Kenapa gue merasa si Gio semangat ya buat ke sini?
"Ini kita terus bertamu atau gimana?" tanya Yuli.
Gita tak menjawab dan melangkah memasuki pekarangan rumah tersebut yang terbilang cukup asri. Di teras, ia mengucapkan salam.
Lalu tak lama kemudian terdengat jawaban salam, dari samping rumah, seorang wanita berjilbab bertubuh kurus, dengan keriput di wajahnya muncul dengan tergopoh-gopoh.
"Cari siapa, Dek?" tanyanya sambil melihat tamu-tamunya bergantian. Mereka murid sekolah, apa mereka juga mencari anak itu?
"Kami adik kelasnya kak Denting, Bu," jawab Gita sopan, ia perhatikan ibu berjilbab itu tampak agak terkejut.
"Oh," jawabnya singkat.
Gita, Yuli dan Gio saling tatap.
"Anu ... kak Dentingnya, ada?" tanya Gio.
Ibu berjilbab itu tampak kebingungan untuk memberikan jawaban, sampai akhirnya pintu rumah tersebut dibuka dari dalam. Seorang gadis berambut pendek dan berkaca mata, melongokkan kepala dari ambang pintu.
"Ada siapa, Bik?" tanya gadis berkaca mata itu.
"Ini lho Mbak Wulan, mereka adik kelasnya Denting," jawab ibu berjilbab yang tampaknya adalah asisten rumah tangga di sana.
Wulan tampak mengulum bibirnya, lalu ia ke luar dari rumah. "Bibik lanjut aja masaknya, mereka biar saya yang nemenin," ujarnya.
Ibu berjilbab itu pun kemudian pamit pada Gita dan teman-temannya, dan menghilang di balik tembok samping rumah.
"Eh, silahkan duduk," ujar Wulan ramah, seraya menunjuk kursi tamu berbahan kayu yang ada di teras itu.
Para pencari Denting itu pun menurut dan duduk melingkari meja bulat bersama sang pemilik rumah.
"Kalian, mencari Denting yang kos di sini?" tanyanya.
Gita mengangguk, "Kak ... Wulan, ya tadi namanya?" Gita berbasa-basi.
"Ah iya, saya Wulan," ujarnya memperkenalkan diri.
Gita dan teman-temannya pun menyebutkan nama mereka bergantian.
"Jadi begini Kak, Kami sebenarnya cukup kaget waktu dengar kak Denting pindah sekolah, jadi kami ingin bertemu langsung dengan dia. Soalnya ponselnya enggak bisa dihubungi." Gita mulai mengarang indah, meski yang ia katakan tak sepenuhnya bohong.
Yuli dan Gio diam, menyimak cara Gita mengorek informasi.
Wulan tampak menggaruk keningnya. Gue harus bilang gimana sama mereka. Gue sendiri udah lama gak ketemu Denting. Jujur aja kali ya.
"Sebenarnya, saya juga sudah lama enggak bertemu dengan Denting."
"Maksudnya gimana Kak?" tanya Gio.
"Dia memang kos di sini, bayar kosan pun tetap lancar. Tapi mungkin karena saya dan orang tua saya juga sama-sama sibuk bekerja, jadi kami sampai tidak sadar kalau sudah lama tidak bertemu Denting," ungkap Wulan.
"Tapi Kakak tau, kalau dia pindah sekolah?" tanya Yuli.
Wulan mengangguk, "Iya, dia kirim pesan pada saya. Tapi ... aneh, kenapa kalian bilang tadi gak bisa menghubungi Denting? Sedangkan dia rutin mengirim pesan tiap bulan, setiap sudah transfer biaya kosan." Wulan tampak curiga.
Gio angkat bicara, "Mungkin karena kami hanya adik kelas yang mengagumi kak Denting, dan saya rasa banyak yang seperti kami, jadi dia tidak sempat membalas pesan kami," kilahnya terdengar meyakinkan, karena Wulan terlihat percaya-percaya saja.
Gita melirik Gio. Wih ketua OSIS bohong. Eh hand phone Denting kan dipegang Tomy, jangan-jangan dia yang kirim pesan dan bayarin kosan setelah Denting menghilang?
BRUGH!
Terdengar suara suara pot palstik berisi tanaman jatuh, semua yang ada di teras menoleh ke arah suara itu, lalu kemudian ibu berjilbab tadi muncul dari samping rumah.
"Lho, ada apa Bik?" Wulan mengernyit heran. Ngapain si bibik? Jangan-jangan dari tadi dia nguping di situ?
Ibu berjilbab itu memilin-milin ujung kaosnya. "Anu ... Mbak Wulan, sebenarnya—"
***