Seorang gadis terpaksa menjual dirinya seharga seratus juta demi membiayai kakak kandungnya yang terbaring koma di rumah sakit.
Menjadi rebutan para lelaki hidung belang, Lily si gadis cantik seharga seratus juta itu tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan jatuh ke tangan William, bos mafia yang digilai banyak wanita.
Dengan hal itu, si gadis seratus juta bisa mendapatkan lebih dari apa yang dia minta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ade Annisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MASA LALU
Lily terbangun lebih dulu di pagi itu, mengusap wajahnya dengan telapak tangan sembari mengingat kejadian semalam, dia menoleh pada pria yang masih terlelap di sebelahnya, terlihat damai dan juga begitu tampan.
Wanita itu kembali mengarahkan tatapannya pada langit-langit kamarnya yang sejak dulu ia tempati, dan untuk pertama kalinya dia membawa seorang lelaki tidur di ranjang ini, dengan kembali mengeratkan selimut tebal pada tubuhnya yang polos, Lily terus menyesali apa yang telah terjadi.
Dia tidak habis pikir kenapa sulit sekali menolak permintaan pria itu, bahkan pada sentuhan pertama di tubuhnya, dan ciuman panas yang mendorongnya ke dinding kamar ini membuat semua usaha kepenolakannya sia-sia, dia tidak dapat berbuat apa-apa.
"Bodooh," rutuk Lily pada dirinya sendiri dengan terus memukul kepalanya dengan tangan, dan sebuah cekalan di lengan menghentikan pergerakan wanita itu, dia pun menoleh dan akhirnya saling bertatapan.
"Selamat pagi," sapa William setelah melirik jam dinding yang ternyata masih pukul tiga pagi, dan sepertinya semalam keduanya hanya tidur beberapa jam.
Lily menarik tangannya dari genggaman pria itu. Kemudian membuang muka, meski wajahnya terlihat kecewa, tapi dia memilih diam saja.
William membenarkan letak kepalanya pada bantal, sedikit mendekatkan tubuhnya pada wanita itu. "Are you ok?" tanyanya dengan merapikan anak rambut Lily yang sedikit menutupi pipi.
Lily menoleh, "apa kau senang?" sindirnya tajam.
Untuk sejenak William tampak terdiam, pria itu kemudian tersenyum, "Kau marah untuk tindakanku yang mana? menyentuhmu bahkan atas kesepakatan bersama," sangkalnya.
Lily menggigit bibir, dia ingat sekali saat pria itu sedikit memaksa, dan bodohnya dia malah tidak bisa menolaknya, dengan masih menatap pria yg berbaring di sebelahnya dia kemudian berkata."Sekarang aku tidak ada bedanya dengan setiap wanita yang dapat kau tiduri dengan mudah."
William tampak diam, tatapannya yang teduh tepat mengarah pada manik mata wanita itu, "perempuan yang mana maksudmu?" tanyanya dengan tersenyum.
Lily berdecak sebal, tentu saja dia tidak tau wanita yang mana dan sudah berapa banyak yang telah ditiduri pria itu selama ini, dan menyadari dia ikut termasuk diantaranya tentu membuat Lily sakit hati, dia memilih diam saja, hingga pria itu akhirnya kembali mengutarakan kalimatnya.
"Eva adalah wanita terakhir yang menghangatkan ranjangku sebelum kamu," ucap pria itu.
Lily tertegun, dia tau Eva adalah mantan istrinya yang telah meninggal, namun apakah kalimat pria itu dapat dipercaya, seorang laki-laki memang selalu pintar dalam hal tipu daya, begitu menurut yang ia baca dari majalah yang ia punya.
"Aku tidak percaya padamu," ucap wanita itu.
William sedikit terkekeh, mengangkat tangannya untuk merapikan rambut wanita itu yang tampak diam saja, "wanita percaya dengan apa yang ingin dia percaya, dan jika kau tidak ingin percaya padaku silahkan saja, kalian itu aneh."
Disebut sebagai kaum aneh Lily tentu tidak terima, "apa maksudnya," tanya wanita itu.
"Saat kami berbohong, kalian menyuruh kami untuk jujur, tapi saat kami jujur, kalian malah tidak percaya, pasal wanita selalu benar ternyata memang ada."
Entah kenapa Lily ingin tertawa, namun dengan sekuat tenaga ia menahannya, tapi meski begitu, raut wajahnya yang tampak geli tidak dapat menyembunyikan itu semua.
"Sebelum ini apa kau pernah punya kekasih?" tanya William penasaran, karena sejak awal menyentuh Lily dia tidak menyangka bahwa dirinya adalah orang pertama.
Sejenak Lily berpikir, menimbang apakah perlu dia bercerita, dan membagi sedikit kisahnya dia rasa tidak ada salahnya. "Aku pernah serius dengan seorang pria, kami bahkan hampir menikah," tutur Lily.
Jeda dalam cerita wanita itu membuat William kemudian memberikan tanggapan, "lalu?"
"Beruntung waktu itu kartu undangan yang memang sudah jadi, belum sempat kami sebar, dan dia membawa kabar untuk membatalkan rencana kami."
Kali ini William memilih untuk diam saja, menunggu wanita itu kembali melanjutkan ceritanya. Dari raut wajahnya yang berubah sendu, juga tatapan benci yang terpancar dari netra wanita itu, William merasa bahwa Lily telah memendam luka.
"Dia mengaku telah menghamili seorang wanita, mereka menjalin hubungan saat kami masih bersama, dan sejak saat itu aku memutuskan untuk menutup diri untuk siapa saja."
Meski William tidak melihat air mata yang jatuh atau menggenang sekalipun dari pelupuk wanita itu, tapi dia yakin perasaannya hancur pada saat itu,"kau sedih?" tanyanya lirih.
Lily melirikkan matanya pada William, "dulu iya, tapi sekarang tidak lagi, aku juga tidak menyesali keputusannya, karena tidak mungkin aku membiarkan seorang anak lahir tanpa memiliki ayah."
Mendengar itu William tersenyum, mengusap pipi Lily dengan perasaan bangga, "setidaknya dia tidak mengakui itu semua saat kalian sudah menikah."
Lily memberikan tatapan teduh pada pria yang berbaring saling berhadapan dengannya itu, "kau tau Will, aku sangat membenci tindakan mantan kekasihku, tapi saat ia memberi keputusan untuk menikahi selingkuhannya, aku menghargai itu, mungkin hubungan mereka dilandasi sebuah kecelakaan, bisa jadi tidak saling mencintai, tapi dengan begitu aku percaya dia pria yang bertanggung jawab."
William kembali merapikan rambut wanita di hadapannya, menyelipkan surai itu ke balik telinga,"boleh kah aku bertanya?" ucapnya.
Lily sedikit menggerakkan kepalanya mencari posisi yang nyaman di atas bantal, "tanyakanlah," ucap wanita itu.
"Kenapa kau tidak mau aku bertanggung jawab atas dirimu, bukankah kamu tau aku sudah berkali-kali mengajakmu menikah, dan kau selalu mengabaikannya."
Untuk sesaat Lily terdiam, "aku belum bisa sepenuhnya mempercayakan hatiku padamu, tidak menutup kemungkinan bahwa aku akan terluka lagi kan?"
William menghela napas. "Oh Lily katakanlah, apa yang harus aku lakukan agar kau dapat percaya."
"Tidak untuk sekarang ini, Will. Aku harus memikirkan semuanya."
"Tapi bagaimana jika kau hamil?" Tanya William, karena seingatnya dia tidak pernah memakai pengaman.
Kalimat itu membuat Lily kembali diam, sempat berpikir bagaimana jika hal itu benar terjadi, tapi dia selalu menghitung tanggal kesuburan pada tubuhnya, dan selama ini aman-aman saja.
Lily mengerjap gugup saat mendapati pria di hadapannya itu mendekatkan wajah untuk meraih bibirnya, dan dia kemudian membalasnya.
***
Menjelang siang William mengantarkan Lily pulang ke toko bunganya, dan dengan tergesa wanita itu segera menuju ke dalam kamarnya untuk bercermin.
Selalu saja pria itu memberikan banyak tanda merah di sekitar lehernya, dan hal itu membuatnya berdecak sebal, beruntung hari ini Nindi libur dan hanya ada sang kakak yang tidak mungkin akan mengetahui ketakutannya.
Pandangan Lily terpaku pada kalung pemberian William yang melingkar di lehernya, liontin kecil berbentuk hati itu terlihat begitu mewah, dan dia memperhatikan keunikannya, "Sepertinya ini dapat dibuka," gumam wanita itu.
"Kau tidak pulang semalam?"
Kalimat itu membuat Lily terlonjak, perhatian pada liontin kecil itu pun teralihkan, dan dengan sedikit gugup dia menghampiri kakak kandungnya. "A, aku?"
"Bukan kah kau bilang makan malam dengan si br*engsek itu, kemana dia membawamu bermalam?"
Entah kenapa Lily merasa takut, padahal pria itu tidak dapat membaca raut wajahnya, berbohong sekali saja dia rasa tidak akan apa-apa, toh ini demi kebaikan mereka.
"Aku tidak bermalam dengannya Kak, setelah makan malam itu aku menemui Lura di apartemennya."
Leon tampak tidak percaya, namun dari raut wajahnya terlihat sekali pria itu merasa lega. "Berhati-hati dengan William Ly, jangan sampai kau masuk perangkapnya, dia itu pria yang licik." Leon menasihati.
Seketika Lily merasa bersalah, apakah benar dia sudah masuk ke dalam perangkap William, apakah benar dia sebodoh itu.
"Ly? Kau dengar aku?"
Lily yang sempat melamun kemudian menoleh, "iya Kak, aku mendengarmu."
"Setelah kau pergi semalam, Daniel ke sini, dia menitipkan salam untukmu, dan sepertinya dia menyukaimu."
Mengingat pria bernama Daniel Lily jadi gelisah, benarkah perasaannya pada pria itu masih sama seperti dulu, benarkah dia masih mengharapkan dicintai pria itu, dengan kondisi ya sekarang ini tampaknya dia tidak mau berharap lagi.
"Untuk apa Daniel ke sini, tidak mungkin hanya ingin mencariku kan, dia bisa menelepon jika perlu."
Pertanyaan itu membuat Leon tersenyum, dan Lily mengerutkan dahi akan hal itu.
"Daniel bilang ada pendonor mata untukku," ucap Leon, namun saat Lily mulai ikut tersenyum senang, kakaknya itu malah terlihat murung. "Tapi biaya operasinya begitu mahal, kita tidak mungkin dapat membayarnya."
Lily terdiam, uang yang diberikan William sudah habis untuk biaya pengobatan sang kakak hingga pulih seperti ini, haruskah dia kembali meminta pada pria itu lagi.
***iklan***
Author : Gimana, gw udah cocok jadi penulis skenario sinetron chanel ikan terbang blom 🙄
Netizen : Bisa dah ngeselin nya sama 😑
Author : kira-kira Lily bakal minta duid gak, secara Bang Bule holang kaya. 🤔
Netizen :Serah lu lah males gw nebak-nebaknya
Jan lupa tekan like biar jempolnya gak ilang 😌