Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 - Between Us
Mobil Xavier berhenti perlahan di basement apartemen. Ia segera keluar dan bergegas membukakan pintu penumpang. Luna hanya bisa menggelengkan kepala, tersenyum kecil melihat perhatian berlebih itu.
"Aku bisa jalan sendiri," protes Luna pelan, meski tubuhnya masih terasa ngilu.
"Dan aku tetap akan memastikan kau tidak jatuh setengah langkah pun," balas Xavier singkat, menatapnya tegas.
Tanpa memberi kesempatan untuk membantah, Xavier meraih tas kecil Luna dan membantu menopangnya saat berjalan menuju lift. Selama perjalanan itu, Luna sesekali melirik Xavier yang begitu fokus padanya, seolah dunia luar tidak ada.
Begitu tiba di unit apartemen, Luna membuka pintu dan melangkah masuk.
Xavier mengikuti dengan hati-hati, dan begitu melihat Luna hendak melepas jaketnya dengan satu tangan, dia langsung maju.
"Duduk," perintah Xavier lembut. "Aku yang urus."
"Aku cuma mau lepas jaket, bukan operasi besar, Xavier," gumam Luna geli.
Tapi melihat sorot serius di mata Xavier, ia akhirnya menuruti. Ia duduk di sofa sementara Xavier berlutut di depannya, dengan hati-hati membantu melepaskan jaket itu dari siku Luna yang terluka.
Saat melihat perban yang mulai basah oleh darah segar, wajah Xavier mengeras.
"Aku akan ganti perbannya," ucapnya tegas.
Xavier segera bergerak ke dapur, membuka kotak P3K yang selalu ia simpan di laci atas. Gerakannya terlatih, cepat tapi tetap lembut. Ia kembali ke hadapan Luna, menyiapkan alkohol, kasa steril, dan perban baru.
"Ini mungkin sedikit perih," katanya sebelum mulai membersihkan luka.
Luna mengangguk, mengatupkan bibirnya erat-erat saat cairan antiseptik menyentuh lukanya.
Xavier bekerja dalam diam, teliti dan sabar. Setiap sentuhan di kulit Luna terasa seperti pelukan kecil yang menguatkan, bukan sekadar pertolongan medis.
Setelah selesai membalut luka dengan perban baru, Xavier menatap Luna dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—perpaduan antara kekhawatiran, ketulusan, dan sesuatu yang lebih dalam, lebih pribadi.
"Kau harus benar-benar istirahat," katanya, suaranya nyaris berbisik. "Setidaknya malam ini... jangan keras kepala."
Luna tersenyum tipis, matanya berkilat nakal.
"Aku tidak yakin bisa istirahat kalau kau terus mondar-mandir di hadapanku. Kau tahu, aku ini cepat tergoda," ucapnya, setengah bercanda.
Xavier, yang sedang membereskan perlengkapan P3K di meja kecil, menoleh dengan senyum miring. Suara tawanya rendah dan berat, bergema hangat di ruang tamu kecil itu.
"Kalau itu masalahnya," katanya sambil berjalan mendekat, "aku bisa duduk diam... atau kalau kau mau, aku bisa mengganggumu dengan sangat lembut."
Nada suaranya begitu santai, tapi ada kilatan godaan halus di matanya.
Luna mengangkat alis, berpura-pura berpikir. "Hmm... mengingat aku masih terluka, aku pikir... opsi pertama lebih aman."
Xavier tertawa lagi, kali ini lebih dalam. Ia lalu menarik salah satu bantal besar di sofa dan duduk di lantai, tepat di samping tempat Luna bersandar.
"Aku akan duduk di sini. Tidak bergerak. Tidak membuat masalah," janjinya, menatap ke depan dengan gaya yang berlebihan seperti prajurit siaga.
Luna terkikik kecil. Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, rasa sakit di tubuhnya terasa sedikit berkurang.
Hening nyaman melingkupi mereka untuk beberapa saat. Lampu ruang tamu dibiarkan redup, menciptakan bayangan lembut di dinding. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan menemani.
Kemudian Xavier bangkit, tanpa menunggu izin, ia membungkuk dan menyelipkan satu lengannya ke bawah lutut Luna, lalu satu lagi menyangga punggungnya. Dengan satu gerakan mantap, Xavier mengangkat tubuh Luna dalam pelukannya.
Luna tersentak kecil. "Xavier... kau tak harus—"
"Diam dan nikmati saja," gumamnya, dengan senyum tipis yang tidak bisa ditolak. "Malam ini kau jadi putri, ingat?"
Luna mendesah pasrah, menyembunyikan wajahnya di lekuk leher Xavier, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan dan aroma khas pria itu.
Xavier membawa Luna ke kamarnya dengan langkah pelan dan mantap, ia mendorong pintu dengan bahunya, lalu menurunkannya perlahan ke atas kasur yang luas dan empuk.
Selimut ditarik hingga sebatas dada Luna, dan ia menata bantal di sisi kanan dan kiri, memastikan kenyamanan Luna benar-benar tak terganggu. Setelah memastikan semuanya, Xavier ikut berbaring di sampingnya, menyisakan sedikit jarak, tapi cukup dekat untuk membiarkan kehangatannya menyelimuti Luna.
"Masih ingat cerita soal pasien kecilku yang takut jarum suntik, tapi berani meninju perawat?" tanyanya tiba-tiba.
Luna tertawa pelan, memejamkan mata. "Ceritakan, aku ingin mendengar semuanya malam ini."
Xavier mulai bercerita, dengan nada yang santai namun penuh detail. Tentang anak-anak di bangsal, tentang kekonyolan para pasiennya, dan betapa kadang dunia medis tak sekeras yang dibayangkan—bahkan menyimpan begitu banyak tawa jika dilihat dari sudut pandang yang tepat.
Suara Xavier perlahan menjadi seperti lagu nina bobo di telinga Luna. Ritmenya lembut, menenangkan, dan setiap jedanya seperti jeda nafas yang menjaga Luna tetap berada dalam kenyamanan.
Ketika ia melirik, Luna sudah tertidur. Napasnya teratur, wajahnya tenang.
Xavier tidak langsung memejamkan mata. Ia menatapnya beberapa detik lagi, lalu membisikkan kata yang tidak berani ia ucapkan saat gadis itu terjaga.
*
Cahaya pagi yang lembut menyelinap masuk lewat celah tirai, menyapu pelan wajah Luna yang masih terlelap. Suasana kamar begitu tenang, hanya terdengar kicau burung dari luar dan suara detak jam dinding yang berjalan perlahan.
Luna menggeliat pelan, kelopak matanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Sesaat, ia tampak kebingungan. Pandangannya menyapu seluruh ruangan hingga berhenti pada sisi tempat tidur yang kosong.
Xavier tidak ada di sana.
Hanya ada lipatan selimut yang masih hangat bekas tubuhnya, dan aroma samar sabun serta cologne Xavier yang masih tertinggal di udara. Luna perlahan bangkit duduk, memperhatikan sekeliling, hingga matanya jatuh pada sebuah nakas di sebelah tempat tidur.
Di sana, ada semangkuk bubur yang masih mengepul hangat, dengan potongan kecil ayam dan irisan daun bawang di atasnya. Di samping mangkuk itu, terlipat rapi sebuah kertas kecil berwarna putih gading.
Dengan rasa penasaran yang bercampur senyum samar, Luna mengambil dan membuka kertas itu.
Tulisan tangan Xavier rapi dan tegas.
Luna,
Aku harus kembali ke rumah sakit pagi ini untuk mengecek beberapa pasien.
Bubur ini masih hangat—dan ya, aku tahu kau bukan penggemar bubur,
tapi setidaknya makanlah beberapa suap sebelum kepalamu pusing lagi.
Jangan membantah, atau aku akan membuatmu makan bubur ini langsung dari tangan dokter.
Istirahat yang cukup.
Aku akan kembali sore ini. Jangan kabur.
—X
Luna tertawa kecil membaca kalimat terakhir itu. Ia menatap mangkuk bubur itu sesaat, lalu tersenyum dan berbisik pada diri sendiri, "Dia bahkan membuat ancaman terdengar manis."
Dengan pelan, ia mengambil sendok dan mulai menyantap bubur buatan Xavier. Hangat, gurih, dan sedikit terlalu asin—mungkin karena Xavier terbiasa memasak dengan takaran tegas seperti menulis resep medis. Tapi entah mengapa, itu justru membuat bubur itu terasa… personal.
To Be Continued >>>
semangaaattt ya thor
Aku dukung 🥰