Aira tidak pernah berharap menikah untuk kedua kalinya. Namun dia menyangka, takdir pernikahan pertamanya kandas dengan tragis. Seiring dengan kepedihan hatinya yang masih ada, takdir membawanya bertemu dengan seorang pria.
"Aku menerimamu dengan seluruh kegetiran dan kemarahanmu pada seorang lelaki. Aku akan menikahimu meski hatimu tidak tertuju padaku. Aku bersedia menunggu hatimu terbuka untukku," ujar pria itu.
"Kamu ... sakit jiwa," desis Aira kesal sambil menggeram marah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruangan Pak Ibrar
Meskipun langkah menuju kantor Ibrar terasa berat, tapi Aira harus kesana. Dia sudah berjanji pada pihak bank untuk memberi tempat bagi mereka melakukan realisasi uang palsu. Dan itu harus meminta ijin pada Ibrar terlebih dahulu sebagai manajer building.
Kaki Aira sampai di depan pintu ruangan Ibrar. Menghela napas dulu sebelum mengetuk pintu.
Tok, tok! Jari Aira mengetuk pintu. Tidak ada suara. Apakah dia salah ruangan? Aira mundur dan melihat bingkai pintu ruangan ini. Benarkah ini ruangan Pak Ibrar? Kepala Aira melongok ke ruangan di samping yang juga tertutup. Apa mungkin ruangan di samping adalah ruangan Pak Ibrar?
Aira sedikit lupa.
Kaki Aira melangkah menuju ke pintu di samping. Mencoba mengetuknya. Akhirnya pintu terbuka, tapi bukan Pak Ibrar.
"Ruangan Pak Ibrar sebelah mana?" tanya Aira.
"Di sebelah, Mbak. Disini ruang teknisi."
"Pak Ibrar ada?"
"Ada kok. Sejak tadi ada di dalam ruangan," jawab cowok ini. "Mbaknya sudah mencoba mengetuk pintu kan?"
"Iya, tapi enggak ada orang."
"Ada kok Mbak. Coba saja ketuk lagi. Mungkin enggak dengar." Aira ragu. "Atau aku ketukkan pintu deh."
"Enggak perlu. Biar aku saja. Terima kasih." Setelah mengucap terima kasih dan di sambut anggukan kepala oleh cowok itu, Aira kembali ke pintu sebelah. Sekali lagi Aira menghela napas. Sepertinya lebih berat daripada tadi.
Mungkin aku harus mengetuk pintu lebih keras.
"Kamu mencariku?" tegur seseorang di belakang Aira. Tubuh perempuan ini memutar menghadap asal suara. Ibrar ada di belakangnya.
"Ah, iya. Saya ada perlu." Langkah Ibrar tiba-tiba mendekat membuat Aira terkejut. Rupanya pria itu hendak memegang handle pintu untuk membukakan pintu bagi Aira. Karena Ibrar tidak memberi aba-aba apapun kalau dia akan menyentuh gagang pintu, Aira tidak bergeser terlalu jauh dari pintu. Aroma tubuh pria ini tidak sengaja terhirup oleh indera penciuman Aira.
"Masuklah ..." Ibrar mempersilakan Aira masuk sambil menoleh. Aira yang sempat kehilangan fokus karena aroma tubuh itu mengangguk canggung. Kemudian masuk ke dalam ruangan Ibrar, setelah pria itu mendorong daun pintu lebih lebar. "Duduklah."
Aira duduk. Bola matanya melihat ke sekeliling. Terasa berbeda. Padahal, ini bukan pertama kalinya dia ke ruangan ini. Sebelum ada manajer baru, Pak Yuta pernah menyuruhnya ke ruangan ini.
"Kamu ingin minum sesuatu?" tawar Ibrar.
"Tidak perlu, Pak."
"Udara di luar sangat panas. Pendingin ruangan mungkin kurang menyejukkan kerongkongan." Ibrar menuju ke kulkas mini yang berada di ujung ruangan. Tidak jauh dari meja kerjanya. "Kita perlu meneguk sesuatu yang dingin." Ibrar mendekat ke sofa yang di duduki Aira sambil meletakkan sebotol minuman dingin berkemasan. "Ada perlu apa?" tanya Ibrar. Aira menghentikan bola matanya beredar ke seluruh ruangan.
"Saya ingin meminta ijin meminjam ruangan untuk di pakai dalam acara realisasi uang palsu."
"Itu ... kerja sama dengan bank?"
"Ya. Bank negara memang sengaja datang menemui saya, karena mereka ingin melakukan realisasi di mall kita."
"Apakah ini sering di lakukan?"
"Iya, Pak. Sudah beberapa kali. Namun pihak bank tidak pernah menunjuk pihak fashion. Mereka menunjuk staff keuangan market sebagai tuan rumah. Sepertinya mereka tidak meminjam ruangan gedung baru karena saat itu masih belum ada gedung baru." Aira menjelaskan.
Meskipun awalnya canggung karena pertemuan tidak terduga mereka di rumah orangtua Aira, tapi Ibrar bersikap biasa. Seolah pertemuan itu tidak ada. Akhirnya Aira juga bisa bersikap biasa seperti sebelumnya.
"Jadi ... ruangan mana yang ingin kamu pinjam?"
"Saya belum tahu. Pihak EO dari bank nanti akan meninjau tempat lagi. Setelah memutuskan, saya baru bicara pada Anda lagi."
"Baiklah. Apa perlu aku juga menemani mereka saat meninjau lokasi?" tawar Ibrar. Mendengar tawaran ini, Aira ragu. Jika ia mengiyakan, itu akan tidak menyenangkan. Jika bilang tidak, memang lebih baik Ibrarlah yang menemani mereka. Karena Ibrar yang memegang hak atas ruangan yang kemungkinan menjadi lokasi.
"Jika Anda sedang senggang," ujar Aira mengatakan secara bijak.
"Tentu." Ibrar tersenyum.
"Terima kasih atas ijinnya." Aira akan beranjak pergi.
"Lebih baik kamu minum dulu, minuman dingin yang sudah aku suguhkan." Ibrar menahan Aira dengan menyuruhnya meminum teh dingin yang belum di sentuh sama sekali.
"Baik." Aira mengangguk dan mengulurkan tangan mengambil minuman itu. Membuka botol kemasan yang masih tersegel itu. Dan rupanya segel botol minuman itu sungguhlah sulit. Aira perlu mengeluarkan sedikit lebih banyak tenaga demi meminumnya.
Sret! Sebuah tangan menangkap botol itu. Aira terkejut. Kepalanya mendongak. Ternyata Ibrar menahan Aira untuk tidak terus berusaha membuka segel botol.
"Minumlah teh ini. Segelnya sudah aku lepas." Aira tidak membantah. Dia hanya mengerjapkan mata saat Ibrar mengganti botolnya yang belum terbuka dengan botol milik Ibrar yang baru saja di buka segelnya. "Sepertinya kamu kesulitan membuka segel minuman itu."
Aira memang kesulitan, tapi jika harus Pak Ibrar yang membuka segel itu sepertinya tidak tepat.
"Minumlah," pinta Ibrar yang melihat Aira masih tertegun melihat pergantian botol minuman itu. Aira menggelengkan kepala sebentar kemudian segera meneguk minumannya. Tidak mempedulikan lagi soal Ibrar yang tadi berbaik hati membukakan segel botol untuknya.
"Aku bukan sengaja menemukan rumah tinggal orangtuamu." Saat Aira masih meneguk minuman, Ibra membahas soal pertemuan mereka di rumah orangtua Aira. Manik mata Aira melirik sekejap. "Aku benar tidak tahu, kalau mereka keluargamu."
"Saya tidak apa-apa dengan itu. Anda bebas menemui siapa saja."
"Jadi ... aku masih boleh mengunjungi orangtuamu atau Wira?" tanya Ibrar penasaran.
"Itu terserah Anda." Aira tidak peduli.
"Syukurlah ...," ujar Ibrar lega. Dia minum minuman dingin itu dengan wajah bahagia.
"Namun saya mohon, abaikan semua yang dikatakan mereka tentang saya. Jangan hiraukan apapun yang di ceritakan keluarga saya tentang kehidupan saya." Ini bukan sebuah permintaan. Tanpa sadar Aira mengatakannya bagai sebuah ancaman. Sorot mata Aira tegas saat mengatakan itu.
"Maaf, soal itu. Telingaku memang sempat mendengar, tapi jangan khawatir. Aku tidak akan menggunakan bibirku untuk mengatakannya pada semua orang."
"Terima kasih atas pengertian Anda." Minuman sudah habis. Aira berpamitan pergi melanjutkan pekerjaannya.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Ibrar membuat Aira heran. Pertanyaan soal apa itu? Hatiku? Pria ini sedang menanyakan tentang hatiku? Aira yang sudah berdiri tidak segera menjawab pertanyaan Ibrar. Bola matanya hanya menatap Ibrar dengan penuh pertanyaan. "Aku harap kamu selalu baik-baik saja, Ai." Ibrar meneruskan sendiri kalimatnya. Dia tidak lagi menunggu jawaban dari perempuan ini.
"Terima kasih. Saya pamit kembali ke ruangan saya untuk melanjutkan pekerjaan."
"Ya. Silahkan." Ibrar mempersilakan Aira kembali ke tempatnya.
Jadi dia sudah bercerai? Perempuan itu sudah berubah statusnya. Lalu bagaimana dengan kehamilannya? Bukankah saat itu dia hamil?
Masih di tempat duduknya. Ibrar berpikir banyak soal Aira. Tidak sengaja, dia juga mendengar cerita Aira dari Wira.
banyak pelajaran yang di dapat
berharap ada bonchap sampai aira melahirkan
masih terbawa kesel sm nara dan eros
rasa sakit dan trauma aira belum sebanding sakitnya nara dan penyesalan eros
Aira masih sangat ingin dekat eros
Buktinya dia masih g bisa move on
Kesan nya kayak perempuan bodoh
Anak dalam nikah meninggal
Jadi aira ga da iktan lagi
kalo Aira, kakaknya Ibrar dijodohin sama Yuta gimana y...?