Ongoing
Feng Niu dan Ji Chen menikah dalam pernikahan tanpa cinta. Di balik kemewahan dan senyum palsu, mereka menghadapi konflik, pengkhianatan, dan luka yang tak terucapkan. Kehadiran anak mereka, Xiao Fan, semakin memperumit hubungan yang penuh ketegangan.
Saat Feng Niu tergoda oleh pria lain dan Ji Chen diam-diam menanggung sakit hatinya, dunia mereka mulai runtuh oleh perselingkuhan, kebohongan, dan skandal yang mengancam reputasi keluarga. Namun waktu memberi kesempatan kedua: sebuah kesadaran, perubahan, dan perlahan muncul cinta yang hangat di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Waktu tidak berhenti hanya karena satu rumah sedang retak. Hari-hari tetap berjalan. Pagi datang, malam turun, dan di antara itu semua, Feng Niu semakin jarang pulang dengan alasan yang jelas.
Awalnya hanya satu dua malam dalam seminggu. Lalu menjadi kebiasaan. Ji Chen berhenti bertanya setelah menyadari bahwa setiap pertanyaan hanya akan berujung pada nada dingin atau senyum mengejek. “Aku bekerja,” kata Feng Niu suatu kali, sambil melepas anting panjangnya.
“Atau bersosialisasi. Itu penting juga untuk karierku.” Ji Chen tidak membalas. Ia hanya menatap anaknya yang duduk di sofa, memeluk lutut kecilnya, berpura-pura sibuk dengan mainan. Xiao Fan sudah tidak lagi menunggu di dekat pintu. Ia belajar terlalu cepat bahwa menunggu tidak selalu menghasilkan apa-apa.
Beberapa minggu berlalu. Xiao Fan kini berusia tiga tahun lebih beberapa bulan. Di usia itu, anak-anak seharusnya berisik, banyak bertanya, mudah tertawa. Tapi Xiao Fan justru menjadi pendiam. Ia makan tanpa bersuara. Ia bermain tanpa meminta ditemani. Ia tidur lebih cepat, seolah lelah pada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Ji Chen memperhatikan setiap perubahan itu dengan hati yang makin berat.
Di rumah, Feng Niu hanya singgah. Ia pulang, mandi, berganti pakaian, lalu pergi lagi. Atau pulang dalam keadaan terlalu lelah atau terlalu mabuk untuk sekadar menoleh ke arah anaknya.
Suatu malam, Xiao Fan duduk di lantai kamar, menyusun balok kayu sendirian. Feng Niu melintas di depan pintu. “Mama,” panggilnya pelan. Feng Niu berhenti sebentar. “Apa?”
“Kamu besok pergi lagi?” Pertanyaan itu tidak menuduh. Tidak memohon. Hanya penasaran. Feng Niu menghela napas. “Mungkin.”
“Oh.”
Satu kata. Lalu Xiao Fan menunduk lagi. Feng Niu melanjutkan langkahnya tanpa menoleh. Dan entah sejak kapan, itu menjadi hal yang biasa.
Di luar rumah, Feng Niu hidup seperti tidak memiliki apa pun yang mengikatnya. Ia mulai sering muncul di pesta-pesta bisnis, acara malam, jamuan eksklusif. Gaun-gaun terbuka, tawa keras, gelas anggur yang tidak pernah kosong terlalu lama. Qin Mo selalu ada di sampingnya. “Kau kelihatan jauh lebih hidup sekarang,” kata wanita itu suatu malam, menyodorkan minuman. “Lihat dirimu dulu. Seperti burung dalam sangkar emas.” Feng Niu tersenyum puas. “Sekarang aku bernapas.”
“Anakmu?” Feng Niu mengangkat bahu. “Ji Chen bisa mengurusnya.” Kalimat itu keluar terlalu mudah. Qin Mo tersenyum, puas. “Itu hakmu. Kau berhak bahagia.” Dan Feng Niu ingin mempercayai itu. Ia ingin percaya bahwa kebebasan adalah pembenaran untuk semua yang ia tinggalkan.
Beberapa hari kemudian, Feng Niu pulang larut dengan langkah sedikit goyah. Rumah gelap. Lampu ruang tamu menyala redup. Ji Chen duduk di sana. “Kau belum tidur?” Feng Niu bertanya, melepaskan sepatu. “Xiao Fan demam ringan sore tadi,” jawab Ji Chen tanpa nada menuduh. Feng Niu berhenti sebentar. “Sekarang bagaimana?”
“Sudah turun.”
“Oh.”
Tidak ada langkah menuju kamar anak. Tidak ada pertanyaan lanjutan. Feng Niu melangkah pergi. Ji Chen menatap punggung istrinya lama sekali. Untuk pertama kalinya, pikirannya melayang ke satu pertanyaan yang selama ini ia dorong ke sudut paling gelap pikirannya: Berapa lama lagi aku bisa membiarkan ini terjadi?
Hari-hari berikutnya, Feng Niu semakin jarang terlihat di rumah saat matahari terbit. Xiao Fan berhenti bertanya tentang ibunya. Ia tidak lagi menyebut kata “Mama” kecuali jika terpaksa.
Suatu sore, Ji Chen mengajaknya berjalan di taman kecil dekat rumah. Daun-daun mulai menguning, menandakan pergantian musim. “Ayah,” kata Xiao Fan tiba-tiba. “Hm?”
“Kalau aku diam saja, Mama tidak marah, kan?” Ji Chen berhenti melangkah. Ia jongkok di depan anaknya, memegang bahu kecil itu. “Kamu tidak perlu diam untuk membuat siapa pun tinggal,” katanya pelan tapi tegas. Xiao Fan menatapnya, tidak sepenuhnya mengerti. Ji Chen memeluknya. Di dadanya, ia merasakan tubuh kecil itu terlalu ringan untuk menanggung beban seperti ini.
Sementara itu, Feng Niu semakin tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia mulai pulang dengan aroma parfum pria yang berbeda. Ji Chen mencium baunya, tapi memilih diam. Ia tidak ingin tahu. Tidak ingin melihat. Tidak ingin memastikan sesuatu yang sudah terlalu jelas di udara. Wang Jie, asistennya, beberapa kali ingin bicara, tapi menahan diri. Ia melihat perubahan Feng Niu lebih keras, lebih impulsif, lebih tidak peduli.
Di kantor, Feng Niu juga berubah. Ia semakin agresif, semakin berani mengambil risiko, semakin tidak sabar pada siapa pun yang mengingatkannya tentang rumah. “Kau tidak bisa terus seperti ini,” kata Wang Jie suatu siang, ragu-ragu. Feng Niu menatapnya tajam. “Kau digaji untuk bekerja, bukan mengatur hidupku.” Wang Jie terdiam.
Di rumah, Ji Chen mulai membangun rutinitas kecil bersama Xiao Fan. Makan malam sederhana. Membaca buku sebelum tidur. Berjalan pagi di akhir pekan. Hal-hal kecil, tapi konsisten. Xiao Fan mulai tertawa lagi pelan, jarang, tapi nyata. Dan setiap tawa itu, Ji Chen tahu, ia tidak boleh gagal.
Suatu malam, Feng Niu pulang dengan emosi buruk. Ji Chen sedang membantu Xiao Fan menyikat gigi. “Kenapa dia tidur begitu awal?” tanya Feng Niu. “Dia lelah,” jawab Ji Chen.
“Dia terlalu dimanja.” Ji Chen menoleh. “Dia hanya anak-anak.” Feng Niu tertawa pendek. “Dan kau suami yang terlalu sok jadi ayah ideal.” Kalimat itu membuat Ji Chen berhenti.
“Kalau kau tidak mau di sini,” katanya akhirnya, suaranya rendah, “jangan jadikan anak kita korban.” Feng Niu menatapnya lama. “Kau menuduhku?”
“Aku meminta.” Keheningan memanjang. Feng Niu mendengus, lalu masuk ke kamar. Pintu tertutup. Xiao Fan yang berdiri di dekat pintu kamar mandi menatap ayahnya dengan mata besar. “Ayah… Mama marah karena aku?”
Ji Chen berlutut dan memeluknya. “Tidak,” katanya, menahan getar di suara. “Bukan karena kamu.” Xiao Fan menempelkan wajahnya di bahu Ji Chen.
Dan malam itu, Ji Chen kembali menidurkannya di kamar sendiri. Beberapa bulan berlalu. Musim berganti. Xiao Fan bertambah usia, sedikit demi sedikit. Dan Feng Niu tanpa ia sadari semakin menjauh dari rumah yang pernah ia tinggali. Ia tidak tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil menjauh, ia sedang meninggalkan luka yang tidak mudah sembuh. Dan Ji Chen tahu Jika ini terus berlanjut, sesuatu akan hancur. Bukan mungkin. Tapi pasti.