Ketika Pagi datang, Lucian Beasley akan pergi. Tetapi Malam hari, adalah miliknya. Lucian akan memelukmu karena Andralia Raelys miliknya. Akan tetapi hari itu, muncul dinding besar menjadi pembatas di antara mereka. Lucian sadar, tapi Dia tidak ingin Andralia melupakannya. Namun, takdir membencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chichi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21: Keputusan Sepihak
Pukul 3 dini hari Andralia terbangun karena gumaman sosok dibelakangnya. Andralia menoleh ke asal suara itu. Di sana, dia melihat Lucian yang sudah duduk di pinggiran kasur. Kepalanya menunduk ke bawah.
"Kenapa lagi orang ini?" Batin Andralia kembali mengabaikannya dan tidur.
Namun, suara gumaman yang tak jelas itu, terdengar seperti lantunan mantra kuno yang pernah dia dengar, namun dia tidak bisa mengingatnya.
Andralia kembali menoleh ke arah Lucian. Lucian masih sama duduk di sana. Mata Andralia begitu sepat. Dia mengucek matanya.
"CTARRRR!"
Kilat dan guntur menyambar bersamaan, dan sekilas Andralia melihat bayangan Lucian dengan tanduk di kepalanya.
Kedua mata Andralia terbelalak lebar. Dia langsung bangun dan menarik bahu kiri Lucian.
Mata merah itu bertemu dengan mata biru Andralia. Mata yang sayu, mata yang menunjukkan kerinduan. Andralia melihat ke arah kening Lucian. Beruntung tidak ada apa-apa di sana.
Tangan kiri Lucian memegang pipi Andralia perlahan, dengan begitu lembut. Namun, di wajah Lucian tidak menunjukkan senyumannya sedikitpun. Sudut bibirnya tidak berubah. Tidak ke atas, maupun ke bawah.
Lucian mendekatkan wajahnya ke arah wajah Andralia. Itu membuat bahu Andralia berkernyit dan menundurkan wajahnya.
"Tetesan matahari mengalir pada darahmu," Ucapnya, lirih, nyaris seperti nyanyian.
Andralia terpaku. Kata-kata itu, terasa asing sekaligus familiar.
"... lantas, mengapa dia memberikan karmanya juga padamu?" suara dengan nada yang sangat asing. Tidak seperti Lucian yang dia kenal.
Suara itu terlalu tenang dan dewasa untuk Lucian yang hangat. Bahasanya juga berbeda.
"Kamu sungguh cantik. Mengapa takdir terlalu keji untuk kita?" Ujung hidung Lucian menempel pada ujung hidung Andralia.
Napas hangat terasa bertukar. Andralia menatap mata merah itu yang masih menunduk. Kini, tangan Lucian tengah memegang dagu Andralia dan mengusap ujung bibir Andralia dengan ibu jarinya.
"Roh-roh dan sumpah yang ku bawa, hanyalah kehancuran bagimu. Maafkan aku karena mencintaimu, Erundil..."
Lucian menunduk. Air matanya jatuh tanpa suara.
"Erundil?" Andralia menahan tangan Lucian di dagunya. Dia menarik mundur wajahnya dari wajah Lucian.
Andralia mengusap air mata itu dengan selimut di dekatnya. "Lucian, kau punya kebiasaan tidur yang buruk!" Tegas Andralia menutupi wajah Lucian dengan selimut itu.
Kemudian, dia kembali tidur dan membiarkan Lucian duduk di tepi sana.
Hingga, saat pagi menjelang. Lucian membuka matanya. Dia tidur di lantai dengan keadaan tubuh yang dibelit oleh selimut.
Andralia sudah rapi, rambutnya juga telah diikat sendiri.
"Yang Mulia... bisa tolong saya berdiri?" Lucian bahkan tidak mampu membalik tubuhnya sendiri karena terhampit antara ranjang dengan laci makeup.
Andralia melirik Lucian. Dia masih terngiang suara rendah itu yang berbeda dengan Lucian konyol ini. Andralia hanya melengos. Di sana, Lucian bisa mendengar retakan hatinya yang patah.
"Yang muliaaaa...." Panggil Lucian sambil mengayun-ngayunkan kakinya yang panjang dan tak bisa berputar posisi.
Andralia malah berjalan menjauh, "Jika 15 menit tak selesai, aku akan ke pantai sendiri" ucap Andralia keluar dari kamarnya.
Akhirnya, Lucian berguling ke bawah kasur agar bisa membalik badannya dan dia cepat-cepat membersihkan diri untuk membuntuti Andralia ke pantai.
Jarak pantai wisata dengan Mansion Black Rose, tidak terlalu jauh. Mereka berdua berjalan kaki sembari menikmati jalanan yang mereka susuri.
Tembok putih tempat Sekolah khusus bangsawan membentang sepanjang jalan setapak yang mereka lewati. Andralia menatap sisi kanannya, lapangan hijau membentang luas, dengan satu pohon beringin tua yang masih kokoh di sana. Angin berhembus kencang, dia menahan topi lebarnya yang hampir terbang.
Lucian berjalan empat langkah dibelakang Andralia. Rambut keemasannya yang dikuncir kuda itu, seakan menari karena sepoian angin. Dres ice blue yang Andralia kenakan, terlihat sangat ringan dan bergelombang karena hembusan angin itu.
Hati Lucian seakan ditumbuhi ribuan bunga dalam sekejap.
Andralia terlihat begitu menikmati perjalanan itu. Dia masih saja melangkahkan kakinya dengan anggun. Lucian mengejar langkah Andralia. Kini, langkah kaki mereka sama. Lucian tersenyum lebar sembari berkata, "Kini Anda terlihat anggun, tak lagi melompat-lompat seperti dulu."
Andralia melirik dan sedikit mendonggakkan kepalanya untuk melihat Lucian.
"Aku tak pernah melompat-lompat" ucap Andralia kembali menatap ke depan.
Anak kecil berlarian tiba-tiba menabrak kaki Andralia. Andralia hampir terjatuh, dan berhasil ditahan Lucian.
Anak-anak yang menambrak Andralia jatuh di tanah. Mereka mendonggakkan kepalanya. Menatap Andralia dan Lucian bergantian.
"Woah" Mata anak laki-laki itu berkilau saat menatap kecantikan Andralia dan saat melihat tubuh tegap Lucian.
"Kau,... tidak apa-apa?" Andralia mengulurkan tangan pada dua bocah itu.
Mereka berdiri dengan cepat. Sedikit melompat dan membersihkan debu di tangan, pakaian, dan celana mereka. Mereka tidak menerima uluran tangan Andralia.
"Woah! Kakak cantik sekali! Kakak berdua mau pergi kemana?" tanya salah satu dari mereka sambil mendatangi Lucian dan mengelilingi Lucian untuk melihat setiap bentuk tubuh Lucian.
"Apa kakak prajurit?! Kakakku juga prajurit!" Bocah itu terlihat sangat antusias dan memeluk pinggang Lucian. "Woah! Tapi! Tubuh kakak lebih keras dari kakakku!!!" Tegasnya.
"Ahahaha..." Lucian hanya terkekeh dan menepuk punggung bocah yang memeluknya.
Andralia menatap bocah kecil yang menatap pinggang Lucian. Bocah itu terlihat sangat senang. "Kakakmu, Prajurit dinas dimana?" Andralia berjongkok di hadapan bocah itu dan mengulurkan tangannya.
Lucian cukup terkejut melihat keramahan Andralia yang belum pernah dia lihat.
Bocah itu masih memeluk pinggang Lucian. "Um,..." senyuman bocah itu melenyap, dia memeluk pinggang Lucian semakin erat.
"Kata Ayahku, kakak dia pahlawan yang gugur di medan tempur" sahut bocah lainnya.
Itu membuat Andralia menatap bocah itu cukup lama.
"Dia hidup sendirian kak. Dia menumpang di rumahku..." lanjutnya.
Andralia menatap bocah kecil itu, tubuhnya lebih kurus dari bocah di sebelahnya. Begitu juga pakaiannya yang lusuh. "Berapa usiamu?" tanya Andralia menatap bocah yang masih memeluk Lucian.
"9 tahun" jawabnya.
"Siapa namamu?"
"Issac"
"Apa kamu mau ikut denganku?"
Kedua mata Lucian terbelalak lebar saat mendengar hal itu keluar dari bibir Andralia sendiri. Bukan untuk mainan, namun tawaran tulus.
"Ikut kakak?" Tanya bocah itu menatap Andralia.
"Iya. Tidak sebagai adikku. Namun, sebagai anak"
"Yang Mulia!?" Lucian tidak menyukai keputusan secara sepihak itu.
Tatapan lembutnya pada anak itu perlahan memudar saat menoleh pada Lucian. "Kenapa?" Andralia masih ketus kepada Lucian.
Lucian tersenyum getir. "Saya suami Anda. Mengapa Anda memutuskan hal ini secara sepihak? Bukan hanya petinggi, Bangsawan lain akan keberatan dengan hal ini. Tolong pikirkan baik-baik" Lucian menahan sakitnya di dada.
Andralia berdiri di hadapan Lucian. "Kau memang suamiku secara politik. Ini adalah keputusan terbaik, karena aku tidak akan pernah mengandung anak darimu" ucap Andralia.