NovelToon NovelToon
Mess Up! Lover!

Mess Up! Lover!

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Obsesi / Anime / Angst / Trauma masa lalu
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Cemployn

Mess Up!

Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.

Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 20 : Orang Dewasa Tidak Sekuat Itu

Ben menatap Lya; wajah perempuan itu dibasahi peluh. Satu tetes yang meluncur di pelipisnya saja sudah cukup untuk menyalakan kecemasan di dada Ben. Tangan pria itu tak henti bergerak, mengusap keringat yang terus muncul hingga ujung lengan bajunya ikut lembap. Sesekali ia menyibakkan beberapa helai rambut Lya ke belakang telinga—hanya untuk mendapati lebih banyak keringat di sana, beberapa helai bahkan menempel basah di kulit.

Sementara itu, Lya masih duduk termangu di tempatnya. Tatapannya lurus ke depan, namun kosong—seolah tidak benar-benar melihat apa pun. Ia hanya berusaha menata pikirannya, menenangkan gejolak amarah yang sempat berkecamuk dalam dirinya.

Angin sepoi-sepoi berembus lembut, menyentuh kulit seperti belaian, perlahan mengeringkan sisa keringat yang masih melekat. Suara dedaunan yang saling bergesekan di pepohonan terdengar seperti alunan musik lembut, mengiringi suasana yang perlahan berubah menjadi damai.

“Katanya, aku tak perlu terburu-buru,” ujar Lya lirih, memecah sunyi yang sedari tadi menggantung. Ia memeluk lututnya, menyandarkan dagu di sana. “Tak apa kalau terlambat lulus... asal aku baik-baik saja,” lanjutnya, lebih seperti mengulang pesan itu pada dirinya sendiri.

“Dan Ayah bilang aku harus menceritakan hal-hal yang memberatkanku belakangan ini...” Ucapan Lya terhenti di ujung kalimat. Ada panas yang kembali menjalar di dadanya. Tangannya terkepal erat, menahan amarah yang muncul lagi saat mengingat omong kosong dari Ayahnya beberapa menit lalu.

“Bukankah itu karena mereka merasa bersalah?” Ben akhirnya membuka suara. Tangannya terulur, menggenggam kepalan tangan Lya, secara alami mencoba melonggarkannya sedikit demi sedikit.

Tampang Lya tampak terpukul akan sesuatu. Ia merasakan perasaan asing dalam dirinya, yang tidak bisa dijelaskan. Hanya terasa sesak.

“Lya… dari raut wajah Ayahmu, aku bisa melihat kesedihan yang dalam."

"Kau tahu, kadang manusia memang melakukan kesalahan yang tak bisa diubah, tapi sebagian dari mereka mencoba menebusnya—dengan cara yang mereka mampu, di kesempatan kedua yang datang.”

"Lya... Maukah kamu memberi mereka kesempatan?"

Permintaan itu lepas dari bibir Ben pada akhirnya. Membuat mata Lya melebar menatap pada kekasihnya itu. Antara bingung dan tidak percaya dengan hal yang ia dengar.

"Kesempatan apa yang kamu maksud, Ben?” tanya Lya. “Sudah sejak beberapa tahun lalu Kak Anna pergi… mereka hanya mengandalkan Leo untuk mendekatiku. Mereka bahkan tak pernah mengunjungi Kak Anna… Lalu mereka tidak…”

Lya terdiam. Ingatan tentang rumah itu—yang sempat hilang dari pikirannya—tiba-tiba muncul begitu jelas. Ia mencengkeram kepalanya, menatap ke bawah dengan pandangan kosong.

“Kalau diingat lagi… ada kalanya Ayah dan Ibu berusaha mendekat, mencoba bicara padaku,” bisik Lya dengan suara bergetar. “Tapi justru aku yang mundur… aku yang menutup pintu itu sendiri, ya?”

Ben spontan merangkul Lya. Tubuh perempuan itu dengan mudah ia tarik, bersandar lembut di bahunya. Ubun-ubun Lya menyentuh wajah Ben, dan lelaki itu menunduk memberi kecupan ringan di sana. Terdapat aroma matahari yang samar berpadu dengan wangi sampo yang mulai memudar—aroma yang diam-diam menjadi favorit Ben.

“Lya... Kamu menyalahkan diri sendiri atas kepergian Anna, kan? Tapi bukankah mereka juga begitu? Pada akhirnya, kamu dan Anna tetap anak mereka. Kepedulian itu mungkin sempat pudar karena ego mereka, tapi tidak pernah benar-benar hilang,” tutur Ben pelan. “Mereka hanya tidak tahu bagaimana menebus kesalahan mereka—selain perlahan menjadi kurus dan sakit.”

"Aku tidak menyalahkanmu karena menutup pintu untuk mereka… Bagaimanapun, kamulah yang paling banyak terluka. Apa yang kamu alami waktu itu terlalu berat untuk ditanggung—kamu masih terlalu kecil. Bahkan orang dewasa pun belum tentu cukup kuat untuk menanggung apa yang kamu alami.” Ben berbicara panjang lebar, berharap setiap kata yang ia susun mendadak dapat memperbaiki pikiran kusut Lya.

Lya terdiam dalam rangkulan Ben. Setiap kecupan yang mendarat di kepalanya terasa hangat dan menenangkan, seolah perlahan meluruhkan sisa gelisah di dadanya. Dalam kenyamanan itu, kantuk pun mulai datang tanpa permisi—namun silau matahari yang menembus celah dedaunan membuatnya mustahil benar-benar terlelap.

"Aku tidak mengerti... Keluarga seperti tidak pernah ada dalam hidupku. Apa bisa semudah itu kami menjadi keluarga? Bahkan tanpa Kak Anna..." lirih Lya, meski begitu suaranya tetap terdengar jelas oleh Ben.

"Setelah semua hal buruk yang kami lakukan padanya... apa kami bertiga masih pantas merasa bahagia?" lanjutnya pelan, membayangkan amarah Anna di dalam kubur— yang sebenarnya wujud amarah itu tak pernah ada. Pada akhirnya, semua itu hanya bentuk rasa bersalah yang masih terus menghantui Lya.

Ben terdiam. Tanpa sepatah kata, ia mendorong tubuh Lya perlahan, lalu mengapit wajahnya dengan kedua tangan. Tatapannya menembus mata Lya yang kelabu, hingga kening mereka akhirnya bersentuhan.

Setelah itu, hanya ada keheningan yang jatuh di antara keduanya—hening yang terasa seperti hujan lembut, menenggelamkan segala Kata. Mereka tetap saling menatap, membiarkan intensitas pandangan itu berbicara lebih dari apa pun yang bisa diucapkan.

Dari sentuhan kening itu, Lya menemukan seberkas kedamaian yang sempat hilang. Ia tak tahu sampai kapan rasa itu akan tinggal, tapi untuk sesaat, dunia terasa tenang—dan itu sudah cukup.

Kini, tanpa sepatah kata pun, Lya yang lebih dulu bergerak. Tangannya terangkat, meraih wajah Ben dan menariknya semakin dekat. Pertemuan kening mereka perlahan bergeser—menjadi pertemuan di antara bibir.

Ben sempat terkejut, namun seperti sebelumnya, ia cepat terbiasa menerima ciuman canggung dari Lya. Kali ini, ia tidak membalas dengan terburu-buru. Tangannya hanya menelusuri punggung Lya perlahan, seolah mencari ketenangan dalam sentuhan itu. Ia membiarkan Lya memimpin, membiarkan Momen itu berlangsung dalam diam yang lembut.

Setelah beberapa detik, Lya melepaskan bibir mereka kemudian jatuh bersandar di dada Ben. Tangan lancang Lya kemudian sedikit meremas bongkahan dada Ben yang cukup berisi. Ben awalnya hanya diam, membiarkan tangan kecil kekasihnya bermain pada di sana, namun kemudian rasa geli menyerang. Membuat bibirnya spontan mengeluarkan lenguhan sekilas.

"Emmhhmm...!"

Ben segera menutup bibirnya rapat dengan tangan, segera tersadar dan merasa malu dengan suara yang baru ia keluarkan. Lya pun sama terpaku. Ada denyut aneh yang timbul mendengar suara manis dari Ben yang melewati telinganya dengan cepat itu.

Lya buru-buru menjauh, menarik tangannya dari dada Ben. Ia mengangkat kedua tangan ke udara, seperti seseorang yang sedang ditodong.

“Maaf… aku tidak sadar,” katanya cepat, mencoba membela diri.

Ben hanya bisa menatapnya dengan wajah memerah—entah karena panas matahari, atau karena malu yang menyesak di dada. Ia menyilangkan tangan, menutupi dadanya yang terasa hangat.

“A… ayo kita balik ke rumahmu saja, ya, Lya?” ujarnya terbata.

***

Ben dan Lya melangkah kembali ke rumah dengan tangan saling tergenggam erat. Meski matahari terasa terik dan udara panas menekan, jarak di antara mereka nyaris tak berjarak. Keringat yang mengalir tak menimbulkan rasa canggung—justru menghadirkan kebahagiaan kecil yang sulit dijelaskan.

“Bergandengan begini, apa kau berniat mengumumkan hubungan kita pada orang tuaku?” tanya Lya, nada suaranya menggoda.

Ben tak terlihat canggung sama sekali. Ia menatap Lya sambil menjawab mantap, membuat gadis itu justru tersipu, merasakan sensasi geli yang asing di perutnya.

“Tentu saja! Kenapa harus disembunyikan?” Begitulah yang diucapkan Ben.

Ketika langkah mereka semakin dekat ke rumah Lya, keduanya tiba-tiba tertegun. Samar-samar, telinga mereka menangkap suara gaduh dari arah rumah.

Mereka saling menatap, ragu untuk memastikan apakah benar suara itu berasal dari sana. Namun semakin mereka mendekat—

“ORANG TUA BRENGSEK YANG MEMBUAT PUTRINYA HAMPIR MATI BERKALI-KALI, BISA-BISANYA BERBICARA OMONG KOSONG BEGITU!"

Itu suara perempuan. Kalimat tajam dengan nada sedikit melengking itu langsung dikenali Lya.

Tangan yang sejak tadi menggandeng Ben segera dilepaskan. Langkahnya melebar, terburu-buru memasuki rumah.

Ben menyusul dari belakang, ikut panik setelah menyadari sumber keributan itu—Lulu.

“Lulu! Ada apa ini?!”

Lya menerobos masuk ke ruang tamu—sumber keributan itu—suara paniknya terdengar jelas di antara langkah-langkah terburu. Matanya langsung menangkap dua sosok di sana: Lulu dan ayahnya. Mereka berdiri berhadapan di depan sofa, seolah baru saja bangkit untuk saling berteriak

"Lya!”

Lulu segera berlari menghampiri temannya, merengkuhnya erat seolah ingin menjauhkan Lya dari ayahnya. Gerakannya cepat, panik—penuh naluri melindungi.

"Ayah... Ada apa ini?" Lya melemparkan pertanyaan pertama kali pada Ayahnya. Ayahnya hanya menggeleng bingung, dengan sedikit ekspresi syok yang tersisa berkat perkataan Lulu barusan.

“Orang itu… dia berkata omong kosong, Lya! Katanya ingin memperbaiki hubungan kalian! Setelah semua hal yang dia lakukan padamu!”

Rengkuhan Lulu pada tubuh Lya semakin erat. Wajahnya diliputi kalut, seolah dia sendiri yang pernah menanggung semua luka dari Ayah Lya.

“Aku rela kalau Lya akhirnya bersama orang lain! Tapi aku tidak bisa menerima harapan orang itu untuk memperbaiki hubungan kalian! Apa kau tidak memikirkan perasaan Lya?! Setelah kau merenggut segalanya darinya!”

Kalimat protes itu ditujukan pada Ayah Lya, yang berdiri mematung sekitar satu meter dari mereka. Tubuhnya kaku, wajahnya kehilangan warna. Ia tidak mampu bergerak—hanya bisa tenggelam dalam rasa syok dan tumpukan rasa bersalah yang kian menyesakkan.

“Lulu, cukup.”

Suara Lya terdengar pelan namun tegas, nyaris tenggelam oleh gemuruh di dadanya sendiri. Ia melepaskan diri perlahan dari rengkuhan Lulu, lalu menatap temannya itu dengan mata yang entah mengapa terlihat tegar.

“Aku tahu kamu marah demi diriku, tapi aku baik-baik saja.” lanjutnya, suaranya masih terdengar tegas. Pandangannya kemudian beralih ke arah ayahnya—lelaki yang kini berdiri dengan wajah hancur.

“Aku juga sudah memutuskan… untuk memberikan kesempatan pada Ayah dan Ibu.”

Di telinga Lulu, kalimat yang keluar dari mulut Lya terdengar seperti mimpi buruk. DunIa seakan berhenti sesaat; pikirannya menolak mempercayai apa yang baru saja ia dengar.

“Kau ingin memaafkan dua orang ini? Semudah itu, Lya?” Lulu terhuyung, suaranya pecah di antara ketidakpercayaan dan amarah.

“Permintaan maaf itu seharusnya ditujukan pada Kak Anna… dari kami bertiga.” Lya menatapnya Ayahnya, matanya masih terlihat namun tegas dan penuh tekad. “Dan untuk menebusnya, kita harus mencoba menjadi keluarga. Agar setidaknya Kak Anna bisa tidur dengan tenang."

Mendengar hal itu, air mata akhirnya menetes dari kedua mata sang Ayah — air mata yang tak pernah Lya bayangkan bisa ia lihat darinya.

Selama ini, sosok itu hanya dikenal dengan amarah, dengan suara keras dan berharga diri tinggi. Karena itu, ketika melihat air mata mengalir di wajahnya, Lya terpaku di tempat, seolah waktu berhenti.

“Maafkan Ayah, Lya…” gumamnya lirih. Langkah kakinya pelan, nyaris gemetar, saat ia mencoba mendekat. Tangannya terulur ke depan, ragu, namun tetap mencoba meraih putrinya.

“Membuatmu memiliki bekas luka yang tak pernah hilang… membuatmu melihat hal-hal mengerikan yang seharusnya tak perlu kau lihat…

Maaf… karena Ayah tidak bisa menjaga Anna.”

Suaranya makin serak, setiap kata terdengar seperti pengakuan yang telah lama terpenjara di dadanya.

"Ayah menyesal, Lya… Harga diri, kemarahan—semuanya tidak berarti, jika pada akhirnya justru membuat keluarga kita hancur.”

Kini sang Ayah berhasil memeluk putrinya, membiarkan Lya merasakan getaran tubuhnya yang terisak—berat, penuh penyesalan, dan menyesakan.

“Bagaimana… bagaimana Ayah dan Ibu bisa menebus semua ini, Lya?” tanya sang Ayah, suaranya pecah, dibalut kebingungan dan keputus asaan.

Lya melemah. Ia tak sanggup mendorong atau menutup pintu hatinya saat berada di momen seperti ini.

Ia membalas pelukan itu—pelukan orang tua yang selama ini tak pernah ia rasakan sehangat ini. Mata Lya terpejam, dan ia membiarkan dirinya tenggelam dalam sensasi itu, menyimpan setiap detiknya dalam ingatan.

"Kita semua bisa mulai dengan mengunjungi makam Kak Anna, Ayah... Bertiga bersama Ibu."

Pemandangan itu meninggalkan perasaan campur aduk bagi yang menyaksikan. Di sana Ben merasa lega. Ia tahu perjalanan memperbaiki hubungan keluarga ini akan sulit, namun ia percaya perlahan-lahan semuanya bisa sembuh. Dengan begitu, Lya bisa benar-benar bebas dari belenggu masa lalu yang selama ini membuat Ben selalu khawatir.

Sedangkan Lulu tampak masih sulit menerima keadaan. Ia tak peduli pada kematian Anna, yang mengusik pikirannya hanyalah Lya. Melihat orang yang ia sayangi menderita bertahun-tahun, lalu dengan mudahnya memaafkan pelakunya, membuat hatinya membara.

Meski 'berbaikan' adalah keputusan Lya sendiri, Lulu tetap merasa berat untuk merelakannya.

Ben menangkap ekspresi gelap di wajah Lulu, perasaan yang seketika membuat hatinya waspada. Ia kemudian menarik tangan Lulu, membawanya keluar dari ruang Tamu. Ia ingin memberi ruang bagi Lya dan ayahnya, membiarkan momen rekonsiliasi itu berlangsung tanpa gangguan.

Lulu merasa tidak nyaman, lalu menepis tangan Ben dengan kasar. Kukunya sempat menggores sedikit kulit Ben, membuat pria itu meringis.

“Apa yang kau lakukan? Kau pacarnya, tapi rela dia semudah itu memaafkan Ayahnya? Apa kau tidak tahu sejahat apa Ayahnya itu?!” protes Lulu, suaranya penuh kemarahan dan rasa tidak percaya.

“Aku tahu!” sahut Ben tegas. “Dia bukan Ayah yang baik dulu… Lya terluka, bekasnya bahkan mungkin tak akan hilang. Tapi aku juga tidak mau dia terus terjebak di masa lalu! Untuk sembuh, mereka semua harus bergerak maju!”

Wajah Lulu masih tegang, terpancar antara rasa tidak terima dan perhitungan yang mulai berjalan di pikirannya.

“Aku sangat menyukai Lya dan ingin dia lepas dari belenggu masa lalu yang menyakitinya, mendorongnya untuk maju—bagaimanapun caranya,” lanjut Ben. "Memaafkan itu bukan selalu suatu yang buruk." Kata-kata itu menusuk seperti paku ke hati Lulu, membuatnya terdiam sejenak, tak mampu langsung membalas.

"Menyebalkan. Aku salah merelakan Lya padamu." Terdesak, hanya itu yang dapat Lulu lontarkan. Dengan nada sinis yang terkesan penuh dendam.

Ben tidak memperdulikan perkataan itu. Ia memilih kembali masuk ke rumah, meninggalkan Lulu yang masih mematung di teras. Wajahnya semakin gelap, matanya menatap kosong. Sesaat kemudian, ia mulai menggigit jarinya sendiri, kuku cantiknya terkoyak, menandakan betapa Frustrasinya ia.

.

.

.

To Be Continue

Gambaran masa depan, meremas dada Ben menjadi kebutuhan Lya

1
Iyikadin
Wahh dengan siapa tuchhhh, jadi kepo dech ahh
@dadan_kusuma89
Wah, repot ini, Ben! Sepertinya ada sesuatu yang harus kamu teliti lebih dalam tentang Lya.
@dadan_kusuma89
Sepertinya kamu bakal masuk rekor muri, Ben! Dari penolakan menuju penerimaan cuma butuh waktu beberapa detik😁
fσя zуяєиє~✿
saran driku, paragrafnya jgn kepanjangan, klo bisa minimal 4-5 baris aja, atau klo diperlukan bisa smpe 6 baris aja/Grin/
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
Cemployn: siappp sudah sayaa perbaikii Kakk terimakasihhhh uyy sarannyaaa 🫶
total 1 replies
Goresan_Pena421
Kaka boleh perbanyak dialog. kecuali dalam bab awal ini khusus perkenalan tokoh GPP. jadi di buatin biografi singkat semua tokohnya atau cerita tentang tokoh-tokoh nya itu GPP kalau mau full monolog mereka kka.
Goresan_Pena421: iya kak. ☺️ saya juga masih belajar 💪. tetap semangat ya Kaka.
total 2 replies
Muffin🌸
Iyaa nikahi saja kan dengan begitu dia bisa jadi milikmu selamanya hehe🙏🏻
Anyelir
alasan berubah pikiran apa ya?
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
"𝑺𝒆𝒌𝒖𝒏𝒕𝒖𝒎 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 🌹 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌𝒎𝒖, 𝑻𝒉𝒐𝒓. 𝑺𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕𝒎𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒈𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒘𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒕𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒎𝒂𝒎𝒖.
✿⚈‿‿⚈✿
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Wkwkwk emg kurg ajr shbqtmu itu mnt di geplak emang Wkwkwk
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Langsung kasih pengumuman ke semua orang ya klo km pacaran 😂😂😂
Shin Himawari
Lya ga salah sih nolaknya, cuman blak blakan bgt astagaaa kasian hati Ben terpoteq🤣
Shin Himawari
setaun nyimpen cinta sendirian yaaa🤭semangaat semoga lancar pdkt-in nya
kim elly
🤣🤣bahagia nya kerasa banhet
kim elly
mana ada yang ngga tertarik pacaran🤣
👑Chaotic Devil Queen👑
Yuk! Gw pegangin sebelah kanan, Eric sebelah kiri. Kita lempar dia ke RSJ 🗿
👑Chaotic Devil Queen👑
Yang penting hasil 🗿

Tapi... Dahlah bodoamat🗿
ηιтσ
really pov 1 took. mah nyimak
TokoFebri
aku tau kau trauma lya..
CumaHalu
aku kalau jadi eric juga akan bertanya-tanya sih Ben. bisa-bisanya orang berubah pikiran dalam hitungan detik😄
@dadan_kusuma89
Ya jelas kaget lah, Ben! Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba aja kamu nembak dia😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!