NovelToon NovelToon
Suami Masa Depan

Suami Masa Depan

Status: sedang berlangsung
Genre:Tunangan Sejak Bayi / Aliansi Pernikahan / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Tsantika

Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.

Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

22

Mobil Pak Anwar belum sempat benar-benar melaju saat pintu samping dibuka kembali. Bagas berdiri di sana, napasnya sedikit memburu.

“Aruna…” katanya, mencondongkan tubuh ke arah dalam.

Aruna memutar wajah ke arah jendela, pura-pura sibuk mengamati lampu jalan.

“Aku tahu kamu marah,” lanjut Bagas, “tapi kalau perlu, aku sudah berjanji untuk kita bersama-sama. Waktu, perhatian, bahkan mie instan favoritmu.”

Aruna menoleh tajam. “Aku nggak percaya.”

“Tapi tulus.” Bagas setengah tersenyum, tapi matanya sungguh-sungguh. “Aku serius. Kamu tidak perlu membuat pilihan apapun.”

Aruna menggeleng pelan. “Kamu nggak ngerti…”

“Aku mau ngerti,” potong Bagas cepat.

Pak Anwar menoleh pelan ke kaca spion, bingung harus ikut dramanya atau menutup pintu mobil.

“Pak, kita jalan aja,” kata Aruna akhirnya, suaranya bergetar. Ia menatap Bagas sejenak. “Selamat sore, Pak Raden Bagaskara.”

Bagas mundur perlahan. Ia menatap Aruna seperti ingin mengatakan banyak hal, tapi tak ada satu pun yang keluar. Hanya gumaman pelan saat mobil mulai menjauh.

“Apa sih yang terjadi sama kamu, Aruna…”

Sementara di dalam mobil, Aruna bersandar ke jendela. Refleksi wajahnya tampak redup di balik kaca. Ia menutup mata, menghela napas panjang.

“Kenapa aku cemburu?” bisiknya sendiri. “Padahal... harusnya nggak.”

Dan di balik semua rasa canggung, lucu, dan rumit itu, ia tahu satu hal—perasaan memang tidak pernah bisa diatur seperti jadwal pelajaran.

Usai mandi, Aruna berdiri di depan cermin. Rambutnya masih basah, air menetes perlahan di leher. Ia menatap wajahnya sendiri—mata yang sedikit sembab, pipi yang tak semerona biasanya.

“Apa aku... kurang cantik?” gumamnya lirih. “Kenapa aku malah jadi aneh sama diri sendiri…”

Ia mengusap embun di cermin, mencoba melihat lebih jelas bayangan dirinya. Namun yang ia lihat hanya kebingungan. Perasaan cemburu yang bahkan belum sepenuhnya ia pahami, menghantui tanpa diundang.

Tok tok tok.

“Non Aruna, makan malamnya sudah siap, ya,” suara Bi Rani terdengar dari luar pintu.

Aruna menjawab pelan, “Iya, Bi. Sebentar lagi.”

Ia menarik napas, mengenakan kaus longgar dan celana santai, lalu turun ke ruang makan. Pak Agam sudah duduk di sana, membuka koran meski belum membacanya.

“Tumben lemas,” sapa Pak Agam sambil menuangkan teh ke cangkirnya. “Ada yang mau cerita?”

Aruna duduk di seberangnya. “Gak ada yang spesial, Pa.”

"Apa terjadi pertengkaran pertama?" tanya Pak Agam memecah sepi.

Aruna menatap ayahnya sebelum menjawab.

"Nggak. Kami bahkan nggak sempat mengobrol," jawab Aruna sambil memakan potongan sayur.

Pak Agam mengangguk pelan, lalu berkata datar, “Pak Anwar tadi cerita. Katanya kamu dan Bagas sempat di minimarket bareng.”

Aruna menahan sendok di udara, lalu meletakkannya kembali. “Kami gak bertengkar, Pa. Cuma... gak ngobrol aja.”

Pak Agam mengangguk lagi, lebih pelan kali ini. “Kalau baru mulai hubungan dan udah ada diam-diaman, itu biasanya bukan kabar baik.”

Aruna tertawa kecil, hambar. “Enggak kok. Kami gak berantem.”

Pak Agam mengangkat alis. “Tapi kamu juga gak bahagia, kan?”

Aruna diam. Jawaban itu terasa terlalu rumit untuk dijelaskan malam ini.

Pak Agam menepuk punggung tangannya sendiri. “Yasudah. Namanya juga hubungan, pasti ada bumbunya. Pertengkaran, kesalahpahaman, cemburu—itu semua bagian dari proses.”

Aruna hanya mengangguk. Tapi dalam hatinya, ia bertanya-tanya, kalau bumbunya terlalu banyak, apa rasanya masih bisa dinikmati?

Setelah makan malam yang sunyi namun menyisakan banyak tanda tanya, Pak Agam menatap Aruna yang masih melamun di meja makan.

“Gimana kalau kita ke playground malam ini?” tanyanya tiba-tiba.

Aruna mengernyit, lalu tertawa pelan. “Playground? Yah, aku bukan anak kecil lagi.”

Pak Agam mengangkat bahu santai. “Justru itu. Biar gak jadi dewasa terus. Lagian, pulangnya bisa makan es krim gratis.”

Aruna menatap papanya sejenak. Senyum tipis akhirnya muncul di wajahnya. “Baiklah. Itu ide yang lumayan bagus.”

Tak lama kemudian, keduanya sudah duduk di dalam mobil menuju mal terdekat. Udara malam yang sejuk, ditambah keheningan jalanan yang mulai sepi, memberi nuansa nostalgia yang tak disangka. Di dalam mobil, Aruna bersandar di jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkelebat.

Begitu tiba di mal, mereka langsung naik ke lantai paling atas, tempat segala permainan penuh cahaya neon dan suara riuh bergema. Di depan pintu masuk arena game center, Pak Agam mengacungkan sebuah kartu kecil berwarna merah.

“Ayah udah isi saldo. Siap bertanding, nona?”

Aruna tertawa lebar. “Awas aja kalau kalah. Aku udah jago main dance machine sekarang.”

“Kita lihat saja,” jawab Pak Agam, mulai melangkah ke dalam.

Mereka mengitari deretan permainan. Lampu warna-warni menyala bergantian. Musik arcade mengalun riang. Aruna menantang papanya di permainan basket digital terlebih dahulu. Tertawa dan teriakan seru pun mengisi udara. Mereka saling mengejek skor, bersaing dalam balapan mobil virtual, bahkan mencoba mesin capit boneka yang biasanya jadi momok.

“Yesss! Dapet juga!” seru Aruna mendapatkan boneka koala.

Dengan semangat anak kecil, Aruna berlari ke arah Pak Agam yang tengah berdiri di dekat vending machine, wajahnya serius menatap layar ponsel.

“Papa, lihat! Aku dapet koala! Lucu, kan?” serunya sambil memamerkan boneka ke wajah sang ayah.

Pak Agam mengangkat pandangannya, lalu tersenyum tipis. “Wah, hebat. Bonekanya pas banget buat kamu—suka peluk, tapi galak kalau diganggu.”

“Hey!” Aruna menyipitkan mata, lalu mencubit pelan lengan papanya.

Pak Agam tertawa ringan. “Oke, oke. Tapi sekarang ayo pulang, ya? Papa udah tua, encok mulai protes.”

Aruna meringis. “Tapi aku masih mau main satu lagi…”

Pak Agam menggeleng, pura-pura keras kepala. “Enggak bisa. Papa janji, minggu depan kita main lagi. Full satu hari.”

Aruna mendesah. “Yaudah… Tapi aku mau tukar kupon dulu. Dapet lumayan banyak nih.”

Pak Agam melirik arlojinya dan mengangguk. “Cepat ya, nanti tempatnya tutup.”

Tanpa menunggu lagi, keduanya berjalan cepat ke konter penukaran hadiah. Aruna menggenggam boneka koalanya erat, senyum masih bertahan di bibirnya. Malam itu, meski tak sempurna, terasa seperti hadiah kecil dari semesta—hadiah yang ia butuhkan di tengah peliknya dunia remaja dan cinta yang belum selesai dipahami.

Di dalam mobil yang melaju tenang menuju rumah, Aruna bersandar pada jendela sambil memeluk boneka koalanya. Senyum tak juga lepas dari wajahnya, seolah ia kembali menjadi anak SD yang baru pulang dari wahana bermain. Hati terasa ringan. Dunia tampak lebih sederhana.

“Kayak waktu kamu SD,” gumam Pak Agam dari kursi pengemudi, melirik sejenak ke arah putrinya. “Main di playground, langsung ceria. Papa jadi ingat, kamu tuh gampang dibujuk dulu asal diajak ke sana.”

Aruna terkekeh. “Ya, dan ternyata masih manjur.”

Pak Agam tersenyum tipis. “Terima kasih ya, udah mau nemenin papa yang udah tua ini ke tempat anak-anak.”

“Papa juga makasih... udah mau capek-capek nemenin anak gadis yang suka drama,” sahut Aruna sambil menoleh, menyunggingkan senyum hangat.

“Kalau ada masalah sama Bagas atau siapa pun, coba dibicarakan, ya,” ucap Pak Agam, nada suaranya pelan tapi dalam.

Senyum Aruna memudar sedikit. “Papa, aku enggak mau ngomongin soal dia sekarang.”

Pak Agam mengangguk. “Itu cuma contoh. Papa enggak maksud maksa.”

Hening sejenak.

“Kenapa aku harus nikah sama dia?” tanya Aruna tiba-tiba, nadanya datar, tapi sorot matanya tajam mengarah ke jalanan di luar jendela.

Pak Agam menarik napas pelan. “Karena dia baik.”

“Semua orang juga baik. Harusnya aku nikah sama semua orang?” balas Aruna, separuh bercanda, separuh kesal.

Pak Agam terkekeh kecil. “Ya jangan juga. Tanya langsung sama Bagas, mungkin dia bisa kasih alasan yang lebih meyakinkan.”

Aruna memutar bola matanya. “Ih, kenapa sih semua dilempar ke aku? Bikin gemas aja.”

Mobil perlahan memasuki halaman rumah. Tapi sebelum Aruna sempat membuka pintu, ia melihat seseorang berdiri di depan pintu rumah dengan senyum menggantung dan sebuah kotak besar berwarna cerah di tangannya.

Kotak Lego.

“Bagas?” gumam Aruna, setengah heran, setengah jengkel.

1
sweet_ice_cream
love your story, thor! Keep it up ❤️
🔍conan
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Beerus
Buku ini benar-benar menghibur, aku sangat menantikan bab selanjutnya, tetap semangat ya author! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!