Aku belum pernah bertemu atau pun berbicara dengan Komisaris di kantorku. Sampai kami bertemu di Pengadilan Agama, dengan posisi sedang mengurus perceraian masing-masing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beaufort
Semakin lama aku merasa Felix ini semakin menarik.
Semenjak aku menciumnya di mobil itu, kami tidak pernah berkencan lagi. Hari-hari kami disibukkan dengan pekerjaan, aku juga bolak-balik ke kantor polisi, dan dia mondar-mandir ke kantor notaris untuk mengurusi asetnya.
Felix lebih sering berada di Beaufort untuk bekerja.
Ini sudah hampir sebulan kami tidak bertemu. Masa kerjaku hampir habis. Bulan depan kami akan menikah.
Dan entah bagaimana, aku ingin melihatnya bekerja.
Maksudku bekerja yang sesungguhnya.
Bekerja di belakang meja seperti Pak Dimas.
Jadi aku menemui Pak Dimas, bertanya kalau-kalau dia memiliki kenalan di Beuafort yang bisa kuganggu untuk proyek kecil-kecilanku ini.
“Pak Dimas, apakah ada dokumen yang akan diserahkan langsung ke Beaufort? Nanti bisa sama saya ya pak yang antar,”
Pak Dimas menatapku beberapa saat. Sepertinya dia sedang berpikir.
Karena sepengetahuanku, karyawan di sini itu paling malas kalau ada urusan dengan Beaufort. Di sana sekretarisnya galak-galak, dan semua karyawannya minim senyuman. Memang begitu peraturan mereka. Dibuat ‘serobot’ mungkin, untuk menjaga kualitas produk dan Brand Image.
“Banyak sih, sengaja saya kumpulkan dulu agar bisa diantar sekaligus ke sana. Kamu tahu sendiri kenapa,” kata Pak Dimas.
Aku pun tersenyum memberi kode padanya.
Ia berdecak.
Tampaknya Pak Dimas mengerti.
Memang Pak Dimas ini orangnya pengertian.
“Bu Ciiin, Bu Cin. Kebetulan ini, ada yang harus dinego sama sekretarisnya. Tapi kalau mengobrol sama mereka jangan sakit hati ya, mulutnya mirip Felix semua. Pedes! Ya Direkturnya jutek semua sih, hehe,” katanya.
“Tapi jangan bilang-bilang Pak Felix kalau saya yang datang ya Pak,”
“Nanti kamu ketemu sama Sekretaris Pak Felix yang namanya Joline, ya. Biar enak kamu hubungi saja dulu kantornya.”
Setelah aku dijelaskan mengenai administrasi dan pembahasan, aku pun memantapkan diri untuk ke kantor Beaufort.
Seorang sekretaris dengan name tag bertuliskan Number Six menemuiku. Setahuku, sekretaris di sini memang dipanggil berdasarkan nomor. Identitas mereka tidak diekspos untuk menjaga nama baik perusahaan.
“Bu Chintya, selamat Siang. Saya Six, yang akan membicarakan mengenai sindikasi kredit dengan ibu. Saya sudah dikabari Pak Dimas mengenai dokumennya,”
“Eeeeh, baik Mbak Six. Anuuu, saya seharusnya akan menemui sekretaris yang bernama Joline,” Aku agak gugup saat berbicara dengan wanita cantik ini.
“Ya itu saya. Tapi mohon jangan dipublikasi kalau nama asli saya Joline. Pak Dimas enggan memanggil kami dengan angka, soalnya,”
Sepanjang kalimat si Six alias Joline ini berbicara tanpa senyum sedikit pun. Mukanya datar.
Dia manusia atau android ya?
Aku penasaran deh, bagaimana training di Beaufort ini sebenarnya. Aku terus terang saja terkesima dengan etos kerja mereka.
Menjelang akhir diskusi dan dicapai kata sepakat, aku menyerahkan bilyet perusahaan dan meminta tanda tangan Direktur Beaufort.
“Sampai minggu depan Presdir kami ada di Perancis bu. Pjsnya Pak Felix Ranggasadono. Namun karena ini Bilyet dari Garnet dan posisi beliau adalah Komisaris kalian, jadi akan berbau konflik kepentingan. Sepertinya kami akan menunggu Pak Alex kembali saja dari Perancis, bagaimana bu?”
Aku mengangguk mengerti.
“Kalau begitu, bagaimana kalau saya bertemu dengan Pak Felix, sekedar laporan saja? Sekalian ada beberapa urusan karena beliau jarang ada di Garnet,”
“Tentu boleh. Malah seharusnya dari tadi kita diskusi di depan beliau,” Kata Number Six sambil beranjak, “Antara kita saja, Pak Felix jarang percaya dengan orang lain,”
“Ya Mbak Six, saya mengerti itu, hehe,” bisikku.
Aku melihat senyum tipis di bibir Six.
Mungkin di realita, orangnya cukup ramah. Karena peraturan kantor saja dia begitu.
Aku lupa aku dibawa ke lantai berapa, yang jelas berada di tengah-tengah gedung.
Ruangan Felix ada di ujung, dan yang membuatku kaget, dia mengenakan kacamata sambil mengetik secepat kilat.
DI atas mejanya menggunung beberapa dokumen, dan wajahnya tampak serius.
Beberapa sekretaris laki-laki yang duduk tepat di depannya juga tampak menunduk sambil mengetik.
“Seven, kamu alihkan ke Revolving. Buat giro dengan pecahan masing-masing 10 miliar. Coba hitung hasil kasarnya, kita letakkan di simulasi,” sahutnya.
Sekretaris di ujung berkata “Baik Pak,”
Lalu sekretaris di depannya dengan Name Tag ‘Number Eight’ berujar “ROI nya minus pak, BEP meleset jauh,”
“Hold dulu yang itu, saya harus diskusi sama Alex. Nine, kamu perhatikan harga amannya, ini sudah lewat batas ambang. Cari yang lain! Gimana sih!”
“Maaf Pak, saya berikan opsi lain,” sekretaris di sebelah kirinya tampak mengernyit sambil mengelus lehernya.
Aku menatap layar dengan gradasi yang familiar. IHSG saham gabungan. Angkanya biru tapi grafiknya menurun.
Beaufort dalam keadaan terdesak rupanya.
Pantas dia sibuk sekali akhir-akhir ini.
Pemandangan di depanku ini berbeda sekali dengan kondisi di Garnet, di mana dia hanya santai-santai sambil baca proposal di sofa empuk. Di sini semua serba tegang dan kaku.
“Maaf Pak, ada tamu dari Garnet Bank. Kalau sibuk kami carikan jadwal lain,” kata Number SIx.
“Saya sibuk,” desis Felix sambil tetap menunduk, “Bilang nanti ketemu di Garnet saja hari Senin,”
“Masih lama ya Pak, Baiklah, Semangat kerjanya,” desisku.
Dia diam membeku.
Lalu mengangkat wajahnya.
Menatapku dengan kaget.
Lalu tersenyum sambil melepas kacamatanya.
Dan bilang... “Hey, Baby.”
Para sekretaris itu serentak menatapku. Mungkin mereka bertanya-tanya siapa aku ini.
Number Six juga menatapku dengan alis terangkat.
“Perkenalkan, ini tunangan saya, Chintya. Tolong semua keluar, kita istirahat dulu sebentar,”
“Tunangan?” gumam Number Six masih dengan ekspresi tak percaya.
Aku menunduk memberi salam ke semua, “Ini bulan terakhir saya bekerja sebelum menikahinya. Mohon maaf tidak memberi tahu yang sebenarnya,”
“Astaga... saya dari tadi nggak ngomong yang aneh-aneh kan yaaa,” desis Number Six sambil menyeringai.
“Justru Mbak Six ini orang terkaku yang pernah saya kenal,”
“Itu pujian buat saya, Terima kasih Mbak.. eh, BU Chintya,” lalu Number SIx mencondongkan tubuh padaku, “Pak Felix sering bilang saya terlalu ramah ke orang lain soalnya, hehe.”
Modelan begini dibilang ramah...?
Setelah semua orang pergi dari ruangan, Felix menutup pintu, menutup tirai, dan mendesakku ke dinding.
“Kamu ini...” aku tak salah dengar kan, nada suaranya lebih terdengar seperti geraman dibanding perkataan. “Kamu sadar nggak kalau aku berusaha semaksimal mungkin menghindari kamu? Ha? Kenapa sekarang kamunya malah muncul di sini, Bu Cin?”
“Eh? Menghindar? Aku salah apa?” tanyaku kebingungan. Seingatku terakhir bertemu hubungan kami baik-baik saja sih.
“Salah semua kamu,” geramnya sambil menarik leherku dari belakang dan melu mat bibirku dengan keras.
Ciuman yang sangat bergelora! Ia seakan tidak bertemu denganku bertahun-tahun, memendam kerinduan yang amat sangat. Ia seperti kelaparan!
Bahkan dia melupakan sopan santun dengan merem as bokongku! Aku sampai kehabisan nafas dan hanya bisa menggenggam erat lengannya.
Lidahnya masuk ke mulutku, bermain dengan lugas merayu lidahku untuk saling terikat. Kurasakan rambutku di belakang leher di genggamnya , supaya kepalaku tidak teralih ke samping dan tetap terpaku di sama.
Dan saat itu.
Tangannya di dadaku, bong kahannya sudah keluar setengah dari belahannya.
Aku panik.
Kucoba mendorongnya tapi ia tak bergeming.
Tangannya memijit dadaku. Ciumannya semakin kuat.
Lututku menyentuh sesuatu yang keras dan panas dari dirinya.
Akhirnya, terpaksa kucubit pinggangnya dan kupelintir kulitnya.
Ia terdiam.
Lalu melepasku.
Dan langsung menjauh.
Dia membalik badannya dan bertumpu di pinggir meja dengan tangannya. Kepalanya menunduk ke bawah sambil menarik nafas.
Sambil terengah-engah aku merapikan pakaianku. “Gila kamu...” gumamku.
“Hm...” gumamnya pelan.
Ternyata dia menghindariku karena urusan libido.
“Minggu depan adikku datang. Kami ingin bertemu orang tua kamu,” kataku tegas.
“Hm,” begitu responnya.
“Sampai saat itu tiba, lebih baik kita jangan bertemu dulu.”
“...” dia hanya diam.
Aku berdiri sambil memeriksa dandananku dan membubuhkan lipgloss. “Felix,” aku berusaha memanggilnya dengan lembut. Dia sudah jadi anak baik selama ini. Mungkin kesabarannya mulai habis, mungkin juga sudah lama dia tidak merasakan kein timan dari wanita.
“Sebentar lagi, tolong sabar.”
Ia hanya diam.
Aku tidak menunggu jawabannya, aku pergi dari sana.
sesuka itu aq pada karyamu thor
cuma 4 kata tapi paham kan maksudnya apa/Facepalm//Facepalm/
cari novel dengan gaya penulisan seperti ini yg susah, makanya sambil nunggu update novel terbaru aku baca ulang novel yg dah tamat.
aku terlalu dimanjakan , gk kerja , mau belanja di kang sayur tinggal teriak dari luar rumah " mas habis segini , bayarin ya.." belanja kebutuhan pokok , beli skincare, aku yg ambil dia yg bayarin. gk pernah ngerti harga beras berapa sampai harga gincu aku gk tau.. suami yg bayarin.
aku gk takut dia selingkuh tapi aku takut dia gk ada di bumi untuk selama lamanya.. telat aku mau mandiri , suami yg ambil alih sini aku aja.
definisi UJIAN yang mengENAKkan
Tommy : kamu bekerja juga atas ridho dariku
Cintya : ya karena klo aku gk kerja kamu yg mati
Tommy udah mokondo , toxic, manipulatif pula
novel ini dibuat tahun 2023, tahun 2025 ada kasus yg mirip banget , kasus perselingkuhan suami dilan janiar.
wes mokondo(modal Ko**ol doangl) gak kerja, ngikut istri kerja minta digaji , digugat cerai karena ketahuan selingkuh , malah minta harta Gono gini. kevarat bener lakik nya