Sofia Putri tumbuh dalam rumah yang bukan miliknya—diasuh oleh paman setelah ayahnya meninggal, namun diperlakukan tak lebih dari seorang pembantu oleh bibi dan sepupunya, Claudia. Hidupnya seperti neraka, penuh dengan penghinaan, kerja paksa, dan amarah yang dilampiaskan kepadanya.
Namun suatu pagi, ketenangan yang semu itu runtuh. Sekelompok pria berwajah garang mendobrak rumah, merusak isi ruang tamu, dan menjerat keluarganya dengan teror. Dari mulut mereka, Sofia mendengar kenyataan pahit: pamannya terjerat pinjaman gelap yang tidak pernah ia tahu.
Sejak hari itu, hidup Sofia berubah. Ia tak hanya harus menghadapi siksaan batin dari keluarga yang membencinya, tapi juga ancaman rentenir yang menuntut pelunasan. Di tengah pusaran konflik, keberanian dan kecerdasannya diuji.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yilaikeshi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
“Hmm, Tuan Kenith-mu sepertinya melakukan banyak pekerjaan aneh di sini?” tanya Sofia Putri polos, meski ada maksud tersembunyi yang mungkin tak disadari Cassie—atau justru ia sangat menyadarinya.
Cassie terkekeh kecil, seolah ucapan itu hanyalah gurauan. “Bos kami, Kenith, orangnya ramah dan baik hati. Semua wanita di sini menyukainya.”
“Termasuk kamu?” Sofia menoleh, menatapnya penuh rasa ingin tahu.
Pipi Cassie langsung memerah. “Y-ya, aku memang menyukainya, tapi hanya sebatas itu. Tidak seperti sebagian wanita di sini, aku tidak bisa membohongi diriku dengan berpikir ada masa depan bersamanya.”
“Kamu pintar,” Sofia menanggapi dengan tenang. “Fantasi sehebat apa pun, pada akhirnya kita harus kembali ke kenyataan.” Ia mulai menyukai Cassie, gadis itu tampak tulus dan bertanggung jawab.
“Tapi… kau juga tak bisa menyalahkan mereka,” lanjut Cassie. “Tuan Kenith adalah tangan kanan Pangeran dan sosok yang menyatukan tempat ini.”
Senyum tipis muncul di bibir Sofia. Inilah informasi yang ia tunggu—tentang orang-orang yang mungkin bermain dengan takdirnya.
“Dia lebih dihormati daripada Pangeran?” Sofia sengaja memancing.
“Bukan begitu,” Cassie buru-buru menjelaskan. “Hanya saja, Pangeran tidak selalu hadir di sini. Jadi wajar bila orang-orang mengagumi Kenith. Dialah yang benar-benar menjalankan urusan sehari-hari.”
Oh, jadi begitulah. Pangeran mungkin memegang kekuasaan formal, tapi Kenith yang benar-benar menggerakkan persaudaraan ini. Dengan kata lain, Kenith jauh lebih berpengaruh dibanding tuannya—dan sang Pangeran mungkin bahkan tak menyadarinya.
“Sir Kenith dianggap sebagai mata Pangeran, orang kedua setelahnya,” tambah Cassie.
“Pernahkah dia… salah menafsirkan perintah Pangeran? Atau mungkin memanipulasinya demi keuntungan sendiri?” Sofia bertanya, mencoba menggali lebih dalam.
Cassie terdiam sesaat. Wajahnya memucat, tapi ia cepat menutupinya. “Itu pertanyaan yang tidak perlu, Nyonya,” katanya, kini lebih formal. “Yang jelas, Kenith bisa dipercaya. Dia tidak akan pernah mengkhianati Anda ataupun calon suami Anda, Sang Pangeran. Kehadiran Anda justru membuat Pangeran lebih banyak menghabiskan waktu bersama kami.”
“Ya, tentu saja…” Sofia menghela napas berat, kembali diingatkan pada takdir pahit yang menantinya.
“Ada apa, Nyonya?” Cassie memperhatikan perubahan ekspresi itu.
“Kau tahu, aku agak iri padamu,” ujar Sofia sambil menatap pantulan dirinya di cermin.
“Iri… padaku?” Cassie heran.
“Kamu masih bisa punya gebetan.” Sofia tersenyum getir. “Sedangkan aku… seumur hidup, aku tak pernah memikirkan lelaki. Yang kupikirkan hanya uang dan bagaimana bertahan dari keluargaku. Saat perempuan lain sibuk soal cinta, aku sibuk mencari cara agar tetap hidup. Dan sekarang, saat seharusnya aku bisa bernapas lega… aku malah dijual untuk menikahi pria yang bahkan tak kukenal. Rasanya seperti ditipu.” Senyum itu pecah bersamaan dengan jatuhnya air mata di pipinya.
Sofia menoleh, wajahnya basah. “Ini menakutkan. Lebih menakutkan daripada mimpi buruk. Setidaknya dari mimpi buruk aku bisa terbangun. Tapi monster-monster ini… nyata, ada di depan mataku.”
Cassie terdiam, hatinya ikut tercekat.
Namun Sofia buru-buru mengusap air matanya. “Untuk apa aku menangis? Nanti riasanku rusak.”
Cassie menepuk lembut bahunya. “Jangan khawatir, aku bisa merias ulang. Kali ini pakai yang tahan air.”
Sofia pun duduk kembali. Keheningan mengisi ruangan sampai Cassie berbisik, “Sejujurnya, menikah dengan Pangeran tidak sepenuhnya buruk.”
Sofia mendengus, jelas tak percaya. “Kalau begitu, kenapa bukan kau saja yang menggantikanku?” Nada sarkasme meluncur begitu saja.
“Kamu akan mendapat banyak hak istimewa uang, koneksi. Pikirkanlah,” jawab Cassie tenang.
Sofia terperanjat. Ia kira Cassie akan menyuruhnya mengenal Pangeran lebih dulu. Tapi tidak ucapan Cassie justru terdengar lebih realistis.
“Aku bilang ini karena aku sesama perempuan. Kita harus saling melindungi,” Cassie menatapnya dalam. “Aku tak tahu apa rencanamu, tapi jangan lari. Mereka akan selalu menemukanmu. Bersabarlah, tunggu waktu yang tepat. Sembunyikan cakarmu selama mungkin. Rebut hati, pikiran, dan jiwa mereka… lalu ketika waktunya tiba, menyeranglah.”
Sofia terkejut, apalagi Cassie mengucapkan bagian terakhir itu dengan suara lebih tegas. Ia baru sadar, gadis yang dikiranya polos ternyata menyimpan sesuatu.
“Siapa kau sebenarnya?” kata-kata itu lolos begitu saja dari bibirnya.
“Seseorang yang juga sedang menunggu waktunya,” jawab Cassie sambil menggenggam tangannya erat. “Aku tak pernah melihat secercah harapan sampai kau datang. Ingat, tak ada seorang pun di sini yang benar-benar peduli padamu. Kau hanya berharga selama kau berguna. Setelah itu, kau akan dibuang. Satu-satunya permintaanku… ingatlah aku di surga nanti.”
Sofia tercekat, tak bisa berkata-kata. Ia hanya mengangguk pelan.
“Terima kasih.” Senyum lebar penuh kelegaan menghiasi wajah Cassie.
Tiba-tiba ketukan pintu memutuskan momen itu. Keduanya pun segera berpisah, sadar bahwa waktunya telah tiba.