RINJANI (Cinta sejati yang menemukannya)
jani seorang gadis yang terlahir dari keluarga yang berantakan, dirinya berubah menjadi sosok pendiam. berbanding terbalik dari sikap aslinya yang ceria dan penuh tawa.
hingga jani bertemu dengan seorang pria yang merubah hidupnya, jani di perkenalkan dengan dunia yang sama sekali belum pernah jani ketahui,jani juga menjalin sebuah hubungan yang sangat toxic dengan pria itu.
Dapatkah Jani terlepas dari hubungan toxic yang dia jalani? atau Jani akan selamanya terjebak dalam hubungan toxic nya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AUTHORSESAD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PANTAS TIDAK PANTAS
Di teras sebuah rumah sederhana, kini Lisa dan juga Nidal sedang duduk. setelah Lisa membantu ibunya dan melihat Liliy yang tertidur tentunya.
Di tengah mereka terdapat satu toples kacang asin dan juga secangkir kopi, Lisa masih mencuri pandang pada sosok Nidal yang duduk di sisiNya dengan rokok yang terselip di sela Jari-jarinya. Wajah Nidal yang nampak tampan membuat mata Lisa tak bosan menatap sosok pria yang sudah menjadi penolongnya.
"Sekali lagi gue Terima kasih, karena lo udah nolongin gue tadi" Lisa membuka suara.
Rasanya canggung banget kalau mereka duduk tapi tanpa ada obrolan sama sekali.
"Kalian sering kayak gini?" Nidal sekilas melihat pada Lisa "Maksud gue sering bokap lo datang terus kayak gini" Jelas Nidal pada Lisa.
"Bisa di bilang sering, tapi–biasanya ada kakak gue yang bakal ngelindungin kami"
"Kakak?"
"Iya–kakak, tapi dia lagi ikut touring sama temennya" Lisa mengambil segelas air dingin di sampingnya.
Nidal Mengangguk-anggukan kepalanya, seakan-akan dia tau dan paham dengan apa yang Lisa katakan.Nidal menyesap rokoknya dan membuang asapnya ke samping, tangannya langsung mengibaskan asap yang tertinggal, dia hanya tidak ingin membuat Lisa tidak nyaman dengan asap rokoknya.
"Kakak lo anak motor?" Ucap Nidal dengan tangannya yang mengambil cangkir kopi.
Nidal menyeruput kopi hitam tanpa gula kesukaannya, matanya melihat wajah Lisa yang nampak begitu cantik , namun–tentu masih kalah cantik dengan gadis yang dia lihat di halte waktu itu.
"Bukan, dia cuma di ajak temennya aja buat ikut touring" Jawab Lisa dengan senyum kecil di bibirnya.
Kembali Nidal hanya mengangguk sebagai jawaban, Nidal melihat layar ponselnya sejenak dan kembali menyeruput kopinya hingga habis, begitu juga dengan rokok yang ada di sela Jari-jarinya dia buang dan dia injak agar rokoknya mati.
"Udah malam, gue pamit balik" Nidal memasukan ponselnya ke dalam saku jaketnya "Kayaknya juga bokap lo nggak bakal balik lagi malam ini"
"Iya, sekali lagi Terima kasih"
"Santai aja, lo udah kebanyakan kali ngomong Terima kasih sama gue" Nidal berjalan ke sisi motornya yang kini sudah terparkir di depan rumah Lisa.
Nidal memakai helmnya dan akan mulai men stater motornya, namun kembali dia melihat Lisa yang berdiri di samping nya.
"Kenapa?" Ucap Lisa sedikit salah tingkah.
"Nggak papa" Ucap Nidal datar.
Akhirnya Nidal menyalakan motornya sebelum Nidal pergi, dia membuka helmnya dan mengangguk pada Lisa, sebagai tanda kalau dia pamit pergi. Suara mesin motor sport milik Nidal terdengar menggema meninggalkan pelataran rumah Lisa.
Lisa masih menatap kepergian Nidal meski saat ini, Nidal tidak lagi terlihat. Lisa merasa kagum pada sosok Nidal, sudah tampan, baik hati dan suka menolong. Lisa belum tau saja siapa sebenarnya Nidal ini, memang wajahnya sangat menipu.
──────⊹⊱✫⊰⊹──────
»»————> 𝑅𝑈𝑀𝐴𝐻 𝑆𝐴𝐾𝐼𝑇<————««
Saat ini ruangan kontrol CCTV Rumah sakit penuh oleh Erlan CS, setelah mencari keseluruhan sudut ruangan mereka tidak menemukan keberadaan Rinjani, kini jalan Satu-satunya adalah memeriksa CCTV, petugas yang berada di depan layar langsung memeriksa semua sudut CCTV, Namun mereka tidak menemani sesuatu yang janggal atau orang yang sedang mereka cari.
Erlan berdiri dengan wajah tenang dan sorot mata dingin, namun sudah bisa di pastikan jika saat ini Erlan sangat khawatir dengan hilangnya Jani.
"Kenapa sampai Jani kabur? lo sengaja kan?" Ucap Fita menatap Giselle tajam.
Giselle menoleh dan menyipitkan matanya, dia merasa tidak Terima dengan apa yang Fita katakan, Giselle yang tadinya fokus menatap layar monitor kini berbalik menatap Fita dingin.
"Maksud lo apa? Di sini bukan cuma lo yang khawatir cariin Jani" Giselle semakin menatap Fita tajam.
Dirinya sungguh sangat khawatir dan panik dengan hilangnya Jani, namun dengan gampangnya Fita malah menuduh kalau dirinya sengaja membuat Jani hilang.
"Di sini gue yang paling takut dan khawatir dengan kondisi Jani, Gue cuma tinggalin dia ke kamar mandi dan setelah itu gue masuk di udah nggak ada" Suara Giselle bergetar dengan matanya yang mulai basah "Dan dengan entengnya lo ngomong gue sengaja?!" Giselle sedikit menaikan nada suaranya.
Ezra yang berada tak jauh dari Giselle langsung menarik tangan Giselle agar dia sedikit tenang, Ezra menarik Giselle agar lebih dekat dengannya.
"Di sini semuanya panik dan khawatir,jadi nggak perlu saling menyalahkan" Ucap Damar menengahi.
Fita dan Giselle langsung terdiam mendengar ucapan Damar, benar apa yang Damar katakan,jika bisa dikatakan di sini orang yang terlihat sangat khawatir dan panik adalah Erlan, meski terlihat tenang namun bisa di pastikan jika Erlan sangat mengkhawatirkan Jani.
"Berhenti–coba mundur sedikit" Ucap Erlan pada petugas yang sedang memeriksa CCTV.
Petugas itu memundurkan waktu beberapa detik, hingga nampak seorang gadis dengan pakaian pasien yang berdiri di depan Lift, tak lama gadis itu masuk ke dalam Lift.
"Apa bisa di zoom?" Pintar Erlan pada petugas itu.
"Sebentar mas" Jawab petugas itu yang terus menatap monitor.
Tangan petugas itu menekan tombol mouse dan memperbesar gambar di mana sosok Rinjani masuk ke dalam Lift.
"Lift itu naik" Imbuh Damar.
"Rooftop" Ucap Erlan dengan dirinya yng langsung berlari meninggalkan ruang pantau CCTV.
Melihat Erlan yang langsung pergi, para makhluk yang juga ikut mencari Jani langsung berhamburan mengekor ke mana Erlan pergi. Mereka berlari mengejar Erlan yang sudah lebih dulu meninggalkan mereka.
"Sial..... " Umpat Erlan saat dirinya sudah berada di depan Lift.
Jarinya terus menekan tombol Lift,Namun terasa sangat lama menunggu Lift berikutnya hingga Erlan berlari menuju tangga darurat, Erlan terus berlari sampai dia tidak perduli dengan berapa lantai yang harus dia lewati.
"Sayang..... Jani–please jangan lakuin hal bodoh" Erlan membatin.
Pikirannya sudah mulai kacau, dengan segala kemungkinan terburuk tentang Jani. Hingga dia sampai di lantai paling atas, tangannya langsung membuka pintu dan begitu pintu terbuka hembusan angin langit menerpa wajah tampan Erlan, Erlan berjalan dan memindai ke sekeliling mencari keberadaan Rinjani, namun–Erlan tak menemukan sosok Rinjani di sana. Erlan mendongak dan memejamkan matanya, tangan Erlan berkecak pinggang, dengan nafas tersengal akibat berlari melewati tangga darurat.
Erlan mengusap wajahnya kasar, nampak frustasi mulai menyelimuti dirinya. Kemana lagi dia harus mencari sosok gadisnya, Erlan membuang nafasnya kasar dan hendak kembali ke bawah. Namun pendengaran Erlan yang sangat tajam menangkap isakan dari balik dinding, Erlan mengurungkan niatnya dan berjalan mendekat pada suara isakan itu.
Dengan menutup matanya Erlan menghembuskan nafas lega, Rinjani gadis yang sedang dia cari kini sedang duduk dengan memeluk kedua lututnya, wajahnya dia tenggelamkan di antara lututnya.
Lama Erlan memandang gadisnya yang terlihat sangat rapuh, tangannya mengepal di samping mengan sesak dan sakit yang merasuk ke dalam dadanya. Erlan mengambil ponsel miliknya dan mengirimkan pesan pada Damar.
𝚂𝚒 𝚔𝚘𝚗*
[Jani udah sma gw]
SEND
Erlan kembali memasukkan ponselnya dan semakin mendekat pada Jani, kini Erlan bisa mendengar jelas isak tangis Jani yang begitu membuat hatinya terasa sakit. Jika bisa saat ini dia ingin benar-benar menghajar Ezra, namun–ada kalanya dia tidak bisa menyentuh sesuatu dan dia tidak bisa menghancurkan nya juga.
Erlan berlutut di samping Jani, tangannya mengusap lembut bahu Jani yang terlihat bergetar.
"Sayang.... Jani..... " Panggil Erlan lembut dan lirih.
Rinjani yang merasakan ada yang memanggilnya langsung mengangkat wajahnya, mata basah Jani beradu dengan mata tenang Erlan, seketika dunia terasa berhenti berputar saat Erlan melihat bagaimana hancurnya Jani saat ini. Tatapan nanar, wajah luka, mata sembab. Sungguh Erlan ingin sekali memutar waktu agar hal ini tidak terjadi padanya.
"Kita masuk ya" Erlan mengusap kepala Jani lembut.
Jani hanya menatap wajah tampan Erlan, hingga tangis Jani kembali pecah. Rinjani menangis sejadi-jadinya membuat Erlan langsung membawa Rinjani ke dalam pelukannya.
"Udah nggak ada lagi hal yang berharga di diri aku" Ucap Jani di dalam tangisannya.
"Aku kotor, aku hina dan–" Belum sempat Jani menyelesaikan ucapannya Erlan langsung membungkam mulut Jani dengan bibirnya.
Erlan terus memberikan ciuman lembut pada Rinjani, ciuman yang Erlan berikan adalah ciuman hangat tanpa tuntutan. Hingga membuat Rinjani terbuai dan perlahan mulai bisa sedikit bisa mengontrol tangisannya.
Hingga suara isakan tangis Jani mulai terdengar pelan, bahkan nafas Jani tak lagi memburu seperti tadi, Erlan melepaskan ciumannya dan menangkup wajah Rinjani, dia menyatukan kening mereka.
"Aku nggak suka sama ucapan kamu, buat aku kamu masih tetap sama seperti saat pertama aku kenal kamu" Erlan menggesekkan hidungnya dengan hidung Jani
"Dan–asal kamu tau, rasa sayang dan cinta aku ke kamu tetap sama, nggak ada yang berubah. Jadi pleaseee–Jangan ngomong omong kosong kayak tadi" Ucap Erlan dengan lembut.
"Tapi.... " Jani menjeda ucapannya sejenak "Ucapan kamu nggak akan merubah kalau aku udah nggak suci lagi, dan aku nggak pantes buat kamu" Air mata Jani semakin deras menetes.
"Yang nentuin pantes nggaknya kamu buat aku, itu cuma aku. Dan buat aku kamu masih sangat pantes berada di sisi aku" Erlan memeluk Rinjani erat.
Tanpa terasa air matanya jatuh, hatinya sudah tidak kuat menahan sesak terlalu lama. Bahkan untuk sekedar berusaha tegar di hadapan Rinjani saat ini Erlan terasa tidak mampu. Jani mengeratkan pelukannya pada Erlan, memang hanya Erlan yang bisa memberikan kehangatan dan ketenangan pada Jani lewat pelukannya.
Dan–di sudut lain nampak Ezra yang melihat bagaimana Erlan bisa dengan mudahnya menenangkan Jani, tangan Ezra terkepal dengan wajah dinginnya. Ezra tersenyum miring dan pergi meninggalkan rooftop dengan hati yang panas.