Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .
‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Satu tahun telah berlalu sejak Nadia mengambil alih kendali Dirgantara Group. Perusahaan semakin jaya di bawah kepemimpinannya yang dingin namun cerdas. Namun, ketenangan itu terusik ketika Nadia memutuskan untuk merenovasi rumah tua mendiang ibunya di pesisir Jawa Tengah—tempat ia dulu melahirkan Arka.
Di balik dinding ganda di kamar ibunya, para pekerja menemukan sebuah kotak logam yang terkunci rapat. Di dalamnya bukan berisi perhiasan, melainkan tumpukan surat lama dan sebuah akta kelahiran yang asli.
Nadia membaca surat-surat itu dengan tangan gemetar. Surat-surat itu ditulis oleh ayahnya yang selama ini ia kira sudah meninggal karena kecelakaan saat ia bayi.
"Untuk putriku, Nadia... Maafkan ayah karena harus menghilang. Ayahmu bukan orang biasa, dan keluarga Dirgantara tidak akan pernah membiarkan kita hidup tenang jika mereka tahu siapa aku sebenarnya..."
Nadia tertegun. Ternyata, ayahnya bukan hanya sekadar pria biasa. Ayahnya adalah Hadi Dirgantara, adik dari kakek Bramantyo yang menghilang secara misterius puluhan tahun lalu setelah konflik perebutan takhta keluarga.
Artinya, Nadia dan Bramantyo adalah saudara sepupu jauh. Namun yang lebih mengerikan, surat itu menyebutkan bahwa ayah Nadia tidak meninggal karena kecelakaan, melainkan disingkirkan oleh ayah Bramantyo untuk mengamankan harta keluarga.
Di saat Nadia sedang berusaha mencerna kenyataan bahwa pria yang ia cintai adalah keturunan dari orang yang membunuh ayahnya, sebuah ancaman baru muncul dari bayang-bayang.
Seorang wanita paruh baya yang sangat elegan muncul di kantor Nadia tanpa janji temu. Dia adalah Nyonya Sofia Dirgantara, ibu kandung Bramantyo yang selama ini dikabarkan sudah meninggal di rumah sakit jiwa.
"Kau memiliki mata ayahmu, Hadi," ucap Sofia dingin saat masuk ke ruangan Nadia.
Nadia berdiri dengan waspada. "Siapa Anda?"
"Aku adalah wanita yang dikorbankan demi rahasia besar keluarga ini. Dan aku kembali bukan untuk putraku, Bramantyo, tapi untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milik Hadi—ayahmu. Kau memegang perusahaan ini, Nadia, tapi kau tidak tahu bahwa seluruh fondasi gedung ini dibangun di atas darah orang tuamu."
Bramantyo masuk ke ruangan dan terpaku melihat ibunya berdiri di sana. Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi ketakutan yang nyata.
"Ibu? Bagaimana bisa..."
"Bramantyo, putraku yang malang," Sofia tersenyum licik. "Kau mencintai wanita yang seharusnya kau benci. Dan kau, Nadia... apakah kau tahu bahwa kincir angin yang diberikan Bramantyo kepadamu di taman dulu bukan karena kebetulan? Ayah Bramantyo-lah yang mengirimnya ke taman itu untuk memata-matai ayahmu sebelum dia dieksekusi."
Bramantyo jatuh terduduk. Ia tidak tahu tentang rencana itu. Baginya, pertemuan di taman adalah memori suci, namun bagi ayahnya, itu adalah bagian dari pengintaian untuk membunuh paman Nadia.
Nadia menatap Bramantyo dengan tatapan yang lebih hancur dari sebelumnya. "Jadi... pertemuan kita di taman, kincir angin itu... semuanya adalah bagian dari rencana pembunuhan ayahku?"
"Nadia, aku tidak tahu! Aku hanya seorang remaja saat itu, aku benar-benar jatuh cinta padamu!" teriak Bramantyo putus asa.
Sofia tidak datang sendiri. Ia membawa pasukan pengacara dan bukti-bukti baru untuk menggugat kepemilikan Dirgantara Group. Ia ingin merebut perusahaan bukan untuk dirinya, tapi untuk menghancurkan Bramantyo dan Nadia secara bersamaan sebagai balasan atas penderitaannya di masa lalu.
Meskipun informasi dari Sofia baru saja menghantam mereka, Bramantyo dan Nadia sadar bahwa satu-satunya yang tidak boleh hancur adalah dunia kecil milik Arka. Sesuai janji mereka, keesokan harinya mereka membawa Arka ke taman dimana Nadia bertemu Bramantyo.
Taman itu kini sudah jauh lebih modern, namun pohon beringin besar di sudut timur masih berdiri kokoh—saksi bisu pertemuan dua puluh tahun lalu. Arka berlari dengan riang, mengejar kincir angin berwarna biru yang berputar cepat ditiup angin sore.
Bramantyo dan Nadia duduk di bangku taman yang sama, namun ada jarak sekitar satu meter di antara mereka. Keheningan di antara keduanya terasa sangat berat, kontras dengan tawa Arka yang terdengar di kejauhan.
"Ayah! Bunda! Lihat! Kincir Arka berputar sangat kencang!" Arka melambaikan tangannya dari bawah pohon.
Bramantyo memaksakan senyum dan melambai balik. Begitu Arka kembali fokus bermain, wajahnya kembali muram. "Nadia... aku bersumpah demi nyawa Arka, aku tidak tahu jika hari itu ayahku menggunakanku. Bagiku, kau adalah malaikat yang menyelamatkanku dari kegelapan. Aku tidak tahu jika di balik itu ada rencana keji terhadap ayahmu."
Nadia tidak menjawab. Ia beranjak dari bangku dan berjalan perlahan menuju pohon beringin besar itu. Ia teringat dalam surat ayahnya, ada sebuah kalimat: "Di bawah akar pelindung yang pertama kali memberimu tawa, ada kebenaran yang tidak bisa dibakar oleh api."
Nadia berlutut di dekat akar pohon yang menonjol. Ia mulai menggali tanah yang lembap dengan jemarinya, tidak peduli kuku-kukunya yang bersih kini penuh dengan tanah.
"Nadia, apa yang kau lakukan?" Bramantyo mendekat, mencoba membantu.
"Ayahku meninggalkan sesuatu di sini, Bram. Jika benar ayahmu memata-matai kami, ayahku pasti tahu dan dia menyembunyikan bukti di tempat yang paling tidak terduga," bisik Nadia dengan napas memburu.
Setelah menggali sedalam beberapa puluh sentimeter, jemari Nadia menyentuh sesuatu yang keras. Sebuah kotak kecil berbahan titanium yang tahan karat. Dengan tangan gemetar, Nadia membukanya.
Di dalamnya terdapat sebuah perangkat rekaman suara tua dan selembar sertifikat saham kuno atas nama Nadia sendiri, yang ditandatangani oleh kakek Bramantyo sebelum ia meninggal.
Nadia menekan tombol play. Suara statis terdengar sebentar sebelum sebuah suara pria yang dalam dan tenang muncul—suara Hadi Dirgantara, ayah Nadia.
> "Jika kau mendengar ini, Nadia... artinya kau sudah dewasa. Aku tahu kakakku, ayah Bramantyo, ingin melenyapkanku karena aku memegang bukti penggelapan dana yayasan keluarga. Tapi aku melihat putranya, Bramantyo muda... dia anak yang baik. Dia tidak seperti ayahnya. Nadia, jika suatu saat kau bertemu dengannya, jangan benci dia atas dosa ayahnya. Aku telah mewariskan hak veto Dirgantara Group kepadamu, tersimpan di bank rahasia Swiss. Gunakan itu untuk menghentikan kegilaan keluarga ini."
>
Nadia membeku. Rekaman itu membuktikan dua hal: Ayah Bramantyo memang jahat, tapi ayah Nadia sendiri telah memaafkan Bramantyo bahkan sebelum semuanya terjadi.
Bramantyo yang mendengar rekaman itu jatuh berlutut di samping Nadia. Air matanya tumpah. "Ayahmu... dia melindungiku bahkan saat ayahku mencoba membunuhnya?"
Nadia menatap Bramantyo, lalu menatap Arka yang sedang berlari ke arah mereka. Kebencian yang tadi membara perlahan mendingin, berganti dengan tekad yang baru.
"Kita tidak bisa membiarkan Sofia atau siapa pun menghancurkan apa yang ayahku coba lindungi," ucap Nadia tegas, ia mengulurkan tangannya pada Bramantyo untuk pertama kalinya dengan niat tulus untuk bekerja sama. "Sofia mengira dia bisa memecah belah kita dengan masa lalu. Kita akan gunakan hak veto ini untuk menendangnya keluar selamanya."
Bramantyo meraih tangan Nadia, menciumnya dengan penuh rasa hormat. "Aku akan menjadi perisaimu, Nadia. Jika dulu ayahku adalah iblisnya, maka aku akan menjadi malaikat maut bagi siapa pun yang mencoba menyentuh warisan ayahmu."
Saat mereka bangkit, Arka datang dan memeluk kaki mereka berdua. "Ayah, Bunda, kenapa menangis? Ada orang jahat ya?"
Bramantyo menggendong Arka dan menatap Nadia dengan tatapan yang kini penuh dengan api perjuangan. "Tidak ada orang jahat yang bisa menang dari kita, Jagoan. Ayah dan Bunda akan memastikan taman ini—dan dunia ini—aman untukmu."
Malam itu, mereka kembali ke Jakarta bukan lagi sebagai dua orang yang terpaksa harus bersama, Nadia dengan kecerdasan dan hak waris sahnya, dan Bramantyo dengan kekuatan dan taktik gelapnya.