NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18. Rayuan Maut

Serunyam-runyamnya masalah adalah dengan seorang Maharani. Butuh kesabaran yang sangat eksta untuk menanggapi segala tingkah bar-bar nya, perempuan itu sangat senang membuat huru-hara, apapun yang dibicarakan dengan Sastra ujung-ujungnya pasti ada perdebatan, walaupun Maha selalu mendominasi dan diakhiri Sastra yang membuatnya mati kutu.

Ini bermula perihal Maha yang memergoki Sastra tengah mengobrol dengan mantan tunangannya, Danisa. Kala itu ia tengah pergi bersama dengan Keana untuk nongkrong cantik disebuah cafe dan tak sengaja pandangannya bertemu dengan pria itu.

Maha tidak sama sekali marah dengan kelakuan asli Sastra, justru ia kesenangan karena kegagalan move on pria itu terlihat juga. Namun, Sastra membantah tuduhan Maha yang kini tengah habis-habisan mencecar nya seperti seorang istri yang baru saja memergoki suaminya selingkuh.

"Gak usah marah dong Mas! Ngaku aja, kalau kamu masih cinta sama mantanmu itu," Sastra dibuat tidak berkutik karena Maha naik keatas pangkuannya, tangannya bergerilya menyentuh dada bidang Sastra dibalik Coat hitamnya.

"Mas... Mantanmu tuh kaya gini kan, anggun, bertutur kata sopan santun, dan kemayu saat sedang bersama pasangan. Beda jauh sama aku yang suka ngomel, gak bisa diem, dan selalu bikin ulah." Maha terus menatap Sastra dengan senyum penuh kemenangan, seolah-olah ia memegang kendali penuh atas situasi ini. Sastra hanya menghela napas panjang, menahan diri dari ketidaknyamanan yang perlahan memuncak.

“Maha, saya mau kamu turun dari pangkuan saya, kita gak bisa berbicara seperti,” ucap Sastra dengan nada yang lebih tenang, mencoba meredam emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Namun, bukannya menurunkan intensitasnya, Maha malah semakin menjadi-jadi, tangannya kini bermain-main dengan dasi Sastra.

“Gak bisa, Mas. Aku gak akan berhenti sebelum kamu jujur sama perasaanmu sendiri!” Maha menatap Sastra tajam, ekspresi di wajahnya jelas sengaja menggoda. Ia memang senang mengacak-acak ketenangan Sastra, seolah-olah perdebatan ini adalah permainan yang membuatnya terus bersemangat.

Sastra mendesah berat, merasa kehabisan cara untuk meredakan situasi. “Maha, saya sudah bilang, saya ketemu Danisa cuma kebetulan.” Suaranya mulai terdengar lelah, tapi Maha tetap tidak bergeming, masih dengan senyumnya yang penuh provokasi.

“Dan kebetulan juga, Mas langsung mengobrol banyak, ya? Masa sih kalau masih gak ada rasa,” Maha mencibir, tangannya kini turun menyentuh pinggang Sastra, seolah mengejek bahwa pria itu masih terikat pada bayang-bayang cinta lamanya.

Sastra merasakan dorongan untuk menarik diri, tapi ia tahu melawan Maha hanya akan memicu pertengkaran yang lebih besar. Ia menatap Maha dengan serius, mencoba menembus dinding keusilan yang selalu dipasang perempuan itu. “Maha, dengerkan saya. Danisa sudah selesai, saya tidak ada apa-apa lagi sama dia. Sekarang cuma ada kamu di hidup saya, kamu mengerti?”

Maha terdiam sejenak, ekspresinya sedikit melembut, meskipun sinar mata usilnya masih tampak jelas. “Ya udah, kalau cuma aku, jangan aneh-aneh lagi, Mas,” katanya, menyerah dengan gaya khasnya yang seolah mengalah tapi tetap menggenggam kendali.

"Lo mau gue kaya gini kan? seanggun  dan selembut suaranya. Yang selalu nurut sama Lo, kalau suami pulang kerja ditunggu, dicium tangannya, tas kerjanya dibawain, terus siapin makan malam yang rapi di meja, senyum manis setiap saat sambil merdu merayu, 'sayang, bagaimana pekerjaanmu hari ini?'." Maha menirukan gerak-gerik yang berlebihan, seolah menirukan sosok istri sempurna yang menurutnya membosankan.

Sastra tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi karena Maha benar-benar tahu cara menyentuh titik rawannya. “Maha, jangan lebay. Saya gak pernah minta kamu jadi kaya gitu.” Ia berusaha meraih tangan Maha yang masih bergerilya di dadanya, menggenggamnya erat agar Maha tidak menyentuh bagian-bagian lainnya yang dapat dipastikan bahwa pria ini akan beraksi.

“Masa sih, Mas? Kamu gak pernah kepikiran aku bisa jadi selembut ini?” bisik Maha, suaranya terdengar manja, menggoda, namun juga sarat dengan kehangatan. Ia menggeser posisi, menyandarkan kepalanya di bahu Sastra, dan kedua tangannya kini melingkar di punggung pria itu. Tubuh mereka beradu, tanpa jarak, dan Maha dengan sengaja membiarkan Sastra merasakan detak jantungnya yang berirama dengan miliknya.

Sastra menggigit bibir, menahan gelombang emosi yang mulai sulit ia kendalikan. “Maha…” panggilnya pelan, mencoba mencari kendali di tengah badai kecil yang diciptakan istrinya. Namun, Maha hanya mengangkat wajahnya, matanya berbinar menatap Sastra dengan sorot kenakalan dan keintiman yang begitu dalam.

“Kamu suka kan, Mas?” Maha tidak melepaskan pelukan itu, justru semakin erat, dan jemarinya mulai bermain di bagian tengkuk Sastra, memijat pelan seolah ingin menghilangkan jarak di antara mereka sepenuhnya. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Sastra, berbisik dengan nada yang menggetarkan, “lo mau gue kaya gini kan? ngerayu lo kayak perempuan panggilan?"

Sastra tidak mampu menahan lagi, pelukannya pun membalas sama eratnya, seolah ingin memastikan Maha tetap berada di sana, di dekatnya, dalam genggamannya. Ia menunduk sedikit, wajahnya kini hanya beberapa inci dari Maha, merasakan napas hangatnya yang menerpa kulit. “Kamu berani menguji saya hmm?” ucap Sastra dengan suara rendah, akhirnya melepaskan pertahanan terakhirnya.

Maha tersenyum puas, meskipun ada kehangatan yang tak biasa di matanya. Ia menyentuh wajah Sastra dengan lembut, jari-jarinya menyusuri garis rahang pria itu seolah menghafal setiap lekuknya. “berani dong Mas," suaranya semakin mendayu centil.

Desisan yang kesekian kalinya terdengar dari mulut Sastra, ia benar-benar diuji perempuan ini hingga keinginan untuk menyentuhnya menggebu-gebu. Kepalanya masih sadar hanya saja harum tubuh Maha memabukkan indera penciumannya.

"Saya bilang jangan menguji saya Maha, kamu ingin saya perawani malam ini hmm?"

"Bajingan lo!"

Lepas kasar tubuh Maha darinya, beranjak segera untuk menjauh dari Sastra. Namun Maha cukup terhibur dengan tersiksanya pria itu, ini adalah permainan yang sangat menyenangkan dan kedepannya akan ia lakukan. Maha tau, Sastra tidak akan berbuat seperti itu, kalau sedikit saja berani memulai, dapat dipastikan bahwa pria itu akan ia maki habis-habisan dan akan ia laporkan pada pihak berwajib atas kasus pemerkosaan.

Sastra merapikan coat hitamnya, ia berdiri dan tatapannya tetap tertuju pada Maha, "kamu masih berumur tujuh belas, belum delapan belas, saya tidak segila itu memerawani perempuan yang belum cukup umur." Jelas Sastra sebelum kakinya melangkah pergi menuju tangga.

"Sialan lo Sas!"

•••

Siang itu, Maha didatangi Dylan yang duduk begitu saja dihadapannya yang jelas saja mengundang banyak pasang mata kearah mejanya. Ah sial, Keana tengah ada rapat osis bersama teman-temannya, meninggalkan Maha sendirian dikantin.

"Kenapa sendirian? gue temani ya?"

"Gak usah, fans fanatik lo ngeliatin gue sinis tuh. Udan sana!"

Dylan terkekeh pelan, baru kali ini ia diusir seorang perempuan dengan blak-blakan. Ia tidak menggubrisnya, "gak mau, lagian juga lo gak usah risih kaya gitu," ujarnya tenang. "Gue pengen kenal sama lo."

"Kan udah, lo gak usah banyak alasan. Mau apa sih?" tanyanya sensi, Maha menyimpan rasa puas juga karena Dylan datang sendiri kehadapannya.

"Gue penasaran sama lo, gimana kalau kita pergi ke cafe sepulang sekolah?" Tanpa ragu Dylan mengatakan niatnya.

Maha tampak berpikir sejenak dan ia akhinya menjawab dengan gelengan kepala, "hari ini gak bisa, tapi kalau weekend bisa."

Dylan senang karena tidak mendapatkan penolakan dari Maha, ia mengangguk antusias. "Oke, nanti gue chat dimana tempatnya," sudah begitu ia tidak beranjak, asik memandangi Maha yang tengah mengunyah.

Maha kembali bertanya karena Dylan belum juga hengkang dari tempatnya. "Masih ada urusan apa lagi lo?"

"Gak ada, emang tetep disini gak boleh ya?"

"Gak. Udah sana, gue risih sama tatapan orang-orang yang ngeliat gue." Maha tidak suka dipandang sinis begitu, walaupun ia tidak terlalu memusingkan tapi terkadang Maha benci menjadi pusat perhatian, apalagi status dirinya sudah tercap buruk dilingkungan sekolah.

"Iya-iya ini gue pergi, udah lo gak usah sensi begitu lagi." Dylan menepati ucapannya, ia segera hengkang dari hadapan Maha.

Maharani kembali dalam mode tenangnya, namun notifikasi yang masuk dari Sastra membuyarkan semuanya. "Huft...cowok ini!"

Maha lebih memilih untuk beralih pada panggilan telepon, ia malas mengetik karena kedua tangannya sama-sama tengah sibuk. Tak lama itu suara berat Sastra menyahut dari sebrang sana.

“Ngapain lo nelpon gue siang bolong gini?” sapa Maha ketus, sambil terus mengunyah makanannya tanpa henti. Ia tak peduli meski Sastra mendengar suaranya yang terkesan tidak sopan.

“Oh, kamu sedang makan, yasudah saya tidak akan ganggu.” Hendak menutup telepon suara melengking Maha membuat niatnya urung.

"Enak aja mau di matiin panggilan telepon gue, lo tuh jahat banget sih. Gue sengaja effort nelepon lo lebih dulu tapi Lo dengan gak jelasnya mau nutup telepon gue. Lo tuh ada butuhnya doang!" Ujarnya kesal.

"Iya saya minta maaf. Jadi saya mau infokan kamu kalau siang ini saya ada pertemuan penting, kamu nanti dijemput Devan, masih ingat kan dengan sekretaris saya?"

"Inget, tapi kenapa harus Devan? Kenapa bukan lo aja yang jemput? Gue gak suka sama cowok lain, Mas!" Maha merengut, menunjukkan ketidaksukaannya dengan sengaja atau lebih tepatnya ingin membuat huru-hara lagi, kesempatan bagus seperti ini harus dimanfaatkan.

“Tumben?" Sastra menghela nafas panjang, "karena saya sibuk, Maha. Saya ada pertemuan penting dan saya gak bisa ninggalin. Ini cuma buat hari ini, kamu bisa ngerti kan?" Sastra sudah tau bahwa istrinya ingin memancing amarahnya, ia mencoba menjelaskan dengan nada sabar, meski sudah tahu betapa susahnya Maha bisa menerima alasan sederhana.

Maha mendengus keras, lalu meletakkan garpunya dengan kesal. “Emang gak ada alasan lain kan selain kesibukan lo sama kerjaan. Gue heran, Mas. Lo lebih sayang sama kerjaan daripada gue,” ucapnya dengan nada cemberut, tak mau kalah.

"Maha, saya sayang sama kamu, tapi saya harus bertanggung jawab. Saya harus hadir di pertemuan ini, dan Devan nanti jemput kamu. Kalau kamu gak mau, saya bisa coba carikan alternatif lain.”

Maha terdiam sejenak, matanya menatap kosong ke arah makanannya, geli sekali saat Sastra berkata menyayanginya. “Yaudah deh, biar aja Devan yang jemput. Tapi, gue ngambek sama lo Mas!"

Sastra tersenyum kecil mendengar nada manja Maha. Meski ia sedang berdrama. “Iya bagus kalau begitu,"

Maha mendengus sebal sebelum akhirnya ia menutup telepon tanpa merespon lagi.

Begitu panggilan berakhir, Maha meletakkan ponselnya dengan kasar. Hatinya terasa semakin tak karuan, dihantui rasa benci dan ketidakmampuan menerima kenyataan pernikahan yang semakin tidak diinginkannya.

•••

Devan terkikik geli dengan tingkah laku istrinya Sastra yang kini tengah gencar membicarakan suaminya sendiri. "Lo nafsu amat sih ngomongin suami lo, sebegitu gak suka kah lo sama dia?"

Maha sambil mengunyah makanan ringan yang dibelikan Devan, "iya, gue benci banget sama atasan Lo itu, ngeselin!"

"Maha, lo blak-blakan banget." Ujar Devan, "hati-hati lho, biasanya yang benci duluan, jatuh cintanya juga duluan." Devan menggoda Maha, tentu saja direspon galak oleh Maha.

Maha melirik tajam ke arah Devan, meletakkan makanannya dengan kasar di atas dasboard. "Enggak akan terjadi! Gue gak mungkin jatuh cinta sama orang kayak dia!" Maha menegaskan, ekspresi wajahnya jelas menunjukkan betapa kesalnya dia.

Devan mengangkat bahu, terkekeh sambil menyesap kopinya. “Ya, kita lihat aja nanti. Kadang orang gak sadar lho kalau sebenarnya hatinya pelan-pelan berubah. Yang penting jangan denial ya, Mah,” godanya, seolah menikmati reaksi kesal Maha.

Maha mendengus, kali ini lebih keras. “Gue gak peduli! Buat gue, dia tetap orang yang paling nyebelin. Gue gak akan pernah bisa suka sama dia!” ujarnya tegas, tapi ada sedikit goyangan emosi di suaranya, membuat Devan semakin geli melihat kemarahannya yang meledak-ledak.

"Yah, kalau gitu gue tinggal tunggu aja momen lo berbalik," jawab Devan santai. Tapi Maha hanya mendelik sebelum kembali fokus pada cemilannya.

"Eh, cowok yang tadi itu siapa? Ngambis banget pengen nganter lo pulang?" Devan bertanya perihal laki-laki yang bersikeras ingin mengantar Maha pulang, ia melihatnya di depan gerbang.

Maha menoleh kearah Devan yang juga menoleh kearahnya sebelum fokus kembali menyetir.

Maha mendengus pelan, menyandarkan tubuhnya di kursi mobil sambil melipat tangan di dada. “Oh, itu Dylan, temen sekelas. Kenapa lo tanya begitu? Penasaran? Apa mau ngadu sama bos lo itu?"

Devan tertawa kecil, lalu melirik Maha dengan tatapan usil. "Gue penasaran aja, kok. Kayaknya dia niat banget pengen nganterin lo. Kasian juga suami lo, masa kalah saing sama anak sekelas." Devan tertawa lebih keras.

Maha mendengus kesal, lalu memutar matanya. "Gue gak peduli sih."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!