Kinanti, seorang dokter anak yang cerdas dan lembut, percaya bahwa pernikahannya dengan David, dokter umum yang telah mendampinginya sejak masa koass itu akan berjalan langgeng. Namun, kepercayaan itu hancur perlahan ketika David dikirim ke daerah bencana longsor di kaki Gunung Semeru.
Di sana, David justru menjalin hubungan dengan Naura, adik ipar Kinanti, dokter umum baru yang awalnya hanya mencari bimbingan. Tanpa disadari, hubungan profesional berubah menjadi perselingkuhan yang membara, dan kebohongan mereka terus terjaga hingga Naura dinyatakan hamil.
Namun, Kinanti bukan wanita lemah. Ia akhirnya mencium aroma perselingkuhan itu. Ia menyimpan semua bukti dan luka dalam diam, hingga pada titik ia memilih bangkit, bukan menangis.
Di saat badai melanda rumah tangganya datanglah sosok dr. Rangga Mahardika, pemilik rumah sakit tempat Kinanti bekerja. Pribadi matang dan bijak itu telah lama memperhatikannya. Akankah Kinanti memilih bertahan dari pernikahan atau melepas pernikahan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isti arisandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Dipaksa Tunangan
Hening malam memeluk rumah besar keluarga Kinanti dan David seperti selimut yang tampaknya tenang, tapi menyembunyikan bara api di dalamnya.
Jam dinding menunjukkan pukul 3 pagi, dan suasana rumah terlihat damai di permukaan. Tapi di balik dinding-dinding kamar, badai tengah menggulung, menunggu waktu yang tepat untuk meledak.
David berjalan bolak-balik di dalam kamar, pikirannya tak tenang. Keringat dingin merembes di pelipisnya meskipun AC menyala penuh. Suara tangis Mauren dari kamar bayi membuatnya semakin panik.
Kinanti duduk di kursi rias, wajahnya tenang tapi tatapannya tajam menelisik. Ia baru saja mendapat kabar dari suaminya bahwa semalam, ada seorang lelaki masuk dari pintu belakang rumah mereka. Dan anehnya, David menyebutkan bahwa tubuh pria itu mirip Yusuf, Sahabat David, lelaki yang mengincar adiknya.
Tapi Kinanti bukan perempuan bodoh. Ia mengenal gerak-gerik David. Ia tahu kapan suaminya sedang berbohong, dan malam ini... David terlihat seperti seekor tikus yang terperangkap.
“Aku melihat seorang lelaki masuk dari pintu belakang. Sayang sekali aku nggak lihat wajahnya,” kata David berbohong, berusaha terdengar meyakinkan. “Postur tubuhnya mirip Yusuf.”
“Mirip Yusuf?” Kinanti mengulang kalimat itu, mengamati wajah suaminya dengan teliti. “Kau yakin?”
David mengangguk, meski napasnya berat dan suaranya mulai goyah.
Tak perlu waktu lama bagi Kinanti untuk mengambil keputusan. Ia bangkit dari kursi rias dan melangkah cepat menuju kamar Naura, adik perempuannya yang beberapa bulan terakhir tinggal bersama mereka karena sedang magang di sebuah rumah sakit di kota ini.
Kinanti berjalan cepat, hampir seperti berlari. David mengikutinya dari belakang, mencoba terlihat tenang, namun detak jantungnya seperti genderang perang. Dia tahu konfrontasi ini tak terelakkan. Dan yang lebih menakutkan, dia tahu bahwa semua ini bisa berakhir sangat buruk.
Naura baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, tubuhnya terbalut bathrobe putih lembut, dan dia duduk santai di sofa kecil, menikmati camilan keripik sambil menonton sinetron.
Tok! Tok! Tok!
“Nau! Buka pintunya!” teriak Kinanti, nadanya tinggi dan tajam.
Naura terkejut. Dia langsung berdiri, meletakkan camilan, dan berjalan menuju pintu.
“Ada apa, Mbak?” katanya dari balik pintu.
“Buka!” seru Kinanti lagi, kali ini lebih keras.
David berdiri di belakang Kinanti, diam, matanya tidak berani menatap langsung ke pintu kamar Naura.
Pintu terbuka perlahan. Naura muncul dengan wajah pucat dan sedikit bingung. “Ada apa, Mbak?” ulangnya.
Wajah Kinanti penuh emosi, tapi ia mencoba menahan diri. “Naura, kita duduk di ruang tengah. Aku ingin bicara.”
Naura menelan ludah. “Apa nggak bisa besok, Mbak? Sekarang sudah malam, dan ada Bapak, Ibu, juga mertua Mbak. Gak enak kalau kita ribut.”
“Justru karena mereka di sini, kita harus bicara sekarang!” bentak Kinanti, lalu meraih lengan kanan Naura dan menyeretnya menuju ruang tengah.
David ikut berjalan perlahan di belakang, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar. Di dalam hatinya dia ingin berteriak, ingin menghentikan semua ini, tapi dia terlalu pengecut untuk melakukan apa pun.
Mereka bertiga duduk di ruang santai. Sofa abu-abu besar tampak menelan tubuh Naura yang duduk menunduk, tangan gemetar di atas paha. Sementara Kinanti berdiri, bersedekap, penuh wibawa dan emosi yang ditekan habis-habisan.
“Naura, jawab dengan jujur. Siapa lelaki yang masuk ke rumah ini semalam?” tanya Kinanti tajam.
“Aku nggak tahu, Mbak,” jawab Naura, suaranya gemetar.
“Jangan bohong!” seru Kinanti. “Kamu masuk ke gudang belakang malam-malam. Masmu juga lihat ada laki-laki masuk dari taman sebelah menuju gudang belakang. Katakan! Siapa pacar kamu?”
Naura terdiam. Ini lebih buruk dari yang dia bayangkan. Dia pikir Kakak iparnya akan membela, tapi ternyata David memilih memutar cerita, menyalahkan Yusuf, dan menjadikan Naura kambing hitam.
Dalam hatinya, Naura menjerit. Tapi lidahnya kelu. Matanya mulai memerah, air mata mengambang di pelupuk. Dia menatap David... berharap. Tapi laki-laki itu hanya berdiri mematung, menunduk, menghindari kontak mata.
“Jawab, Naura!” bentak Kinanti.
Naura hanya menggeleng pelan.
“Yusuf? Jika kamu dan Yusuf sudah sangat dekat, kalian harus menikah,” kata Kinanti keras.
“Mbak...” Naura akhirnya bersuara, suaranya lirih, hampir tak terdengar.
“Menikah, Naura. Mbak nggak mau menanggung malu. Keluarga ini sudah cukup baik menampung kamu. Kalau kamu berani membawa laki-laki masuk rumah ini tengah malam, berarti kamu harus bertanggung jawab.”
Kinanti merogoh kantong jaketnya, mengeluarkan sesuatu. Seprei! Seprei di gudang yang semalam digunakan oleh Naura dan David. Ia melemparkan benda itu ke atas meja kaca.
“Aku nemu ini di kamar tamu. Bau lelaki! Jangan anggap aku bodoh, Nau!”
Naura tersentak. Tubuhnya berguncang hebat. Bau itu... Dia tahu. Kinanti tahu. Tapi tidak mengucapkannya. Ia hanya menyimpulkan bahwa pria itu adalah Yusuf.
David menatap seprei itu dengan wajah ngeri. Kini dia tahu, istrinya mencium aroma tubuhnya sendiri di sana. Tapi tetap saja, ia tak bisa mengaku.
"Keputusanku bulat, kamu harus menikah dengan Yusuf.
Kinanti membalikkan badan, pergi tanpa menunggu jawaban. Ia mendengar tangis Mauren dari kamar bayi, dan itu alasan yang tepat untuk pergi dari ruangan penuh dosa itu.
Begitu Kinanti menghilang di balik lorong, Naura menoleh pada David, air matanya jatuh satu-satu.
“Mas... gimana ini?” bisiknya dengan suara parau.
David tersenyum. Senyum datar, seperti pria yang sudah menyerah pada keadaan.
“Gak papa, Sayang. Kamu menikah saja dengan Yusuf. Kita nggak punya cara lain buat nutupin semua ini,” katanya ringan.
Naura terisak. “Tapi aku nggak cinta, Mas...”
“Gak perlu cinta. Yang penting... hubungan kita aman.”
David mendekat, membelai pipi Naura yang dingin dan basah. Lalu mengecup bibirnya singkat. “Kamu kuat, kan?”
David lalu pergi, dalam keadaan sekarang memang tak aman duduk berdua saja.
Naura tak menjawab. Hanya bisa menatap punggung David yang menjauh, melangkah tenang ke kamar bayi, menyusul istrinya yang masih membelai anak mereka yang tak tahu apa-apa tentang kerumitan dunia orang dewasa.
Pagi harinya, rumah itu lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada canda tawa di meja makan. Tidak ada obrolan santai. Semua diam. Dingin.
Naura duduk di kamarnya, menatap ponsel yang memunculkan pesan dari Kinanti.
“Aku sudah bicara dengan Yusuf. Besok kalian lamaran. Urusan lainnya biar aku yang atur.”
Tangannya gemetar membaca pesan itu. Yusuf. Pria baik. Dokter umum sejak dua tahun lalu, yang selama ini begitu sopan dan tulus. Tapi dia tidak mencintainya. Dan lebih dari itu... dia menyimpan rahasia besar.
"Apa yang harus aku lakukan, aku harus menikah dengan pria yang tidak aku cintai."
Naura duduk di sofa sambil menatap pesan dari David, airmatanya luruh lagi.