Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Cooling Down, Again
Wina tak henti-hentinya mengajak Dion bercerita meskipun pemuda itu sedang konsentrasi mengendarai sepeda motor. Berkali-kali Dion harus menanyakan ulang pertanyaan Wina karena suaranya tercampur deru jalanan. Wina yang senang sekali menaiki sepeda motor terus saja berkomentar mengenai apa-apa yang mereka lalui.
“Dion, sepeda motor ini bisa membawa kita ke mana saja kita mau,” ujarnya ketika sepeda motor melambat karena kendaraan di depan juga melambat. Dion hanya tersenyum mendengar kata-kata Wina yang sedikit naif.
“Berarti bisa dipakai buat kabur bukan? Maksudnya kawin lari gitu!” cetus Wina setengah berteriak karena ia merasa Dion tak terlalu mendengar perkataan sebelumnya.
Dion tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa. Ia masih saja terkejut dengan komentar-komentar tak terduga dari Wina, meskipun sudah ratusan kali dilakukan oleh gadisnya itu.
“Kawin lari naik motor?” Dion akhirnya merespons, masih tertawa.
“Wina kira kita pemeran sinetron?”
“Eh, kenapa tidak?” Wina terkikik.
“Kan romantis. Ngebut di jalanan, dikejar keluarga, terus kita berdua bersumpah hidup dan mati bersama.”
“Perempuan memang sering sekali tak masuk di akal,” pikir Dion dalam hati.
...***...
Tepat di atas kepala, matahari tengah bersinar terik ketika Dion dan Wina akhirnya tiba di Pantai Cermin. Langit biru membentang luas tanpa awan, dan angin laut bertiup lembut, membawa aroma asin yang khas.
Setelah dua minggu terakhir dipadati pengunjung yang menghabiskan liburan akhir tahun, pantai itu kini kembali tenang, hanya terdengar deburan ombak yang menyapa bibir pasir.
Mereka berjalan menyusuri area pasar kecil di dekat pantai, di mana berbagai hasil laut segar dipajang di meja-meja kayu sederhana. Mata Dion berbinar ketika melihat ikan-ikan berkilauan di atas es batu, sementara Wina dengan sigap menawar harga.
“Mau Wina bakarin atau minta dibantu?” tanya Wina setelah mereka memilih ikan yang paling menggoda selera.
“Minta dibantu aja, ya. Perjalanan tadi cukup bikin capek,” sahut Dion yang tak ingin Wina kelelahan setelah perjalanan dengan sepeda motor tadi.
Wina mengangguk setuju.
Setelah memesan, mereka berjalan menuju sebuah pondok beratap rumbia yang menghadap langsung ke laut.
Angin menerpa lembut, membuat suasana semakin nyaman. Dion duduk tepi lantai pondok, sementara Wina menyusul dan tanpa ragu merapat ke sisinya, tangannya langsung menggenggam tangan Dion seolah-olah itu sudah menjadi hak miliknya.
“Wah, enaknya di sini! Tenang banget,” seru Wina, mengayunkan kakinya pelan sambil menikmati pemandangan laut yang berkilauan diterpa sinar matahari.
Dion tersenyum, memandang ombak yang berkejaran. “Iya, kalau lagi sepi begini, rasanya seperti pantai pribadi. Tapi kalau akhir pekan atau hari libur, jangan harap bisa duduk tenang. Pengunjungnya membludak.”
Wina melirik ke arah Dion, matanya menyipit penuh selidik. “Dion sering ke sini?” tanyanya.
Dion, yang sudah menangkap maksud tersirat dari pertanyaan itu, hanya tersenyum tipis sebelum menjawab, “Nggak sering, kok. Paling kalau ada acara kantor. Itu pun rame-rame, bukan berdua sama cewek.”
Mendengar jawaban itu, Wina tersenyum puas, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Dion.
“Bagus. Mulai sekarang, Pantai Cermin harus jadi tempat spesial buat kita berdua,” bisiknya dengan nada manja.
Dion tertawa kecil, mengeratkan genggamannya pada tangan Wina. “Baik, Nona. Aku resmi menyerahkan hak kepemilikan pantai ini buat kamu,” godanya.
Wina yang membawa tangan kiri Dion ke pangkuannya lalu berkomentar, “Dion lihat deh ini seperti susu coklat.”
“Ha?” Dion heran tak mengerti maksud Wina.
“Susu dan coklat,” ujar Wina, menunjuk lengannya sendiri yang seputih porselen, lalu beralih ke lengan Dion yang lebih gelap.
“Aku susu, kamu coklat.”
Dion terkekeh, baru memahami perumpamaan unik kekasihnya.
“Kalau gitu, aku lebih tepatnya coklat susu sih, bukan coklat murni,” sahutnya, menyadari bahwa kulitnya sebenarnya lebih ke kuning langsat pucat dibandingkan benar-benar gelap.
“Tapi tetap aja lebih gelap dari aku,” ujar Wina dengan nada bangga.
Dion mengangguk setuju, jari-jarinya dengan sendirinya mengelus lembut lengan Wina.
“Benar. Mulus banget kayak porselen,” pujinya tulus.
“Ya iyalah. Aku ini cewek,” ujar Wina sambil melirik Dion.
“Kalau kulitmu sehalus aku, justru aneh. Itu namanya cowok kemayu.”
Wina lalu kembali memperhatikan tangan Dion. Ia membandingkan jari-jarinya yang kecil dengan jari Dion yang panjang dan besar.
“Eh, tanganmu besar banget ya. Jari-jari panjang begini, hampir dua kali lipat jariku. Kalau kita genggaman, tanganku tenggelam,” ujarnya manja, sambil bermain-main dengan jari Dion.
Dion hanya tersenyum, membiarkan gadis itu menikmati keisengannya.
“Tangan kayak gini biasanya jago main piano, lho,” kata Wina tiba-tiba.
Dion mengangkat alis.
“Pengen sih, tapi belajarnya di mana? Lagipula aku nggak berbakat main alat musik.”
Wina menatapnya dengan penuh perhatian. “Sayang banget. Jari panjang-panjang gini tuh anugerah buat pianis. Tapi ya, bakat lebih penting sih.”
“Kamu bisa main piano?” Dion balik bertanya, kini semakin tertarik.
“Aku belajar sejak TK,” jawab Wina. “Dulu kepengen jadi musisi, tapi mami nggak bolehin.”
Dion mengangguk paham. “Eh, kapan-kapan main piano buat aku, ya! Aku suka Nocturne-nya Chopin.”
Mata Wina langsung berbinar. “Chopin itu favoritku! Aku bisa main beberapa karyanya, kayak Andante Spianato, Fantaisie-Impromptu, dan tentu saja Nocturne Op. 9.”
Dion terdiam sesaat, lalu tertawa kecil. “Aku nggak ngerti musik klasik, sih. Yang aku tahu cuma Nocturne, itu pun karena ada file-nya di komputerku.”
“Kamu tahu apa lagi kata orang soal jari-jari panjang?” tanya Wina bernada usil.
“Apa?” Dion penasaran.
“Katanya berkaitan dengan ukuran itu tuh….” kata Wina terputus sambil tersenyum nakal.
Butuh beberapa detik bagi Dion untuk menyadari ke mana arah pembicaraan ini. Begitu paham, wajahnya langsung memerah.
“Itu mitos! Udah, ah. Kita udah cukup lama bahas jari!” protesnya sambil menarik tangannya menjauh.
Wina hanya tertawa geli melihat reaksi Dion yang jelas-jelas tersipu. Ia semakin menggoda dengan mengerlingkan kedua matanya, membuat Dion semakin salah tingkah.
Demi mengalihkan perhatian, Dion segera mengajak Wina membahas hal lain, menjawab pertanyaan-pertanyaannya seputar tempat itu. Namun, sepanjang percakapan mereka, senyum jahil Wina tak juga luntur.
ercakapan terhenti seketika ketika seorang pelayan datang membawa hidangan yang telah mereka nantikan. Aroma ikan bakar yang berpadu dengan bumbu asam manis langsung menggoda selera. Di atas meja, terhidang kakap asam manis dengan saus kental berkilauan serta pari bakar dengan aroma smokey yang menggugah.
Tanpa banyak basa-basi, mereka segera menikmati santapan siang itu. Setiap suapan disertai dengan gumaman puas dan pujian tiada henti.
“Wah, ini enak banget! Bumbunya meresap, ikannya lembut,” ujar Wina sambil mengunyah penuh kenikmatan.
Dion mengangguk setuju. “Gak kalah sama restoran mahal, ya?”
“Serius, ini bahkan lebih enak! Kenapa restoran pinggir pantai selalu punya cita rasa yang khas, ya?” kata Wina sambil menyendok saus asam manis ke piringnya.
“Karena ikannya super segar. Langsung dari laut, nggak pake lama,” sahut Dion sebelum memasukkan potongan pari bakar ke mulutnya.
Setelah perut mereka kenyang, keduanya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri pantai. Pasir putih yang halus terasa hangat di bawah kaki, sementara ombak berkejaran membasahi bibir pantai. Namun, matahari siang yang terik mulai terasa menyengat, membuat mereka tak tahan berlama-lama di bawah sinarnya.
“Panas banget, kita balik aja yuk ke pondok,” usul Wina sambil mengipasi wajahnya dengan tangan.
Dion mengangguk setuju. Sebelum kembali, mereka singgah sebentar di sebuah warung kecil untuk membeli beberapa minuman dingin. Wina memilih es jeruk yang segar, sementara Dion mengambil sebotol air mineral dingin.
Setelah duduk kembali di pondok beratap rumbia, Dion membuka pembicaraan, “Di Belawan juga ada tempat seperti ini, tapi kurang terawat. Kebanyakan orang ke sana bukan buat nikmatin pantai, tapi lebih ke wisata kuliner.”
“Oh ya?” Wina menoleh dengan penasaran.
“Formatnya mirip, sih. Kita bisa pilih ikan segar dan kalau mau, bisa masak sendiri. Bahkan bisa telepon dulu buat mesen ikan tertentu,” jelas Dion.
“Wah, asyik juga! Pasti cocok buat ajak Oppung, Mbak Ria, dan Mbak Sari,” ujar Wina antusias. “Belawan jauh gak sih dari Medan?”
“Nggak sejauh kemari. Hanya satu jam dari Medan, bahkan lebih cepat kalau tidak macet,” jawab Dion.
“Pasti di sana tidak menyediakan pondok seperti ini,” tebak Wina dengan yakin.
“Bagaimana Wina bisa tahu?” tanya Dion heran.
“Tahu dong. Dion kan ajak kemari supaya bisa pacaran di pondok,” tuduh Wina dengan nada menggoda. Dion tertawa sekaligus heran bagaimana gadisnya punya tebakan benar seperti itu.
“Kan rindu. Ingin menghabiskan waktu dengan nonaku,” Dion membela diri.
Wina tersenyum senang mendengar kata ‘rindu’ yang diucapkan Dion. Ia menyandarkan kepalanya di bahu kekasihnya, menikmati momen kebersamaan mereka.
“Wina lebih suka wisata di pantai atau di pegunungan?” tanya Dion kemudian.
“Keduanya suka. Tapi kalau buat pacaran, sepertinya tempat dingin lebih enak apalagi kalau ada pondok seperti ini,” kata Wina dengan nada menggoda lagi membuat Dion meliriknya curiga.
“Sebenarnya aku berencana mengajakmu ke Berastagi Sabtu ini bila kamu sudah pulang dari Jakarta,” ungkap Dion.
“Oh. Sudah merencanakan tempat yang mesra toh buat kita berdua. Di sana dingin, ya?” tanya Wina setengah meledek.
“Ih, sepagian sampai sekarang Wina ngeres mulu. Iya dingin tapi gak tau kalau ada tempat buat romantis-romantisan,” jawab Dion tapi tak bisa menyembunyikan wajahnya yang malu. Wina kembali tertawa karena berhasil membuat wajah Dion bersemu merah berkali-kali sejak pagi tadi.
“Aku belum pernah ke sana padahal sudah sering dengar. Rencananya gak usah dibatalin, ya,” pinta Wina dengan wajah memelas.
“Jaraknya bagaimana? Gak terlalu jauh kan? Aku tuh suka pusing kalau bepergian lebih dari tiga jam,” imbuh Wina lagi.
Kurang lebih sama dengan jarak waktu ke sini. Kalau kita berangkat pagi-pagi sekali, kita masih punya waktu seharian di sana. Tapi aku nggak yakin kalau menggunakan motor ini. Soalnya kan mendaki tuh. Sebaiknya naik bus,” jawab Dion.
“Iya. Kita ajakin Atik dengan Hendrik sekalian biar ramai,” Wina mengemukakan idenya.
“Boleh juga. Sebenarnya aku juga ingin mengajak Andi sama Nita, supaya mereka jadi dekat, mudah-mudahan jadian,” Dion mengungkapkan rencananya.
“Lho, katanya teman sekelas nggak boleh pacaran!” seru Wina.
“Aih! Itu aturan aku secara pribadi bukan mereka. Lagipula Andi itu kan bukan teman sekelas kami,” sahut Dion.
Andi memang sudah lama menyukai Nita. Sebenarnya keakraban Andi dan Dion justru karena Andi ingin memanfaatkan Dion untuk mendekati Nita. Tapi niat itu tak pernah kesampaian karena Rudi, teman sekelas Dion lainnya, menyatakan cintanya lebih dahulu pada Nita.
“Nita dan Rudi sudah putus. Jadi aku ingin menyediakan momen buat Andi agar ia berkesempatan lagi mendekati Nita,” jelas Dion membuat Wina tersenyum geli.
“Duh, ternyata pacarku ini bisa juga jadi Mak Comblang,” ujar Wina tapi mendadak tatapannya menerawang ke kejauhan.
“Teringat masa sekolah, aku ingin cerita pada Dion, tapi jangan marah, ya?” tambahnya sambil melirik waspada.
“Lho kenapa marah? Justru aku ingin dengar cerita masa sekolahmu,” sahut Dion bersemangat.
“Sebenarnya gak ada yang istimewa. Aku juga punya pacar waktu kelas tiga SMA. Tapi lebih pada cinta monyet. Berakhir begitu saja. Ketika aku kuliah di sini, aku mendengar dia punya pacar teman sekampusnya,” ujar Wina.
Sementara Dion cuma mengangguk sambil menyunggingkan sepotong senyum.
Merasa tanggapan Dion kurang ekspresif, Wina buru-buru menambahkan, “Tapi beneran cuma cinta monyet, lho! Kami nggak pernah ngapa-ngapain kok.”
“Ah, sudah masa lalu, toh? Lagian cuma cinta monyet,” kata Dion.
Kalimat terakhir Wina tentu saja membuat Dion geli. “Ah, sudah masa lalu toh? Lagian cuma cinta monyet,” Dion kembali tersenyum.
“Tapi Dion nggak cemburu?” pancing Wina.
“Cemburu sih. Tapi gimana yah? Masak cemburu sama monyet, eh maksudku cinta monyet,” ucap Dion membuat Wina tertawa.
“Lagipula yang namanya cinta monyet itu kan terjadi pada hampir semua orang. Ketika kita memasuki aqil baligh alias puber, tentu akan ada momen kita memikirkan lawan jenis,” tambah Dion.
“Berarti Dion juga ada cinta monyetnya?” tanya Wina penuh selidik.
“Kupikir ada. Tapi gak sampai pacaran gitu,” jawab Dion.
“Ceritain!” seru Wina. Hatinya jadi sedikit panas mendengar Dion pernah naksir seorang perempuan.
“Ada kakak kelasku. Aku suka melihatnya. Jadi kadang curi-curi pandang,” papar Dion.
“Ih, Dion ini ternyata memang seleranya kakak-kakak, ya?” cibir Wina, mengingat dirinya sendiri lebih tua dua tahun dari Dion.
“Trus, gimana?” kata Wina lagi meminta agar Dion melanjutkan kisahnya.
“Gimana apanya? Gak ada apa-apa. Kami gak pacaran. Kupikir dia juga tidak tahu kalau aku suka padanya waktu itu,” jawab Dion.
“Dia cantik kah? Dion gak pernah deketin?” tanya Wina masih penasaran.
“Cantik sih. Tapi bukan itu yang bikin aku suka waktu itu. Aku tuh suka karena dia itu cerewet dan galak sekali. Aku aneh, ya?” kata Dion.
“Dia galak sama Dion?” tanya Wina lagi.
“Bulan-bulan pertama sekolah. Tapi setelah itu tidak lagi. Aneh juga kalau dipikir-pikir, dia masih galak pada semua adik kelasnya kecuali padaku. Dia sering duduk di dekatku kalau istirahat di kantin atau di depan kelas. Kami sering ngobrol juga,” papar Dion mengenang masa sekolahnya tapi justu membuat hati Wina semakin panas karena cemburu.
“Trus kamu nggak nyatakan perasaanmu? Kan sering ngobrol tuh?” Wina mulai ketus.
“Nggak lah,” jawab Dion cepat. “Selain nggak berani, aku juga nggak ada motivasi.”
Mata Wina semakin menyipit. “Kenapa nggak termotivasi?”
Dion tertawa kecil. “Karena rasanya beda.”
“Beda gimana?” Wina menuntut penjelasan.
“Benar-benar beda. Kalau cuma melihat dia, aku biasa aja. Tapi kalau lihat Wina, rasanya jantungku mau meledak. Aku selalu kepikiran kamu setiap saat. Sampai-sampai aku hampir gila. Eh, yang benar, aku tergila-gila. Aku nggak pernah merasakan itu sama kakak kelasku. Itu sebabnya, kamu adalah cinta pertamaku yang sebenarnya.”
Wina langsung terdiam, dadanya terasa hangat mendengar kata-kata Dion. Pipinya memerah, senyumnya mengembang.
“You’re my real first love too. My true love,” bisiknya lembut.
Ia lalu meraih tangan Dion, menggenggamnya erat, sebelum akhirnya merebahkan kepalanya di bahu laki-laki itu. Bersama, mereka menikmati pemandangan laut yang bergulung silih berganti di depan mereka, membiarkan angin pantai membawa perasaan bahagia yang mengalir di antara mereka berdua.
“Iyoh, aku mau ke Berastagi beramai-ramai. Pasti seru tuh. Tapi jangan Dion yang bayarin semuanya. Nanti uangmu habis, lho. Urunan saja,” tambah Wina.
“Dion…” kata Wina setelah beberapa saat. Dion hanya menyahutnya dengan bergumam.
“Kenapa aku masih cemburu?” kata Wina yang ternyata masih memikirkan Dion dan kakak kelasnya itu.
Dion lalu menurunkan kepalanya agar sejajar dengan Wina. Ia memandangi gadis itu sejenak lalu memberinya kecupan singkat.
“Aku mau pesan kopi, ya. Wina mau pesan sesuatu?” tanya Dion kemudian.
“Nggak. Tuh masih ada minuman ringan,” jawab Wina. Keduanya memang tidak begitu menyukai cemilan.
“Kalau hari sudah agak teduh, kita jalan-jalan menelusuri pantai,” kata Dion sekembalinya usai memesan kopi.
“Nanti kita ke sana, ya,” kata Wina sambil menujuk tanjung kecil di mana perahu-perahu nelayan ditambatkan.
Dion kemudian mengalihkan topik obrolannya pada daerah-daerah wisata yang ramai dikunjungi wisatawan lokal di sekitar Medan. Ia tak ingin memberi kesempatan pada Wina untuk membicarakan sikap dan penolakan ibunya soal hubungan mereka. Ia tak ingin Wina bersedih lagi.
Angin semilir menyapu wajah mereka, membawa aroma laut yang menenangkan. Suasana pantai menjelang sore begitu damai, seakan dunia melambat dan hanya ada mereka berdua di sana.
Wina menghela napas panjang, matanya terasa berat. Mungkin karena kelelahan setelah perjalanan panjang dari Jakarta, atau mungkin karena pikirannya masih kalut oleh pertengkaran di rumah. Ibunya yang menentang, Oppung yang bersikeras membelanya, bahkan papanya pun ikut terseret. Adegan itu masih terbayang jelas, terutama tangisan neneknya di pesawat, mengenang konflik yang tak seharusnya terjadi.
“Aku rebahan, ya! Rasanya ngantuk dan lelah,” ujar Wina sambil meletakkan kepalanya di pangkuan Dion.
Dion pun membiarkan gadisnya beristirahat di pangkuannya. Ia tahu Wina sedang gundah.
Dengan lembut, tangannya mengelus rambut Wina, membelai helai-helai halus itu seakan ingin menenangkan hati yang sedang gundah.
Mendapat perlakuan begitu, Wina semakin tak kuasa menahan rasa kantuknya. Ia hampir terlelap tapi tersadar ketika merasakan tangan Dion meraba-raba kancing bajunya.
Ketika memandangi Wina, Dion menyadari kalau kancing teratas kemeja Wina terbuka sehingga ia bisa melihat sebagian buah dada Wina yang putih dan penuh terbungkus bra coklat muda.
Dion yang malu kemudian memalingkan wajahnya dan coba menutupkan kancing baju Wina. Tapi karena ia menatap ke arah lain, tangannya malah secara tak sengaja menyentuh dada gadis itu membuat Wina tersadar.
Wina membuka mata dan mendapati tangan Dion mencoba menutup kancing kemejanya sementara Dion memalingkan wajah ke arah lain. Wina merasa geli oleh tindakan konyol Dion. Sifat usilnya kembali muncul.
“Hmm, kalau mau cabul bilang-bilang dong! Nggak perlu diam-diam begitu,” protes Wina.
“Eh, maaf! Kancing bajumu terbuka aku cuma mau menutup,” Dion terbata-bata takut dituduh cabul.
“Ya udah! Dion tutup mata, tak usah berpaling begitu! Biar Wina tutup sendiri,” seru Wina lirih kemudian yang dituruti oleh Dion.
“Matanya udah ditutup? Awas jangan ngintip, ya!” ancam Wina memastikan.
“Sudah kok. Cepetan!” Dion menjawab permintaan Wina.
“Sudah,” ucap Wina singkat.
Dion pun membuka kembali matanya. Tapi ia kaget setengah mati. Bukannya ditutup, Wina malah melepas kancing baju yang kedua, membuat buah dadanya semakin terekspos meskipun tidak seluruhnya.
“Dion tutup baik-baik deh! Jangan meraba-raba nggak jelas seperti tadi. Kalau ada yang lihat Dion bisa dituduh cabul,” ujar Wina usil sambil tersenyum kecil dan kembali memejamkan matanya.
Sadar kalau ia kembali diusili, Dion pun memberanikan diri menutup kancing baju Wina dengan mata terbuka. Dadanya berdebar, jakunnya naik turun menyaksikan pemandangan indah itu.
Tak ingin lupa diri, Dion buru-buru menutup kedua kancing teratas kemeja Wina.
Wina kemudian menggeser kepalanya lebih dekat pada Dion. Lalu menggeser lagi ke paha atas hingga nyaris menempel ke perut pemuda itu. Dion hanya bisa menghela napas panjang. Gelisah dan sedikit menggeser posisi badannya.
“Dion kenapa? Jangan goyang-goyang dong! Jadi gak nyaman nih,” Wina protes karena merasa tidurnya terganggu.
“Gak apa-apa hanya sedikit pegal,” Dion mencari alasan. Wina yang belum berhenti usil kembali tertawa lirih.
“Cooling down-nya sambil begini saja. Gak usah goyang-goyang!” katanya dengan mata masih terpejam.
Dion sadar usahanya untuk menyembunyikan reaksi tubuh karena hasrat itu gagal. Wina sudah mengetahuinya. Akhirnya ia hanya diam dan coba menjernihkan pikirannya.
Wina kemudian menggerak-gerakkan tangannya di kepala memberi isyarat agar Dion mengelus rambutnya seperti tadi. Mengerti keinginan Wina, Dion pun mengelus rambut kekasihnya yang suka usil itu.
Setelah beberapa saat, Dion menyentuh alis Wina menggunakan ujung jarinya dengan lembut berulang-ulang mengikuti lengkungannya yang indah.
Sentuhan itu lalu pindah ke kelopak mata dan pangkal hidung gadis itu dan akhirnya ujung hidung.
Sesampainya di ujung, Dion menekan hidung Wina dengan perlahan dan berkata, “Gadisku nakal!”
Dion masih sempat melihat senyum tersungging di bibir Wina pertanda ia belum sepenuhnya tertidur.
Dengan suara setengah berbisik, Dion lalu berkata, “Wynna Pingkan Arina, jangan berpikir terlalu jauh. Aku bersamamu dan kita akan hadapi ini berdua. Aku berjanji tak akan pernah meninggalkanmu!”
Air mata tipis menggenang di sudut mata Wina. Ia menggenggam tangan Dion, lalu meletakkannya di pipinya yang hangat. Dion membiarkan Wina merasakan ketenangan, hingga akhirnya napas gadis itu melambat, benar-benar terlelap di pangkuannya.
Dion menatap langit biru, membiarkan suara debur ombak menjadi saksi janji yang baru saja ia ucapkan.