Sejak kecil, Anul hanya dikenal sebagai anak yatim piatu tanpa asal-usul yang hidup di sebuah desa kecil. Tubuhnya tak pernah terluka meski dihajar, senyumnya tetap hangat meski dirundung.
Namun, siapa sangka di balik kesederhanaannya tersimpan rahasia besar?
Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah manusia biasa. Takdir telah menuliskan namanya sebagai pewaris kekuatan yang mampu mengguncang langit dan bumi.
Dari anak yang diremehkan, Anul akan melangkah menuju jalan bela diri, mengalahkan musuh-musuh kuat, hingga akhirnya menaklukkan Sepuluh Ribu Semesta.
Perjalanan seorang yatim piatu menuju takdir yang tak bisa dihindari pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Employee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cincin Warisan Bagjo
Langkah Anul yang ringan menapaki jalan desa secara perlahan. Disepanjang jalan, Ia beberapa kali berpapasan dengan beberapa warga desa dan menyapa mereka. Bagi warga, desa terutama generasi seumurannya, ia adalah pendekar terhebat sepanjang masa.
Semua pemuda akan menjadikan dirinya sebagai contoh dan model utama dalam menyusuri jalan beladiri.
Sedangkan bagi para gadis, Anul sudah menjadi standar umum kriteria pria yang akan menikahi mereka—ini akan membuat para pemuda kesulitan mendapatkan istri di masa depan.
Arum yang sering mendengar para gadis memperbincangkan dan memuji-muji Anul, akan langsung memarahi para gadis itu dengan alasan hati mereka tidak boleh terganggu saat menapaki jalan beladiri—mereka harus fokus. Tentu saja itu hanyalah akal-akalan Arum untuk menekan jumlah saingan cintanya.
Biro yang mulai berlatih bersama Anul, ikut tinggal di kediamannya.
Sebelum pergi pagi ini, ia sudah memberikan daftar latihan penuh bagi Biro untuk hari ini : Sarapan - tidur - makan siang - tidur - makan malam - tidur.
Berdasarkan teori miliknya saat ini, alasan kenapa perkembangan kekuatan beladiri Biro tertinggal jauh dari yang lain, disebabkan karena kurangnya waktu tidur yang Biro miliki.
Semua tugas yang di berikan oleh Ayahnya menyebabkan Biro hanya mempunyai waktu tidur selama enam jam dalam sehari.
Untuk orang biasa mungkin itu adalah jumlah yang cukup, tapi tidak untuk Biro yang mempunyai tubuh bawaan khusus.
Tak terasa Anul kini sampai di halaman rumah Pak Ghandi, sang kepala desa sebelumnya. Di teras rumahnya itu, Pak Gandhi duduk seolah sedang menantikan seseorang. Tepat saat Ia melihat Anul memasuki halaman rumahnya, Ia pun berdiri dan tersenyum. Anul kemudian menyapa Pak Ghandi dan mereka berdua masuk kedalam rumah.
"Kau ingin melihat cincin warisan itu kan?"
Pak Ghandi seolah sudah tahu apa yang ingin dilakukan Anul.
"Ya, bisakah kita pergi untuk melihatnya?" jawab Anul tanpa basa-basi.
"Kalau begitu ayo kita berangkat sekarang."
...****************...
Dengan fisik dan kekuatan beladiri mereka berdua, mendaki sebuah gunung bukanlah hal yang sulit. Hanya dalam waktu kurang dari satu jam, mereka sudah sampai di puncak gunung pertama : Gunung Kehampaan Sejati.
Sesuai namanya, digunung ini tidak ada satupun makhluk hidup. Jangankan binatang buas dan pepohonan, rumput pun tidak tumbuh.
Dipuncak gunung itu semua tampak normal. Batu-batu besar dan kerikil mendominasi pemandangan di atas puncak gunung ini.
Pak Ghandi yang sudah familiar dengan puncak gunung ini berjalan menuju sebuah batu besar di tengah puncak, Anul mengikuti tepat dibelakang Pak Ghandi.
Setelah mereka berdua sampai, Pak Ghandi lalu mengeluarkan sebuah ranting kecil berbentuk huruf "Y" yang terlihat berumur sangat tua. Ranting itu tampak rapuh dan kuat secara bersamaan, aura kunonya sangat jelas terasa walaupun tanpa menggunakan persepsi jiwa.
Setelah mencari sesuatu selama beberapa saat, Pak Ghandi menancapkan ujung ranting itu ke sebuah lubang yang jika tidak mengetahui fungsinya maka orang yang melihatnya akan mengacuhkannya—sama sekali tidak ada yang istimewa dari lubang itu.
Sesaat setelah Pak Gandhi menusukan ranting kecil tadi ke lubang, tiba-tiba batu besar yang ada tepat didepan mereka terbelah. Dari celah yang muncul saat batu itu terbelah, terlihat dengan samar sebuah tangga yang gelap tepat di bawah batu besar itu.
Dengan terpaan cahaya matahari, lorong dimana tangga itu berada menjadi cukup terang. Pak Ghandi lalu menuruni anak tangga itu, di ikuti oleh Anul.
Di ujung anak tangga itu hanya ada sebuah ruangan kecil yang cukup untuk menampung enam sampai sepuluh orang.
Ruangan itu lembab, cahaya matahari yang hanya bisa mencapai sedikit bagiannya membuat pencahayaan di sana menjadi agak remang-remang.
Di tengah, terdapat sebuah meja setinggi pinggang berbentuk persegi dengan lebar setiap sisinya hanyalah sejengkal orang dewasa. Badan meja itu seutuhnya terbuat dari batu hitam yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran kuno yang terlihat elegan.
Tepat ditengah meja itu, bersemayam sebuah cincin yang entah terbuat dari apa—pencahayaan yang redup menyebabkan mustahil untuk menilainya dari jauh.
Pak Ghandi dan Anul mendekati cincin itu secara perlahan. Tanpa ada perlakuan khusus, Pak Ghandi langsung mengambil cincin itu dan langsung menyerahkannya kepada Anul.
Anul menerimanya dan langsung memperhatikan cincin itu secara seksama.
Benar saja, tidak ada sedikitpun keanehan dari cincin itu. Itu hanyalah cincin yang terbuat dari batu kristal biasa tanpa ada ukiran ataupun hiasan-hiasan lainnya. Hanya ada beberapa goresan kecil yang mungkin muncul karena tergores sesuatu saat cincin digunakan.
"Liatkan, tidak ada yang istimewa dari cincin ini. Kecuali bahan pembuatannya yang merupakan kristal kaca pelangi yang indah dan ketahanannya yang sangat kuat." Pak Ghandi mencari pengajuan atas pendapatnya.
Anul hanya mengangguk kecil sambil terus memperhatikan cincin di tangannya. Perlahan ia berjalan ke arah tangga tempat Ia masuk bersama pak Ghandi tadi.
Cincin itu lalu diletakkan tepat di bawah cahaya mentari. Dengan terpaan cahaya itu, kilau warna-warni terpantul dengan sangat indah. Melihat hal itu, Anul justru merasa sedikit aneh.
Kristal kaca pelangi memang terkenal akan keindahannya, hanya saja kristal itu tidak terlalu kuat. Setidaknya kristal itu sedikit lebih rapuh daripada sebuah berlian.
Karena penasaran, Anul meletakkan cincin itu di salah satu anak tangga lalu menghantam dengan tinjunya.
Dummm..
Suara dentuman kecil terdengar saat tinju Anul menghantam cincin itu. Sebagian badan cincin itu terbenam kedalam anak tangga batu dengan beberapa retakan halus yang muncul disekitarnya, namun cincin itu tetap utuh.
Dengan kekuatannya yang barusan, seharusnya ia bisa menghancurkan sebuah berlian dengan mudah. Tapi kekuatan itu sama sekali tidak bisa meninggalkan—bahkan goresan yang sangat kecil pada cincin itu.
"Aneh.. Sungguh aneh..." gumamnya.
Yang paling mencolok dari cincin itu adalah keberadaan goresan halus yang hampir tidak terlihat jika tidak diperhatikan dengan teliti.
Goresan tanpa pola itu benar-benar seperti goresan yang tidak sengaja terbentuk karena pemakaian!!
"Apa yang dilakukan oleh pemakai cincin pada zaman dahulu sampai bisa meninggalkan goresan halus pada cincin yang sangat keras ini?" pikirnya dalam hati.
Buntu dengan pemikirannya, Anul kembali mengambil cincin yang setengah terbenam di anak tangga itu.
Melihat Anul yang tenggelam dalam pikirannya sendiri, Pak Ghandi hanya bisa mengamati dengan seksama setiap apa yang dilakukan Anul.
"Pak Ghandi, bolehkah aku membawa cincin ini pergi dari sini?"
Tanya Anul mendadak setelah beberapa saat terdiam.
"Tentu saja, tidak ada gunanya juga menyimpan benda ini selamanya disini. Akan lebih baik jika kau membawanya."
Pak Ghandi tersenyum riang seolah beban berat akan segera hilang darinya jika Anul membawa cincin itu.
Setelah Anul menyimpan cincin itu di kantongnya, ia dan Pak Ghandi lalu keluar dari ruangan itu dan menutup kembali jalan masuknya.
Batu itu kembali bergerak perlahan dan kemudian menyatu dengan sempurna tanpa menunjukan tanda pernah terbelah sebelumnya.
"Jika tempat penyimpanannya hanya seperti ini, bagaimana mungkin tidak ada seorangpun yang secara tidak sengaja menemukan tempat ini selama ratusan tahun?" tanya Anul penasaran.
Mendadak Pak Ghandi meninju batu itu dengan seluruh kekuatannya.
Bummmmmm....
Suara dentuman terdengar, namun batu itu tetap baik-baik saja. Bahkan tidak bergerak sedikitpun. Pak Ghandi lalu mengulangi gerakannya ke beberapa batu yang ada dipuncak itu. Semuanya sama, tidak hancur atau tergeser.
Setelah memastikannya, Anul hanya tersenyum kecil karena sedikit malu.
Setelah beristirahat sejenak, Pak Ghandi dan Anul langsung bergerak ke arah dua puncak gunung lainnya : Gunung Surga Herbal dan Gunung Pusat Badai.