Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.
Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.
Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 - MICHIKKO - Bagian Pertama
Sudah berulang kali kucoba memejamkan mata ini. Tapi, tidak berhasil, padahal rasa kantuk sudah menyerangku sejak pukul 19:30 tadi. Baru saja kudengar, jam dinding di kamarku berbunyi 12 kali, sudah lewat tengah malam, tapi, masih tidak bisa memejamkan mata. Aku gelisah. Mendadak saja, aku sudah berada di tempat lain. Sebuah tempat yang asing, di kanan-kiriku berdiri pohon cemara, angin berhembus perlahan menggoyang dedaunan, menggesek ranting. Sayup-sayup telinga ini mendengar deburan bunyi ombak di kejauhan. Sebuah tempat asing yang sangat kuidam-idamkan seumur hidupku.
Akan tetapi, semuanya berubah dalam hitungan detik. Semua pohon cemara yang hijau mendadak mengering dan menghitam demikian pula rumput-rumput yang tumbuh di sekitarku. Semuanya mengering dan digantikan oleh rekahan tanah bagaikan terbakar panas di musim kemarau. Bunyi ombak itu tak kudengar lagi, ‘Hei, dimana ini ? Sejak kapan aku berada di tempat ini ?” tanyaku seorang diri. Aku berjalan menyusuri jalanan gersang dan tandus itu. Langkahku terhenti saat dihadapanku berdiri 2 buah pohon beringin yang bentuknya aneh lagi mengerikan. Akar-akarnya tumbuh tak beraturan, sebagian menyeruak di permukaan tanah, sebagian melingkar pada badan pohon dan menggantung di tengah udara.
Lumut-lumut yang menutupi hampir semua badan pohon, menebarkan aroma aneh saat angin dingin berhembus perlahan. Yah, pohon beringin itu mungkin sudah tumbuh disana sebelum aku lahir.
Di ujung sana, sebuah rumah Belanda yang usianya pun sudah tua sekali dan tak terawat. Mataku menyapu ke sekeliling, mendadak saja bulu kuduk ini berdiri, manakala angin dingin kembali berhembus dan tatapanku terhenti pada sesosok tubuh seorang gadis remaja berdiri di depan pintu gerbang rumah tersebut. Usia gadis itu 18 tahun setara denganku, dia menggendong sebuah boneka, kulitnya kuning tapi pucat, rambutnya hitam-panjang lagi kusut dibiarkan tergerai menutupi sebagian wajahnya yang tertunduk.
Aku juga penggemar boneka, tapi,sekalipun boneka wanita berambut pirang dan dikepang dua yang berada dalam pelukan gadis itu sekilas terlihat lucu, tapi, tak ingin aku memilikinya ... boneka itu bagiku terlihat cukup mengerikan aku merasa ada sebuah kekuatan mistis tak kasat mata tersimpan di dalamnya. Mendadak gadis itu menengadah, aku bisa melihat dari sela-sela rambutnya yang tergerai panjang itu seakan bercahaya. Ia mengangkat jari telunjuk kanannya ke arah masker yang senantiasa menutupi hidung dan mulutku ini, “LEPAS, MASKER ITU DAN LIHATLAH APA YANG TERJADI,” pintanya dengan suara berat. Aku heran, kugelengkan kepalaku. Aku menolak permintaannya, karena tahu, apabila kulepas masker penutup hidung dan mulutku ini ... aku akan tersiksa.
Karena permintaannya kutolak, mendadak saja ia menggeram. Mendadak saja jari-jemarinya bergerak hendak menyambar maskerku ini. Aku mengelak, berlari menjauh, gadis itu mengejarku. Tapi, sepertinya akar-akar yang tumbuh tak beraturan itu menghalangi langkah-langkahku hingga akhirnya kakiku tersangkut dan tubuhku jatuh terbanting. Teriakan mengerikan semakin lama semakin dekat, gadis itu sudah berada tepat di wajahku. Dapat kulihat seberkas cahaya liar dan mengerikan terpancar dari matanya. Teriakannya parau, membuatku harus menutupi kedua telingaku. “Tidak !! jangan, takkan kubiarkan kau melepas maskerku ini. Jangan !!” teriakku sambil menahan agar masker yang menutupi wajahku tidak terlepas. Tapi...
_____
Aku terbangun, keringat dingin bercucuran membasahi sekujur tubuhku, nafasku tersengal-sengal. Mimpi itu lagi. Kejadian itu seperti nyata, tak bisa kulupa teriakan penuh kemurkaan yang terlontar dari mulut gadis itu.
Mengapa dia selalu saja hadir dan mengapa pula mimpi itu datang terus-menerus padahal setahuku, tak pernah aku memikirkannya, sama sekali TIDAK PERNAH. Membuatku sulit untuk memejamkan mata walau subuh masih tinggal 3 jam lagi. Baru saja aku hendak merebahkan tubuhku setelah berusaha keras menenangkan diri, kudengar pintu kamar diketuk. “Arimbi,” dari sela-sela ketukan pintu terdengar suara seorang wanita memanggilku, “Tak tahukah kau bahwa ini sudah lewat tengah malam. Suara teriakanmu itu mengganggu penghuni kos yang lain. Sekali lagi kau berteriak-teriak seperti orang gila ... aku tak segan-segan mengeluarkanmu dari tempat ini ! Tak peduli kau anak orang kaya dan ternama, yang jelas kau sudah mengganggu ketenangan,” sambungnya.
“Maafkan saya, Bu Ratna. Takkan terulang lagi,”sahutku.
ARIMBI. Demikianlah namaku, sekalipun berasal dari keluarga kaya dan terkenal, namun, tak ada gunanya bagiku. Sebab, mereka ... keluargaku tak mau mengakuiku sebagai salah satu keluarganya karena dianggap aneh. Hanya ibu satu-satunya orang yang peduli padaku. Aku masih ingat, bagaimana perlakuan orang-orang sekitar terhadapku. Tapi, mengapa aku harus peduli... sekalipun aneh, aku hanya bisa mengingat nasihat ibuku sebelum ia wafat.
“ARIMBI ... KAU ADALAH ANAK ISTIMEWA. JANGAN SEKALI-KALI KAU MELEPAS MASKERMU APABILA TAK INGIN MELIHAT PENDERITAAN YANG ADA DI SEKITARMU,”
Dan aku mematuhinya, aku takkan melepas masker ini jika tidak terpaksa.
Pertemuanku dengan Cindy Permatasari, sewaktu masih duduk di bangku SMA, membuat hidupku berubah. Dan, aku menemukan keluarga baru yang lebih menyenangkan. Aku masih ingat, waktu itu aku melihat 2 orang gadis cantik duduk di bawah pohon kamboja yang tumbuh di sudut sekolah SMA Keteng 2 – Banyuwangi. Begitu asyiknya mereka berbicara dan itu membuatku tertarik untuk bergabung dengan mereka.
“Kalau tidak salah, kaukah yang bernama Arimbi ?” tanya salah seorang dari mereka.
Aku terkejut. Saat hendak bertanya, kuurungkan niatku, di sekolah ini tak ada lagi gadis yang mengenakan masker sepertiku. Wajar saja namaku dikenal banyak siswa SMA Keteng 2 – Banyuwangi ini.
Kutundukkan wajahku dan hendak berjalan menjauh, tapi, gadis centil yang ada di sebelah si penanya mencegahku, “Bergabunglah bersama Cindy dan Maribeth, Kak... Kami tahu hanya sedikit orang yang mengerti keadaan kakak. Dan, kami adalah sebagian dari orang-orang itu, kak,”
Perkataan gadis centil itu membuat perasaanku tenang, kuurungkan niatku untuk meninggalkan mereka dan segera duduk tak jauh dari mereka. Baru saja aku duduk, gadis centil itu kembali berkata, “Kak, mereka tak perlu dihindari atau ditakuti. Karena, mereka ingin keberadaannya diakui, sebagian dari mereka minta diperhatikan karena mereka sudah lama menderita,”
Aku terpana, “Mereka ? Siapa yang kau maksud ?” tanyaku.
“Kak, wanita yang berdiri di belakangmu itulah yang menceritakan semuanya pada kami ? Apakah dia ibu kakak ?”
Aku menoleh ke belakang, tak ada siapapun, memang, aku merasakan adanya hawa aneh di punggungku, “Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan,” aku sengaja berbohong, tapi, tampaknya mereka tak bisa ditipu. Aku menghela nafas panjang, saat itulah aku bersikap terbuka pada mereka, dan mereka bisa menerimanya. Mereka bernama Cindy Permatasari dan Maribeth, mungkin hanya merekalah yang bisa mengerti keadaanku. Dan, di saat-saat seperti ini, aku membutuhkan kehadiran mereka berdua juga teman-teman mereka yang TAK KASAT MATA.
Kuraih ponsel yang berada di meja dekat tempat tidurku, jari-jemari bergerak menekan tombol angka-angka pada keypad. Setelah menunggu agak lama, kudengar suara lembut si centil Cindy Permatasari di seberang sana, “Halo, kak Arimbi sudah lama Cindy tak mendengar suara kakak. Bagaimana kabar kakak ?”
Hatiku girang sekali. Memang sudah lama aku tak menghubungi cewek centil dan berkemampuan istimewa itu, kamipun terlibat dalam pembicaraan agak lama dan berakhir dengan sebuah janji. “ 2 hari lagi Cindy dan Maribeth akan datang ke tempat kost kakak, sampai jumpa, kak. Sehat selalu,” Telepon kututup, aku meraih pensil dan Sketch Book yang tersimpan di laci, dalam waktu yang tak lama, di permukaan kertas yang semula putih mulus itu sudah penuh dengan guratan-guratan gambar wanita yang tadi hadir dalam mimpiku. Gambar itu serasa hidup, masih terbayang bagaimana teriakannya, jari-jemarinya yang menyentuh permukaan kulit leherku. Kututup buku tersebut dan kembali merebahkan diri ke pembaringan. Kuharap, mimpi itu tidak datang lagi hingga 2 hari ke depan, sampai Cindy Permatasari dan Maribeth datang.
_____
Dua hari yang kunanti-nantikan, tibalah. Menurut Cindy, dia dan Maribeth akan datang pukul 12:30 WIB. Biasanya, aku pulang kerja sekitar pukul 16:00 WIB kadang lebih sore lagi. Aku adalah direktur utama di sebuah kantor pemasaran yang kukelola sendiri.
Sekalipun aku yang memegang pimpinan perusahaan, namun, harus memberi contoh pada para pegawaiku untuk disiplin dalam bekerja. Tapi, karena hari ini adalah hari spesial, maka, aku memutuskan untuk memulangkan semua karyawanku lebih awal dan libur selama satu minggu. Toh, sekalipun kantor tutup, uang tetap saja masuk. Bisnis online yang tengah berkembang saat ini, mempermudah siapapun yang berkecimpung di dalamnya mendapatkan penghasilan sekalipun tidur. Yah, aku lebih menyukai bisnis online seperti itu daripada harus bekerja ikut orang.
Aku keluar dari ruang kerjaku saat jam menunjukkan pk. 11:00. Semua pegawaiku tampaknya sudah pulang dan hanya ada Rizky seorang. Office Boy itu tengah mengepel lantai. Kemunculanku membuat pekerjaannya terhenti hanya untuk menyapa ramah, “Baru pulang, bu ?” tanyanya sambil tersenyum. Aku menganggukkan kepala sebagai balasan sapaannya, “Ya, jika pekerjaanmu selesai, pulang dan beristirahatlah, sampai ketemu minggu depan,” Rizky tersenyum, “Baik, bu... hati-hati di jalan,”
Aku mengangguk, sebelum pergi aku memberinya beberapa lembar uang senilai 50 ribuan, dia pemuda berusia 25 tahunan itu menerimanya sambil tak berhenti mengucapkan terima kasih.
Aku berjalan menelusuri lorong menuju pintu keluar, tapi, mendadak sebuah bayangan berkelebat lalu menghilang di tikungan jalan. Toilet. Yah, bayangan itu berlari ke arah toilet. Kualihkan pandanganku ke arah Rizky, “Riz ... apa masih ada teman-teman yang belum pulang ?” panggilku. Pemuda itu menghentikan kegiatannya lalu berjalan menghampiriku, “Maaf , bu... setahu saya mereka sudah pada pulang. Ada apa, bu ?” tanyanya.
“Aku melihat sebuah bayangan berlari ke arah toilet, tolong temani aku untuk melihat siapa pemilik bayangan itu,” ajakku sambil melangkah ke arah toilet depan.
“Ibu tunggu saja disini, biar saya yang pergi memeriksanya,” kata Rizky yang kemudian melangkah mendekati toilet. Setelah menunggu agak lama, tubuh jangkung pemuda itu muncul dan berjalan ke arahku, “Tidak ada siapa-siapa, bu,” katanya.
Aku termenung, apa aku salah lihat ? padahal aku melihat dengan jelas bayangan itu masuk ke toilet wanita, apakah aku berhalusinasi di siang-siang bolong begini ? tanyaku seorang diri, “Ah, sudahlah ... sebelum kau pulang hendaknya diperiksa sekali lagi, ya,” pintaku sambil melangkah meninggalkan tempat itu.
Dari ruang kerjaku, aku berbelok kiri 2 kali dan kanan 3 kali, tibalah aku di pintu Lift, baru saja aku masuk pintu lift, di hadapanku yang jaraknya lebih kurang 2 meter, tampak seorang gadis berambut hitam, panjang, kusut dan tergerai, berdiri sambil memeluk sebuah boneka. Mataku terbelalak lebar, perawakan wanita itu sama seperti wanita yang muncul dalam mimpi-mimpiku. Kedua lututku seperti tak bertenaga, aku bisa merasakan betapa pucatnya wajahku, saat ia berlari mendekatiku. “Tidak mungkin !” seruku sambil buru-buru menutup pintu lift dan menekan tombol ke lantai atas, area parkir.
Aku kesal mengapa disaat-saat seperti ini pintu lift sepertinya bergerak perlahan sekali, berulang kali aku menekan tombol sementara tubuh wanita itu bergerak semakin lama semakin dekat. Ia menjulurkan cakarnya, jarak antara cakar itu dengan pintu lift tinggal beberapa inchi lagi sebelum akhirnya benar-benar tertutup. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, nafasku tersengal-sengal, keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Ini tidak masuk akal, bagaimana mimpi bisa jadi kenyataan. Cindy ... Maribeth... cepatlah datang dan tolong aku... desahku.
Begitu tiba di tempat parkir, aku berlari ke arah mobilku dan aku baru merasa tenang saat sudah berada di dalam mobil. Kuatur pernapasan, kucoba menenangkan diri sebelum akhirnya kunyalakan mesin dan berlalu dari tempat itu. Tapi, baru saja berhasil menenangkan diri, lagi-lagi aku dikejutkan dengan munculnya wanita itu di tengah jalan yang akan dilewati mobilku. Dia berdiri dan mengacungkan telunjuk kanannya lurus-lurus ke wajahku, aku tidak peduli, aku harus keluar dari tempat celaka ini, pedal gas kupijak keras-keras, mobil meluncur dengan kecepatan tinggi. Aku sengaja hendak menabrakkan mobilku ke arahnya, dan... aku tak merasakan apa-apa, bayangan wanita itu hilang sementara mobilku masih terus meluncur meninggalkan kantor IMAGINARY WORLD BUILDING. Dan, aku menarik nafas lega karena tak ada kejadian apa-apa setelah meninggalkan gedung itu.
_____
Cindy dan Maribeth duduk di beranda rumah. Aku merasa gembira sekali dengan kedatangan mereka. Aku memang sengaja tidak menyuruh mereka untuk datang ke tempat dimana aku kost, melainkan langsung ke rumahku yang jaraknya cukup jauh dari kantor. Kelihatannya konyol, aku yang punya rumah pribadi harus tidur di kost-kostan ... tapi, aku punya alasan sendiri. Kota Malang yang sekarang, bagaikan kota metropolitan, selain jumlah pendatang lebih banyak, dimana-mana selalu terjebak macet. Maka dari itu, aku meminta Cindy dan Maribeth untuk langsung datang ke rumah, yang jaraknya dengan pusat kota agak jauh. Begitu aku menyodorkan Skeetch Book yang kubawa dari tempat kost-ku, mereka langsung tertarik dengan lukisanku.
Mereka tak berhenti membolak-balik tiap halamannya, “Jadi, gadis ini yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi kakak, juga mengikuti kemana pun kakak pergi ?” tanya Cindy. Aku mengangguk perlahan, “Jujur. Aku sama sekali tak mengenalnya, dia hadir begitu saja. Dan kalau kulihat dia bukannya orang pribumi asli,” kataku. Dahi Maribeth berkerut, “Perkataanmu benar, kak... pakaian yang dikenakan merupakan ciri khas pelajar SMA dari Negeri Matahari Terbit / Jepang. Aku pernah melihatnya di internet juga pada film-film Jepang,” katanya, “Apakah dia tak mengatakan apa-apa saat bertemu denganmu, kak ?”
Aku termenung, mencoba mengingat-ingat sesuatu, “Yah, aku ingat... dia pernah mengatakan ... ‘LEPAS MASKER ITU DAN LIHATLAH APA YANG TERJADI’. Setiap kali dia muncul, telunjuknya mengarah ke masker yang kugunakan ini. Dia memaksa,” jelasku.
“Akhirnya, kalian datang juga,” mendadak Cindy berdiri dan melangkah ke arah pintu gerbang. Aku heran dengan tingkah lakunya, sebab, disana tidak ada siapa-siapa, “Dengan siapa Cindy berbicara, Maribeth ?” tanyaku.
Maribeth tersenyum, sepasang matanya yang semula menatap ke arah pintu gerbang beralih kepadaku, “Apakah kakak sudah lupa ? Cindy memiliki sahabat-sahabat hantu ? Mereka juga datang menemani Cindy. Timmy, Tobby, Intan dan Jen-Shen datang, tapi, Febiola dan Estefanny tidak kulihat,” jelasnya. Mendengar penjelasan Maribeth ini, kembali mengingatkanku ke masa-masa dimana masih duduk di bangku SMA. Yah, Cindy memang memiliki sahabat-sahabat hantu yang unik dan lucu, semula aku tak percaya.
Tapi, setelah kubuka maskerku barulah aku bisa melihat bagaimana wujud mereka juga asal-usul dan latar belakangnya. Mereka sudah berjalan melintasi ruang dan waktu, mereka begitu setia menemani Cindy hingga saat ini, dan Maribeth juga memiliki kisah unik tentang Hantu Bangku Kosong Lab Bahasa SMP Negeri Keteng 1 – Banyuwangi, Rita juga yang lain. Semua kisah mereka membuatku berdecak kagum dan terus terang, aku iri dengan mereka. Yah, mungkin saatnya aku harus membuka diri dengan dimensi lain yang perbedaannya hanya setipis kertas dengan dunia nyata. Tapi ... haruskah aku melanggar nasihat almarhum ibu.
“Kak Rimbi,” panggilan Cindy membuyarkan lamunanku, buru-buru aku mengalihkan pandanganku ke arahnya, “Lihatlah, sahabat-sahabatku juga datang menemani Cindy,” sambungnya seraya menghampiriku.
Aku hanya bisa tersenyum, sementara sepasang mata ini mengamati gerak-gerik Cindy yang tengah mengeluarkan wortel dan memberikannya pada udara kosong di sebelah kanannya. Dalam hitungan tak sampai satu detik, bagian bongkol wortel tersebut perlahan-lahan seperti digigit kelinci.
“Timmy sejak datang berisik, jadi Cindy memberi wortel kesukaannya untuk menutup mulutnya yang tak bisa diam,” ujar Cindy.
Mau tak mau, aku tertawa juga mendengar pernyataan Cindy. Benar-benar sebuah persahabatan yang unik antara manusia dengan makhluk tak kasat mata. Seandainya tanpa masker yang menutupi wajahku ini, aku bisa melihat teman-teman gadis centil itu. Yah, aku masih ingat dengan wajah-wajah mereka dulu.
“Lalu, bagaimana menurut kak Rimbi ?” tanya Maribeth.
“Wanita yang digambar oleh Arimbi, sekarang berdiri di kerumunan semak belukar itu,” mendadak Cindy menyahut. Perkataan Cindy ini mengejutkanku, aku melompat dari tempat dudukku dan buru-buru mengalihkan pandanganku ke arah yang ditunjuknya. Yah, meski aku masih mengenakan masker, aku bisa melihat seorang gadis berbaju coklat berdiri di antara semak-belukar yang tumbuh di luar pintu gerbang rumahku. Rambutnya hitam, panjang kusut dibiarkan tergerai menutupi sebagian wajahnya. Ia memeluk sebuah boneka yang mengerikan, “Astaga, sejak kapan dia ada disitu ?” seruku tertahan.
Tampaknya Cindy dan Maribeth dapat melihat ketakutanku lewat sorot mata juga gerak tubuhku. Tanpa menoleh ke arahku mereka berjalan menghampiri gadis itu, yah... kedatangan mereka membuat gadis itu mundur beberapa tindak, aku memberanikan diri untuk menyusulnya.
“Siapa kau ? Mengapa kau selalu menghantui Kak Arimbi, apakah dia pernah berbuat jahat padamu ?” tanya Cindy. Gadis itu tak menjawab, diam membisu. “Katakanlah atau kami akan mengusirmu dengan paksa,” sambung Maribeth.
Dia terdiam bagaikan patung. Tetapi, saat aku mendekat dia menyentakkan kepalanya ke samping kiri dua sampai tiga kali bahkan empat kali sementara perlahan-lahan telunjuk kanannya menuding lurus-lurus ke masker yang kukenakan. “LEPASKAN MASKER ITU, LIHATLAH APA YANG TERJADI PADAKU” katanya dengan suara berat, setelah itu perlahan-lahan tubuhnya lenyap tanpa bekas.
‘Dua kali sudah dia memaksaku melepas masker ini ? Ada apa sebenarnya ?’ tanyaku dalam hati, sementara Cindy dan Maribeth hanya memandangiku heran, aku jadi salah tingkah, tak tahu apa yang harus kukatakan.
_____
Tubuhku serasa ringan sekali, ringan seperti tak ada aliran darah ataupun daging. Aku melihat diriku tengah terbaring pulas di balik selimut tebal bersama Cindy dan Maribeth.
Aku juga melihat 3 sosok anak kecil tengah bercengkrama di beranda rumah. Angin yang membawa kabut tipis dari lereng-lereng gunung dan perbukitan menghantarkanku terbang menembus awan. Kejadian itu begitu cepat sekali, hingga akhirnya aku tiba di sebuah tanah gersang dan tandus. Aku melihat seorang wanita duduk di sebuah akar pohon beringin, dari pakaian yang dikenakan, kuning dengan hiasan renda bunga mawar juga sanggulan rambutnya, aku segera mengenalnya.
“I... Ibu,” sapaku dengan suara gemetar.
Wanita itu menoleh, cantik sekali, kulitnya kuning langsat dan sorot matanya yang tajam namun, penuh kasih sayang. Ia tersenyum, “Arimbi. Bagaimana kabarmu, nak ?” tanyanya. Aku berlari, tak peduli derai air mata membasahi pipi, aku menubruk dan memeluknya erat-erat.
“Jangan seperti anak kecil, Arimbi... kau sudah berumur 23 tahun. Ibu tahu apa yang sedang kaupikirkan, nak,” kata wanita itu.
Kubenamkan kepalaku ke pelukan ibuku lebih dalam, “Rimbi tidak tahu harus berbuat apa, bu... gadis aneh itu selalu menggangguku,”
“Dengar anakku... sudah saatnya kau memberanikan diri untuk menghadapi hal-hal yang memang tak seharusnya kita tahu atau menakutkan. DUNIA LAIN. Kau tahu, apa yang ibu alami saat menyadari bahwa DUNIA LAIN harus dilihat sepanjang hari bahkan seumur hidup ibu dan akhirnya menurun kepadamu ?”
Aku menggelengkan kepala, “Tidak tahu, bu ?”
“Ibu terpukul. Semula ibu anggap itu adalah kutukan, tapi, setelah sekian lama menjalani ... baru sadar bahwa, itu adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa untuk keluarga kita. Anakku, kau tahu apa yang harus kau lakukan. Gadis itu butuh bantuanmu, itulah sebabnya dia datang kepadamu. Bantulah dia, ibu yakin ... bantuanmu itu meringankan derita yang dialaminya,”
“Dari kata-kata ibu tadi ... sepertinya ibu mengenal siapa gadis itu ?” tanyaku heran.
“Tidak. Itu tugasmu untuk mengungkap identitasnya dan apa yang dibutuhkannya. Buanglah rasa takutmu itu. Sebab, itu kelak akan menjadi bumerang yang mungkin bisa membuatmu celaka. Kau tidak sendirian, ada mereka yang akan membantumu, juga ibumu ini. Nah, ingatlah kata-kata ibu ini baik-baik,” katanya lalu tubuhnya bergerak semakin lama semakin jauh.
“Tunggu, bu ... jangan tinggalkan Rimbi. Ijinkanlah aku ikut, bu,” teriakku. Tapi, teriakanku seakan tak didengar bahkan hilang begitu saja seiring dengan menghilangnya tubuh ibuku. Aku berlari, niatku untuk mengejar kemana tubuh ibu pergi. Tapi, ibu sudah pergi entah kemana. Langkahku terhenti saat di hadapanku berdiri seorang gadis berbaju coklat dan memeluk sebuah boneka. Gadis itu lagi ... seruku dalam hati.
Gadis itu menyentakkan kepalanya ke kiri beberapa kali, dia tampak lebih mengerikan daripada pertama kali yang kulihat dan boneka itu ... sepasang matanya seperti hidup. Menatapku dengan tajam sementara si pemiliknya bagaikan sebuah patung. Aku terkejut untuk kesekian kalinya manakala melihat dari dalam tanah muncul beberapa sosok gadis yang memiliki perawakan sama dengan gadis di hadapanku. Mereka berdiri mengelilingiku, “Kalian, mau apa kalian ?” tanyaku.
Sosok-sosok itu berjalan mendekat sambil menjulurkan tangan kanannya. “Kalian !! Pergi kalian jangan ganggu aku !! Cepat pergi !!” seruku sekeras mungkin berharap ibu datang membantu. Tapi, tak ada siapapun disana, sosok-sosok itu bermunculan dari segala penjuru, jumlah mereka banyak sekali seakan memenuhi tempat itu. Mereka mulai bersuara aneh dan mengerikan, tak tahan aku mendengarnya. “TIDAKK !!” kembali aku berteriak sekencang-kencangnya manakala tangan-tangan mereka yang dingin, pucat dan kurus tanpa daging mulai menggerayangi seluruh tubuhku. Mungkinkah aku akan mati di tempat ini ? Mati di tangan makhluk-makhluk mengerikan ini ? Tidak. Aku belum mau mati, apalagi mati konyol di tangan mereka, “PERGI KALIAN !!”
Teriakanku itu bagaikan suara petir menggelegar di tengah hujan lebat, makhluk-makhluk itu terdiam dan satu per satu tubuh mereka berubah menjadi debu yang kemudian tertiup angin. Mereka semua pergi, tapi, hanya satu sosok saja yang masih berada di hadapanku. Ketika suasana kembali tenang, sosok itu membalikkan badan dan berjalan menjauhiku lalu lenyap ditelan kegelapan. Aku menarik nafas lega. Untuk kali ini aku berhasil mengatasi rasa takutku. Kuharap dia tidak muncul lagi dalam kehidupanku. Tapi, mungkinkah ?
_____
Aroma harum menggelitik rongga hidungku, membangunkanku dari tidur yang untuk pertama kalinya, kurasakan pulas seperti saat sebelum aku bertemu dengan gadis misterius dalam mimpi-mimpiku. Rasa penasaran menghantarkan langkah-langkahku menuju ke sumbernya. Meja makan. Di atasnya sudah tersaji masakan kesukaanku, aku tersenyum, ini adalah ulah usil Maribeth juga Cindy.
Mereka sudah bangun terlebih dahulu dan memasak ini semua. Yah, hanya merekalah yang tahu makanan kesukaanku. Tapi, dimana mereka sekarang ? Ah, yang penting, aku harus membersihkan tubuhku dulu baru kemudian mencari mereka.
Selesai mandi aku mencari Cindy dan Maribeth, jam telah menunjukkan pukul 08:30, biasanya aku sudah menyibukkan diri di kantor, pikiran dan tenaga kuhabiskan dengan mengutak-atik komputer, meraih gagang telepon yang tak pernah berhenti berdering, terkadang pula tak jarang aku memanggil para rekan kerjaku untuk rapat atau meminta tolong menghantarkan pesanan barang dari kostumer di berbagai daerah. Semuanya membuatku frustasi. Tapi, sekarang adalah waktu libur dan aku berniat menghabiskan nya bersama Cindy dan Maribeth. Aku berjalan mengelilingi halaman rumahku, namun, mereka tak kelihatan batang hidungnya. Mendadak langkahku terhenti manakala teringat bahwa Cindy dan Maribeth adalah tipe orang yang tak bisa mengendalikan rasa penasarannya terhadap gedung-gedung tua yang terbengkalai, juga tempat-tempat sejenisnya.
Kebetulan sekali, tak jauh dari rumahku ada beberapa bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Salah satunya terletak di sebelah timur, SEKOLAH SMA TIDAR 1. Yah, sekolah itu memang sudah lama tak beroperasi lagi semenjak peristiwa kebakaran yang menewaskan hampir seluruh siswanya, beberapa tahun yang lalu. Yah, memang pihak asuransi sudah menangani dan merenovasi bangunan tersebut, tapi, begitu bangunan itu sudah dibangun ulang, kebakaran terjadi lagi dan berasal dari titik yang sama. Berulang kali. Karena biaya yang dikeluarkan untuk merenovasi gedung tersebut cukup besar, maka, para developer atau pihak asuransi tak mampu lagi membayarnya hingga akhirnya bangunan itu dibiarkan begitu saja, hingga sekarang. Yah, mereka pasti pergi kesana ... toh, jaraknya dari rumahku tak begitu jauh. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera berjalan menuju ke arah Timur.
_____
Banyak cerita yang beredar di masyarakat sekitar tentang sekolah tersebut. Diantaranya tewasnya salah seorang pelajar asing, juga kebakaran hebat yang terjadi berulang kali berasal dari titik yang sama : TOILET WANITA. Kebakaran tersebut membunuh hampir semua orang yang berada di SMA TIDAR I.
Bagi orang yang memiliki hubungan dengan sekolah tersebut akan tewas secara mengenaskan. Sekolah itu akhirnya ditutup, tanah dan bangunan tersebut dijual.
Dibangunlah sebuah Cafe, CAFE GUNUNG TIDAR. Tapi, kejadian serupa terjadi berulang kali, dan akhirnya dibiarkan terbengkalai berikut bangunan beserta segala sesuatu yang ada di dalamnya.
Aku berjalan tergesa-gesa sesekali berlari menuju tempat mengerikan itu, berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam dada, khawatir nasib buruk akan menimpa Cindy dan Maribeth. Setelah berjalan selama lebih kurang 25 menit, sampailah aku di tempat itu.
Sejauh mata memandang, hanya ilalang liar setinggi orang dewasa, tanaman-tanaman merambat tumbuh disana-sini. Sisa-sisa kebakaran yang sudah terjadi beberapa tahun silam; masih dapat kulihat pada bagian permukaan dinding menghitam, pecahan kayu lapuk, batu, cat dan material lain yang berserakan tak tentu arah di halaman. Pintu masuk juga rusak parah sesekali hembusan angin semilir membuatnya bergerak kesana-kemari mengeluarkan bunyi-bunyi mengerikan. Tak nyaman untuk didengar.
Sayup-sayup telingaku mendengar suara orang bercakap-cakap yang berasal dari dalam. Setiba di dalam kulihat 2 orang wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah Maribeth dan Cindy. “Kalian, apa yang kalian lakukan disini ?” tanyaku.
2 wanita itu menoleh, Cindy meletakkan jari telunjuknya di bibir sebagai isyarat agar aku diam. Aku menurut. Tak lama kemudian Cindy menghampiriku dan berkata, “Kak, bantuanmu cukup bagi kami untuk mengungkap identitas wanita yang selalu menghantuimu,”
Aku heran, “Mengapa ? Apa yang harus kulakukan untuk membantu kalian ?”
“Bukalah masker kakak. Dengan demikian semuanya akan jelas,” sahut Maribeth.
“Hah ... itu tak mungkin kulakukan. Kalian tahu apa yang akan terjadi padaku saat masker ini kulepas,” tolakku.
Cindy dan Maribeth mengangguk.
“Itulah sebabnya, mengapa kami menghendaki kakak melepas masker kakak,” ujar Maribeth, “Jika kakak tidak melepas masker kakak ... maka, sampai kapanpun kita tak bisa mengungkap siapa wanita itu, dan kakak akan terus dihantui olehnya,”
Aku termenung. Desakan mereka seakan menempatkanku pada sebuah dilema. Jika kulepas masker ini, bisa jadi selamanya aku akan melihat hal-hal yang mengerikan sepanjang hidupku; Jika tidak, aku akan senantiasa dibuat penasaran dengan sosok wanita yang hadir dalam mimpi-mimpiku,”
Terus terang, aku tak ingin melihat hal-hal yang mengerikan itu, aku sudah cukup tersiksa. Mendadak saja dua cairan bening merembes keluar dari kedua pelupuk mataku, aku menangis. Aku teringat akan pesan ibuku sewaktu terakhir kali sebelum meninggal dan kata-katanya yang terakhir itulah yang membuatku tegar dan merubah pendirianku.
Jari-jemariku bergerak, perlahan-lahan kutanggalkan masker penutup wajahku dan baru saja hendak kutarik nafas dalam-dalam aku mendengar Cindy memanggilku, “Kak, semakin lama kuperhatikan wajah kakak semakin cantik tanpa masker itu,”
“Sudahlah, jangan merajuk. Biarkan Kak Rimbi melakukan tugasnya,” sahut Maribeth.
Begitu suasana kembali tenang, kupejamkan mataku ... kukosongkan pikiranku dan kuhirup udara dalam-dalam, memenuhi rongga dadaku dan mengalir ke seluruh pembuluh darah detak jantungku. Sambil memegangi tangan Cindy dan Maribeth, kamipun menembus dimensi lorong ruang dan waktu untuk menuju ke masa lalu.
_____
SMA TIDAR I – Malang, pagi itu di kelas XII E, kedatangan seorang siswi baru yang berasal dari Jepang. Dia cantik, menarik dan menghipnotis kaum Adam baik dari kalangan pelajar maupun dewan guru. Dia bernama Michikko. Tak seorang pun mengetahui bagaimana latar belakang gadis cantik bertubuh sintal itu. Banyak orang yang jatuh hati padanya, sekalipun dia pendiam dan selalu menyendiri, ia hanya ditemani oleh sebuah boneka wanita. Kemana pun Michikko pergi, boneka yang diberi nama MISSUKKO yang diambil dari nama ibu kandung Michikko, UKKONAWA, selalu menemaninya.
Sekalipun banyak godaan khususnya dari Kaum Adam, Michikko masih bisa menjalani kehidupannya sebagai seorang pelajar yang punya prestasi dan bakat besar. Salah satu bakatnya yang tidak mampu dimiliki oleh siapapun, adalah : berkomunikasi dengan alam roh. Itulah sebabnya, Michikko cenderung menyendiri ke tempat-tempat yang jarang dikunjungi oleh siapapun. Hingga pada suatu hari saat ia sedang menyendiri, sekelompok pemuda datang menghampirinya. PANDU, LINO, EDWARD, SETO dan RAGA, mereka adalah sebagian dari sekian banyak siswa-siswi yang nakal, bandel kadang terlibat dalam geng-geng yang selalu meresahkan masyarakat.
“Hei, kawan-kawan ... apa kataku, wanita Jepang itu selalu berada disini sendirian. Aku memenangkan taruhan, bukan ?!” kata Seto sambil tertawa penuh kemenangan, sementara yang lain cemberut.
“Lalu apa yang akan kita lakukan pada wanita ini ?” tanya Lino.
Seto mengangkat tangannya, “Biar aku yang menanganinya. Kalian diam saja,” sambil berkata demikian ia berjalan menghampiri Michikko yang sedang bermain-main dengan Missukko. “Hai, apa yang kau lakukan disini dengan boneka usang itu ?” tanyanya.
Michikko seakan tidak peduli dengan pertanyaan yang ditujukan oleh Seto, ia bersenandung lirih dalam bahasa Jepang. Seto tersenyum lalu menyodorkan sebuah boneka yang bentuknya lebih bagus dan indah. Dilihat dari bentuknya, jelas boneka itu lebih mahal daripada Missukko, “Michikko ... aku punya sesuatu untukmu. Kudengar kau suka sekali dengan boneka. Lihatlah, boneka ini, apakah kau menyukainya ?”
..._____...