Menikah dengan orang yang aku cintai, hidup bahagia bersama, sampai akhirnya kami dikaruniai seorang putra tampan. Nyatanya setelah itu justru badai perceraian yang tiba-tiba datang menghantam. Bagaikan sambaran petir di siang hari.
Kehidupanku seketika berubah 180 derajat. Tapi aku harus tetap kuat demi putra kecilku dan juga ibu serta adikku.
Akankah cinta itu kembali datang? Sementara hatiku rasanya sudah mati rasa dan tidak percaya lagi pada yang namanya cinta. Benarkah cinta sejati itu masih ada?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iin Nuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Nasehat Bu Hajah Maryam
"Wan, emang bener ya Keinan nggak punya ayah? Tadi pas Mama tanya soal ayahnya dia jawab gitu. Sampai mau nangis juga. Mama juga jadi ikutan sedih tadi," kata Wulan ketika mereka sedang makan malam bersama.
"Hah, Keinan nggak punya ayah?" tanya Surya juga, menunjukkan ekspresi kagetnya.
"Tadi sih dia cerita gitu, Pa. Jadi bener ya, Wan?"
"Setahu Awan sih memang iya, Ma, Pa. Hamzah pernah cerita ke Awan kalau bundanya Keinan diceraikan oleh suaminya pada saat Keinan masih berumur satu bulan," jawab Awan.
"Alasannya?" tanya Surya.
"Ayahnya Keinan mau kembali sama wanita yang dia cintai, gitu katanya Hamzah," jawab Awan.
"Alasan apaan itu? Terus kenapa dia nikahin bundanya Keinan, bahkan sampai ada Keinan loh. Tapi dia pergi dengan alasan untuk kembali sama wanita yang dia cintai. Lah terus pernikahan dia sama bundanya Keinan itu apa artinya buat dia?" tanya Wulan tersulut emosinya.
Awan mengangkat kedua bahunya.
"Nggak tau juga, Ma. Menurut cerita Hamzah sih gitu. Dan setelah mereka bercerai, ayahnya Keinan juga langsung nikahin wanita itu terus mereka tinggal di luar negeri. Gitu kata Hamzah," lanjut Awan.
"Bener-bener laki-laki brengsek itu namanya. Kok ada sih laki-laki kayak gitu? Mama sumpahin dia nggak akan bisa bahagia. Seenaknya aja meninggalkan dan menelantarkan anak dan istri pertamanya cuma demi wanita lain," kata Wulan bersungut-sungut saking emosinya.
"Mama ihh, hati-hati kalau ngomong. Gampang banget nyumpahin orang lain," tegur Surya, bergidik ngeri mendengar perkataan istrinya yang menggebu-gebu itu.
"Habisnya Mama kesel, Pa. Mama jadi emosi banget ini denger ceritanya Awan," balas Wulan masih emosi.
"Ya tapi nggak segitunya juga dong, Ma."
"Mantap, Ma. Awan suka gaya Mama," kata Awan, justru menyemangati Wulan.
"Ini lagi. Bukannya ikut ngingetin malah tambah ngomporin. Dasar kamu ini, Wan. Cowok kok sukanya jadi kompor lho," gerutu Surya kepada Awan.
"Kan Papa yang sering ngajarin, Awan. Awan sebagai anak yang baik ya pasti mengikuti ajaran dari papanya dong."
"Haish, ngeles aja kamu itu."
"Udah-udah. Haduh, pusing Mama dengerin kalian berdebat mulu. Ini belum ketambahan Langit. Makin ribut aja kalau anak satu itu juga pulang ke rumah ini," gerutu Wulan seraya beranjak dari duduknya dengan membawa piring kotor, hendak menaruhnya di tempat cuci piring.
Lagi-lagi, tanpa sepengetahuan Wulan, Surya dan Awan saling melemparkan senyum. Sukses sudah rencana mereka berdua untuk mengalihkan perhatian dan pembicaraan Wulan yang mulai menuju ke hal-hal yang sensitif. Surya dan Awan tentu tidak ingin Wulan sampai bisa menebak niat mereka secepat itu.
☘️☘️☘️
Hari Minggu ini, Keinan dan Hamzah kembali berkunjung ke rumah Awan. Aminah juga tidak membuka warung gado-gadonya karena mengerjakan pesanan dari Bu Hajah Maryam untuk acara arisan nanti malam. Itu kenapa Shofi khusus membantu Aminah hari ini.
Setelah selesai mengerjakan semua pesanan dari Bu Hajah Maryam, Shofi kemudian mengantarkan semua pesanan tersebut ke rumah Bu Hajah Maryam.
"Assalamu'alaikum, Bu Hajah," salam Shofi.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh. Eh, nak Shofi. Mari-mari, silahkan masuk, nak," jawab Bu Hajah Maryam sekaligus mempersilahkan Shofi untuk masuk.
"Iya, Bu Hajah, makasih. Ini saya cuma mau nganterin pesanan Bu Hajah aja kok," balas Shofi.
"Masuk dulu lah, nak Shofi. Di rumah lagi nggak ada siapa-siapa juga kok, cuma ibu sendiri. Anak-anak lagi keluar sama abahnya. Beli keperluan bulanan," kata Bu Hajah Maryam lagi, masih menginginkan Shofi untuk mampir dulu.
Setelah mendengar perkataan Bu Hajah Maryam bahwa di rumah hanya ada Bu Hajah sendiri, akhirnya Shofi pun bersedia untuk mampir sebentar.
"Ya udah deh, Bu Hajah. Tapi maaf ya kalau nggak bisa lama-lama," kata Shofi, sungkan.
"Iya, nak Shofi. Nggak pa-pa kok. Ibu cuma kangen, pengen ngobrol-ngobrol aja gitu sama nak Shofi."
"Iya, Bu Hajah."
Bu Hajah Maryam kemudian mengajak Shofi untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Mari, silahkan duduk, nak Shofi."
"Terima kasih, Bu Hajah."
"Tumben bukan Hamzah yang nganterin pesenan, nak?" tanya Bu Hajah Maryam setelah mereka berdua duduk di sofa ruang tamu.
"Hamzah sama Keinan sedang keluar, Bu Hajah."
"Oh ya? Kemana mereka? Kok tumben nak Shofi nggak ikut?"
"Mmm, itu Bu Hajah, mereka sedang berkunjung ke rumah temennya Hamzah," jawab Shofi sedikit gugup.
"Laki-laki yang belakangan ini sering datang ke rumah nak Shofi itukah?"
"Eh, i-iya, Bu Hajah."
"Sebelumnya ibu minta maaf nih sama nak Shofi, tapi beberapa hari yang lalu Bu Aminah pernah cerita ke ibu juga masalah laki-laki yang sering datang ke rumah nak Shofi itu. Kata Bu Aminah, laki-laki itu sudah menyampaikan niat baiknya untuk meminang nak Shofi. Apakah itu benar, nak?" tanya Bu Hajah Maryam hati-hati.
"I-iya, Bu Hajah. Itu memang benar."
"Syukur alhamdulillah. Ibu ikut senang dengarnya. Tapi kata Bu Aminah juga, nak Shofi sampai sekarang masih belum memberikan jawaban, ya?"
"Belum, Bu Hajah," jawab Shofi pelan, sedikit malu.
"Boleh ibu tau kenapa?"
Shofi terdiam. Berpikir sejenak, ah mungkin memang dirinya bisa mengkonsultasikan masalah yang sedang dihadapinya ini kepada Bu Hajah Maryam. Karena beliau pasti lebih memahami dari segi agama, daripada pemahaman Shofi sendiri.
"Jujur saja, sebenarnya saya masih ragu, Bu Hajah. Dengan status saya yang sekarang ini, apa pantas saya mendapatkan seorang suami yang masih lajang dan bahkan juga usianya lima tahun lebih muda dari saya," jawab Shofi pada akhirnya.
"Nak Shofi sudah mencoba untuk sholat istikharah?"
"Sudah, Bu Hajah."
"Lalu bagaimana menurut nak Shofi sendiri setelah itu?"
"Melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Keinan, juga ibu dan Hamzah yang sangat berharap, sebenarnya saya sendiri pun juga menginginkan untuk menjawab 'iya', Bu Hajah. Tapi lagi-lagi, perbedaan itu seakan masih menjadi penghalang bagi saya," aku Shofi.
"Nak Shofi sudah pernah membicarakan tentang masalah itu berdua dengan laki-laki itu?"
"Belum, Bu Hajah. Tapi dulu, saat pertama kali dia menyampaikan niatnya untuk menikahi saya, saya sudah pernah menanyakan hal itu juga."
"Lalu apa jawaban dia?"
"Dia bilang bahwa Bunda Khadijah juga seorang janda. Dan bahkan usia beliau juga terpaut lima belas tahun dengan Baginda Rasulullah SAW. Jadi status dan usia bukan masalah bagi dia. Dia juga bilang kalau dia ingin mewujudkan keinginan Keinan untuk memiliki seorang ayah dan ingin memberikan sebuah keluarga yang lengkap untuk Keinan, Bu Hajah."
"Subhanallah. Lalu apa yang membuat nak Shofi masih ragu?"
Shofi terdiam dengan menundukkan wajahnya.
"Boleh ibu memberi saran?"
"Iya, Bu Hajah."
"Saran ibu, sebaiknya nak Shofi bicarakan lagi berdua dengan laki-laki itu. Bicara dari hati ke hati. Sampaikan semua yang menjadi ganjalan di hati. Dengan begitu kalian berdua bisa sama-sama mengutarakan pendapat dan bahkan memberi solusi untuk satu sama lain."
Shofi mengangkat wajahnya. Senyum Shofi seketika mengembang. Shofi merasa sudah mendapatkan jawaban untuk permasalahannya.
"Baik, Bu Hajah. Terima kasih banyak untuk nasehat dari Bu Hajah," ucap Shofi tulus.
"Sama-sama, nak Shofi. Ibu hanya sekedar memberi saran saja kok," balas Bu Hajah Maryam seraya tersenyum.
Shofi merasa sedikit lega setelah dia bisa bercerita kepada Bu Hajah Maryam. Dan ya, benar apa yang dikatakan oleh Bu Hajah Maryam, sepertinya Shofi memang harus bicara berdua dengan Awan. Berbicara dari hati ke hati.