Kakak perempuan Fiona meninggal dalam kecelakaan mobil, tepat pada hari ulang tahunnya ketika hendak mengambil kado ulang tahun yang tertinggal. Akibat kejadian itu, seluruh keluarga dan masyarakat menyalahkan Fiona. Bahkan orang tuanya mengharapkan kematiannya, jika bisa ditukar dengan kakaknya yang dipuja semua orang. Termasuk Justin, tunangan kakaknya yang membencinya lebih dari apapun. Fiona pun menjalani hidupnya beriringan dengan suara sumbang di sekitarnya. Namun, atas dasar kesepakatan bisnis antar keluarga yang telah terjadi sejak kakak Fiona masih hidup, Justin terpaksa menikahi Fiona dan bersumpah akan membuatnya menderita seumur hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Beby_Rexy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangisan Justin
"Ketemu lagi besok."
Fiona melambaikan tangan ke arah timnya saat semua orang keluar sambil membawa tas masing-masing. Dalam hitungan detik, seluruh studio berubah menjadi hening mencekam. Ia melirik ke sekeliling studio yang kosong, lalu meregangkan tubuh, sebelum kembali ke penginapan kecilnya tempat ia menyelesaikan dekorasi.
Sambil menghela napas panjang, Fiona duduk di bangku dan mengambil jarumnya.
Ia lelah. Bahkan, lelah bahkan belum cukup untuk menggambarkannya. Rasanya seperti ada tombak panas yang menusuk punggungnya, dan telinganya berdenging keras sekali. Kakinya benar-benar sakit dan ia kelaparan. Untungnya, Fiona cukup pintar untuk memesan makanan sendiri selagi semua orang masih ada.
Sekarang tinggal Fiona dan pekerjaan lainnya.
Tapi ia senang sekali, karena mereka berhasil menyelesaikan 3 kostum hanya dalam beberapa jam, dan ini kostum keempat, yang tentu saja akan selesai besok pagi. Sambil menyalakan speaker di meja kecilnya, Fiona memutar lagu-lagu favoritnya, lalu bergoyang sambil bersenandung.
“Eldo sialan. Dia ninggalin aku sendirian.”
Fiona mendesah panjang. “Tapi aku nggak bisa nyalahin dia. Dia punya kehidupannya sendiri dan aku nggak akan maksa dia duduk di sini terus-terusan hanya karena aku nggak bisa pulang lebih awal buat menghadapi... ‘dia’... Huh!”
Hidup memang terkadang bisa membosankan, bukan?
Fiona lupa waktu, dan tanpa sadar, ia sudah selesai menyulam sebagian besar gaun itu. Tapi bukan itu alasan ia berhenti. Fiona baru menyadari keadaan sekitar karena tiba-tiba, hujan turun deras. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan diri dan tidak berteriak, tetapi ketika kilat menyambar jendela kamar, ia tahu ia harus bersembunyi.
Dari semua hal yang membuatnya takut setengah mati dalam hidup ini, hujan dan guntur pastilah yang paling utama.
Fiona memutuskan untuk membereskan semuanya dan bersembunyi di tempat persembunyian kecilnya secepat mungkin. Karena mustahil ia bisa berkendara menembus cuaca seperti ini. Ia bangkit dari tempat duduknya, meletakkan semua barang di tempatnya, dan mematikan semua peralatan listrik di sekitarnya.
Kemudian berbalik untuk meninggalkan ruang jahit dan menuju kamar tidurnya yang berada di lantai tiga gedung, tetapi tiba-tiba saja tubuhnya kecilnya langsung menabrak segerombolan otot.
AAAARGH!
Ada orang asing di sana. Ini pasti akan membahayakannya!
Fiona berteriak kencang sambil menutup kedua matanya.
Namun ia melakukan hal pertama yang terlintas di pikirannya, yaitu meninju perut orang asing itu, dan berhasil!
Ketika bogem mentah milik Fiona telah mendarat tepat di perut orang asing itu, Fiona lalu bergegas lari.
Orang asing itu hanya mengerang keras. Tapi ada yang aneh, tubuh Fiona sama sekali tak bergerak meski ia sudah mencoba lari. Ketika tersadar, orang asing itu ternyata telah menariknya mendekat, semuanya jadi kabur.
Hujan, penyusup itu, petir sialan di luar sana. Astaga, Fiona jadi ingin menangis. Ayolah, dia benar-benar sendirian di dalam sana.
Penyusup itu menarik Fiona begitu dekat ke dadanya, lalu mendekapkan kepalanya di lekuk leher Fiona. Rasanya dia tidak bermaksud jahat, karena yang dia lakukan hanyalah meringkuk di dalam pelukan Fiona dan hembusan napasnya terasa.
Fiona cepat tersadar dan menarik tubuhnya menjauh darinya, lalu mendorongnya hingga jatuh. Untungnya, penyusup itu mendarat dengan pantatnya dan Fiona segera menarik benda apa pun yang ada di dekatnya, siap untuk menghajar penyusup itu dengan sikap siaga.
"Fiona, Berhenti."
Fiona menghentikan langkahnya, tangannya sudah terangkat ke udara dan siap menjatuhkannya ke arah penyusup.
"J-justin?" Fiona membeku.
Justin mengerang pelan dan mencoba bangkit dari lantai. Tapi dia malah terjatuh lagi lalu menyerah total untuk bangun.
"Justin, apa-apaan ini? Kok kamu bisa ada di sini?" teriak Fiona sambil berlutut di depannya, lalu melingkarkan lengan Justin di lehernya. Mencoba untuk memapah tubuh besar itu.
“Ya ampun, dia mabuk berat! Benar-benar membuang-buang waktu!” gerutu Fiona.
"Kamu mabuk berat," kata Fiona saat dia terus mencoba membawa Justin berdiri, dan akhirnya berhasil karena Justin yang bangkit sendiri sebenarnya. Mereka kemudian mulai berjalan perlahan.
"Kamu tidak di rumah," gumam Justin sambil terhuyung ke depan, hampir tersungkur bersama Fiona. Tapi Fiona menguatkan diri, dan berhasil menahannya.
"Tentu saja. Sudah kubilang aku pulang larut malam." Apakah minuman keras itu menghapus bagian ingatan itu? Tapi Fiona mencoba berpikir bagaimana Justin menemukan lokasinya?
"Ibu mertua, Cassie," pikir Fiona.
Hah! Tentu saja. Mertuanya yang tersayang itu, yang memberi tahu putranya, untuk datang ke tempat kerjanya.
"Ibu bilang kamu takut hujan." Justin menunjuk sambil terbata-bata, lalu menatap Fiona dari balik matanya yang sayu.
Fiona jadi tak tahu harus merasa bagaimana tentang semua ini, tapi jauh di lubuk hatinya, ia senang tak sendirian dalam cuaca seperti ini. Tuhan tahu ia pasti sudah menyusut sampai mati saking ketakutannya.
"Aku... nggak setakut itu," jawab Fiona sambil mencoba membantu Justin menaiki tangga.
"Hmmmm... Kita mau ke mana, Fiona? Ayo pulang." Justin menggerutu, membiarkan tubuhnya lemas di dalam pelukan Fiona. Otot-otot Fiona jadi menegang saat ia berusaha membuat suaminya tetap berdiri tegak.
"Aku nggak bisa nyetir di cuaca kayak gini." Fiona mengaku jujur, dan Justin menggerutu. Kalau dia menggerutu lagi, Fiona bakal meninjunya lagi. Serius deh.
"Kenapa?" Justin tiba-tiba berdiri tegak dan menaiki satu anak tangga di atas tempat mereka berada, lalu menatap Fiona.
"Apa ini mengingatkanmu pada ulang tahunmu yang ke-18? Waktu Fania meninggal?" Dia mencondongkan badan ke arah Fiona, dan bau bir memenuhi seluruh wajah Fiona, membuatnya meringis. Bukan baunya, tapi kata-katanya. Kenangan yang dia bawa kembali, dan gemuruh di luar sana sama sekali tidak membantu.
"Waktu itu hujan. Aku ingat betul," kata Justin begitu, lalu ia terduduk lemas sebelum Fiona sempat menopangnya. Apa ada yang lebih buruk? Serius, coba ceritakan apa yang lebih buruk daripada terjebak di studio di malam badai, bersama suami yang terlihat ingin membunuhmu, dan kebetulan dia sedang mabuk berat...
Memutuskan untuk ikut merasakan rasa kasihannya, Fiona duduk di sampingnya, lalu melihat sekeliling ruangan yang gelap, listrik padam. Bagaimana bisa tiba-tiba turun hujan?
Tiba-tiba lengan Justin melingkari bahu Fiona dan menariknya mendekat ke sisinya.
"Aku di sana, ingat?"
“Kenapa dia mau ngomongin ini sekarang? Kenapa dia mau ngomongin Fania sekarang juga?” tanya Fiona dalam hati.
Fiona tidak menjawab, karena ia terlalu sibuk menenangkan diri saat guntur bergemuruh setiap detiknya.
"Dia pergi sambil bilang mau ambil hadiahmu. Aku ngotot mau ikut, tapi dia bilang tidak boleh." Justin terisak.
Fiona tentu terkejut. “Jangan bilang dia lagi nangis...” pikirnya.
"Aku tinggal, dan menunggu..." Genggaman Justin mengencang di bahu Fiona, "Lalu hal berikutnya yang aku terima adalah panggilan telepon. Kami tiba di rumah sakit dan..." Dan kali ini, isak tangisnya yang berat terdengar, dan ia pun melepaskannya.
Pada detik itu, pikiran Fiona menjadi kosong.
Ia mungkin pernah mencoba menjadi wanita super dan tidak ingin meneteskan air mata di depan Justin, untuk alasan yang jelas, tapi sekarang Fiona tak bisa menahannya. Ia buru-buru menyeka air mata yang kini mengalir di wajahnya.
"2 menit 37 detik. Itulah lamanya dia bertahan sampai dia melihat kita semua. Lalu dia pergi."
“Sialan, aku kehilangannya!” teriak Justin pilu.
Di ruangan gelap itu, dengan hujan deras di luar, mereka berdua menangis. Untuk pertama kalinya sejak Fiona mengenal Justin Wolf Spark, mereka berada di tempat yang sama. Namun saat itu, mereka bukan lagi suami istri, melainkan dua orang yang telah kehilangan sesuatu yang begitu berharga dalam hidup mereka!
Kehilangan itu, rasa sakitnya itu semua, mereka sama-sama merasakannya dengan mendalam!
🥴 teman pacarnya sendiri semua mau di nikmati,fix sakit jiwa.untung Justin terselamatkan kalau tidak semua lelaki disitu sudah jadi bekas kim🥴.
Justin aja kewalahan dengan keras kepalanya,sikap teguhnya,masa bodohnya 😄.