Tujuh belas tahun lalu, satu perjanjian berdarah mengikat dua keluarga dalam kutukan. Nadira dan Fellisya menandatangani kontrak dengan darahnya sendiri, dan sejak itu, kebahagiaan jadi hal yang mustahil diwariskan.
Kini, Keandra dan Kallista tumbuh dengan luka yang mereka tak pahami. Namun saat rahasia lama terkuak, mereka sadar… bukan cinta yang mengikat keluarga mereka, melainkan dosa yang belum ditebus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Ungu_07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 17 Terapi
Siang sepulang sekolah kali ini. Alka bertugas untuk menemani Alesha terapi, karena ini sudah jadwalnya.
Mobil taksi berhenti di halaman rumah sakit besar. Alka turun sambil membawa kursi roda, lalu dengan hati-hati, ia memangku Alesha turun.
Langkahnya santai saat memasuki lorong rumah sakit. Bau antiseptik dan obat-obatan langsung menyeruak. Suara-suara campur aduk di sana, suara ranjang roda, suara panik orang-orang menjadi satu.
Tak jauh dari sana, Alka berbelok pada ruangan khusu terapi. Tangannya mendorong pelan membuka pintu kaca, lalu kembali mendorong Alesha yang duduk di kursi roda.
"Kalian, ayok masuk." sapa seorang Dokter perempuan.
"Bu dokter udah lama nunggu?" tanya Alka sambil tersenyum ramah.
"Nggak! Saya juga baru datang, kok." jawabnya, sambil bangun dari duduknya. "Ayok, biar saya bantu kamu pindah ke ranjang." lanjutnya.
"Biar saya aja, Bu." cegah Alka. Ia langsung membungkuk, dengan hati-hati membaringkan Alesha di atas ranjang.
"Kamu masih belum bisa buat berdiri, jadi sekarang kita pijat seperti biasanya, ya." kata Dokter Ratni, ia mengoles pelumas pada betis Alesha.
Alesha menarik napas panjang saat Dokter Ratni mulai memijat betisnya. Alka berdiri di samping ranjang, tangannya ia masukan ke saku, tapi matanya nggak lepas dari Alesha.
"Aesh, kalau sakit bilang ya." kata Dokter Ratni.
Alesha langsung mengangguk, tapi Alka langsung nyamber pelan, "Kalau sakit teriak aja, biar gue ikutan panik."
Alesha noleh sambil senyum miring. "Nggak ngebantu banget, sumpah!"
"Tapi kan lucu kalau kita panik barengan," jawab Alka sambil duduk di kursi.
Dokter Ratni tertawa kecil. "Ka, mending kamu bantu pegangin lutut Alesha, biar stabil."
Alka kembali berdiri, tangannya memegang lutut Alesha dengan hati-hati.
Alesha merasakan jari-jari Alka yang dingin,tapi sentuhannya lembut.
"Geli," gumam Alesha.
"Gue juga," balas Alka. "Takut salah pegang, ntar lo malah nggak bisa jalan permanen karena lututnya copot."
Alesha mendelik. "Bodo amat!" tapi pipinya merah tipis.
Dokter Ratni mendorong pelan kaki Alesha ke atas. Alesha meringis, tangannya mencari pegangan, dan Alka langsung menangkap tangannya.
Alka langsung mendekat sedikit, wajahnya panik. "Tarik napas... jangan di tahan... hembuskan... bagus. Sekali lagi, lihat gue." Alesha menurut begitu saja.
Sesi pemijatan kini selesai. Alka tersenyum tipis. "Pintar. Lo tuh, kuat banget sebenarnya."
Alesha mendengus pelan, tapi tatapannya lekat. Ada sesuatu yang gerat di dadanya, aneh, tapi bikin ia merasa hangat.
Perlahan, Alka kembali mengangkat tubuh Alesha, dan mendudukan nya di kursi roda. Kaki Alesha masih terasa pegal, keringat muncul dari pelipis. Alka meraih tissue, lalu menyeka keringat dengan pelan.
"Jadi yang capek siapa? Lo atau gue?" tanya Alka.
Alesha ketawa pelan. Pastinya, lo. Udah kayak bapak-bapak yang nganter lahiran."
Alka tertawa lebih keras, lalu ia mendorong kursi roda Alesha untuk pulang. Karena proses terapi kali ini sudah selesai.
Hari sudah mulai sore, sinar matahari pun perlahan meredup. Semilir angin berhembus pelan di halaman rumah sakit, memainkan setiap helaian ribut Alesha yang tergerai.
Alka yang duduk di kursi taman, kini ia berdiri. Tangannya kembali di masukan ke dalam saku, lalu jalan pelan ke hadapan Alesha.
"Aesh," panggilnya pelan. "Kalau lo kuat dikit lagi, gue yakin lo bisa lari ngejar gue."
Alesha langsung menatapnya. "Iya, gue kejar lo habis-habisan."
"Bahaya sih! Bisa-bisa ngambek dikit, gue di kejar sampai ujung dunia." jawab Alka sambil tertawa.
Alesha menatap Alka lama, bibirnya tersenyum lebar. Dagup jantungnya berdetak cepat. Dia nggak ngerti kenapa, tapi tiap Alka seperti ini di depannya, hati Alesha terasa, adem.
"Aesh, kalau misalkan... setelah lo bisa jalan, terus gue pergi. Kira-kira, lo bisa nggak tanpa gue?" tanyanya tiba-tiba. Membuat Alesha mati kutu sesaat.
Alesha menelan ludah, bingung harus menjawab apa. "Yaaa... harusnya bisa, bukannya dulu juga kita nggak saling kenal." jawab Alesha asal.
"Iya, ya... kalau nggak kejadian kayak gini, sekarang kita juga nggak akan saling kenal. Apalagi sampai berdua kayak gini." Alka menganggukan kepalanya, ia mulai mundar mandir di depan Alesha.
Alesha hanya tersenyum tipis. Ada sedikit rasa tak rela jika Alka harus benar-benar pergi. Tapi, Alesha juga tak bisa melarangnya.
Alkae menghela napas dalam, lalu membuatnya kasar. "Sekarang... gue cuma ngejalanin tanggung jawab gue. Sampai lo, bener-bener sembuh." katanya, lalu ia berdiri di hadapan Alesha. Menatapnya lama.
"Setelah itu... tugas gue selesai. Dan gue bisa bebas pergi kemapun, tanpa harus khawatir sama, lo. Ya kan?" katanya.
Perkataan Alka itu, seperti belati kecil yang menusuk hatinya. Rasanya perih, sesak. Alesha tak mampu menjawab, ia hanya menunduk sambil memainkan kuku di jari tangannya.
Semilir angin sore pun kembali berhembus, tapi tak cukup menghilangkan rasa sesak di dada Alesha.
"Kayaknya lo capek, kita pulang aja." Alka menatap Alesha sebentar, lalu pergi meninggalkan halaman rumah sakit, tangannya lembut, mendorong kursi roda yang Alesha duduki.
Kali ini angin sore berhembus sedikit lebih kencang, sinar matahari benar-benar sudah tak ada, hanya menyisakan sisa hangatnya di langit barat sana.
Jauh dari hembusan angin dan rasa hangat sisa matahari. Ruangan itu justru hanya di terangi cahaya lampu temaram. Dan hawa dingin dari AC.
Varel duduk sendirian ruangannya. Matanya tajam, menatap layar laptop. Ia melihat jejak rekaman setiap acara yang menampilkan Alka. Termasuk, tes agensi yang masih hangat kemarin.
Ia terus nonton berulang, mata fokus, rahang mengunci.
"Nilai rendah dari satu juri..." gumamnya, keningnya mengerut. "Kenapa cuma satu juri? Dan rendah banget?"
Jelas-jelas tampilan Alka di sana bagus. Bahkan sudah seperti seorang idol yang siap debut.
"Aneh," gumamnya.
Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu memejamkan matanya. Bayangan Alka dance muncul tiba-tiba dalam pikirannya. Refleksi Varel langsung membuka mata.
"Alka, di tubuh kamu, ada darah saya yang mengalir." gumamnya lagi, rahangnya mengeras. Matanya kembali terpejam.
"Alka dan Lista itu anak kamu! Kalau kamu terus nggak mau mengakui mereka, lebih baik aku pisah sama kamu."
"Mereka nggak tahu apa-apa. Mereka nggak tahu dosa yang di lakukan oleh orang-orang tuanya. Tapi kenapa harus mereka yang menanggung bebannya?"
"Alka dan Lista akan terus menjadi anak aku. Kalian terlalu jahat untuk dia."
"Bahkan, demi harta dan kekuasaan. Kalian rela menjalin hubungan tanpa dasar cinta, dan menghadirkan dua anak yang seharusnya tak ada dalam pernikahan ini."
Renata seketika muncul dalam pikiran Varel. Kata-kata yang pernah Renata ucapkan, kembali terdengar, terasa begitu nyata.
Varel kembali membuka matanya, lalu menghela napas dalam. Ia bangun dari duduknya, melangkah ke jendela danenatap langit yang mulai gelap di luar sana.