NovelToon NovelToon
Untuk Aldo Dari Tania

Untuk Aldo Dari Tania

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:487
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah A

Berawal dari pertemuan singkat di sebuah mal dan memperebutkan tas berwarna pink membuat Aldo dan Tania akhirnya saling mengenal. Tania yang agresif dan Aldo yang cenderung pendiam membuat sifat yang bertolak belakang. Bagaikan langit dan bumi, mereka saling melengkapi.

Aldo yang tidak suka didekati Tania, dan Tania yang terpaksa harus mendekati Aldo akhirnya timbul perasaan masing-masing. Tapi, apa jadinya dengan Jean yang menyukai Aldo dan Kevin yang menyukai Tania?

Akhirnya, Aldo dan Tania memilih untuk berpisah. Dan hal itu diikuti dengan masalah yang membuat mereka malah semakin merenggang. Tapi bukan Aldo namanya jika kekanak-kanakan, dia memperbaiki semua hubungan yang retak hingga akhirnya pulih kembali.

Tapi sayangnya Aldo dan Tania tidak bisa bersatu, lantaran trauma masing-masing. Jadi nyatanya kisah mereka hanya sekadar cerita, sekadar angin lalu yang menyejukkan hati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kedatangan Seseorang

Aldo sangat kesal. Bagaimana tidak, Tania memaksanya untuk mengantarkan pulang dengan mencubit perut pria itu. Aldo bahkan tidak bisa menolak karena Tania terus bercerocos menjelaskan pada Kevin. Alhasil, Aldo terus mengumpat kesal. Berkali-kali dia memukul setir mobil sebagai luapan kekesalan. Tania yang ada di sebelahnya merasa takut. Seolah-olah dia telah masuk ke kandang macan.

"Kenapa sih lo ngebet banget minta dianterin sama gue? Lo nggak bisa ya buat gue tenang? Kalau ada lo, gue tuh selalu sial," ujar Aldo.

"Maaf."

"Kalau misalkan lo kesal sama seseorang, jangan jadikan orang lain samsak, Tania. Gimana kalau misalkan orang yang lo jadikan samsak balas perlakuan lo? Itu ibaratnya sama aja kayak lo bangunin hewan buas, tahu enggak?" Aldo berhasil meluapkan segala kekesalan.

"Kalau misalkan lo nggak mau anterin gue pulang, turunin aja gue di sini."

"Enggak. Nanti kalau misalkan lo ada apa-apa gimana? Gue enggak mau dimintai keterangan polisi kalau terjadi sesuatu sama lo."

Tania menghela napas panjang. Dia melirik Aldo. "Lo marah banget sama gue?"

Aldo mengatur deru napasnya yang perlahan berangsur tenang. "Tania, bukannya gue enggak mau anterin lo. Cuma, gue ada kesibukan yang enggak bisa ditinggalkan," jelas Aldo dengan nada normal.

"Iya udah, gue pulang sendiri aja. Turunin gue di sini."

"Lo pikir gue mau nurunin lo? Enggak. Gue akan anterin lo pulang."

"Lho, katanya—"

"Setelah urusan gue selesai."

Tania mengernyit bingung. Dia menatap Aldo untuk meminta kejelasan. Tetapi sayangnya, Aldo tidak berkata apa-apa selain fokus pada jalanan depan.

Tania bingung bukan kepalang. Dia seolah telah masuk ke dalam jurang yang dia sendiri tidak tahu arah jalan pulangnya. Ini bukan jalan menuju rumahnya, tetapi Tania enggan menanyakannya karena takut Aldo membentaknya. Bagaimanapun juga, dia seorang wanita yang sensitif terhadap perasaan. Maka sekarang, dia memilih menutup mulut.

Dia percaya pada Aldo.

...******...

Aldo memberhentikan mobilnya tepat di depan teras rumahnya. Tania mengernyit bingung melihat rumah mewah di depannya ini. Dia menoleh pada Aldo yang terburu-buru membuka seat belt-nya. Tetapi sayangnya, seat belt itu macet membuat Aldo mengumpat kesal. Melihat Aldo yang kesusahan membuat Tania tergugah untuk membantunya.

"Kalau lagi buru-buru usahakan diri tetap dikontrol."

Seat belt itu terlepas setelah Tania membantunya.

"Makasih."

"Ini rumah lo? Lo mau ajak gue ketemu orang tua lo? Lo mau—"

Aldo membungkam mulut Tania hingga tidak bisa berkata-kata. Di dalam situasi apa pun, Tania tetap menyebalkan.

"Bisa diem enggak?"

Tania mengangguk membuat tangan Aldo yang mengapit bibirnya terlepas.

"Ini rumah gue. Gue nggak mau ngenalin lo ke orang tua gue. Paham?"

Tania mengangguk kuat. "Gue ikut turun?"

Aldo mengedikkan bahu. "Lo mau turun silahkan, enggak ya silahkan." Aldo membuka pintu mobil lalu turun.

Melihat pergerakan Aldo yang menjauh dari mobil membuat Tania dengan tergesa-gesa ikut turun dari mobil.

...******...

Bertepatan dengan Aldo ingin membuka pintu rumahnya, pintu rumah itu lebih dulu dibuka dan menampakkan sosok Tika dan tubuh jangkung Ryan.

Tania tahu-tahu sudah berdiri di samping Aldo.

"Untung mama sayang sama kamu." Tika memainkan dagu Aldo. "Oh iya, ke sini sama—"

"Halo, Tante!" sapa Tania. Dia menyalami tangan Tika. "Saya Tania, temannya Aldo." Dia menoleh pada seseorang di samping Tika. "Halo juga—Om."

Mendengar sapaan itu membuat Aldo dan Tika menahan tawanya. Sedangkan Ryan mulai menunjukkan ekspresi tidak suka.

"Emang gue kelihatan kayak om-om?" Ryan menunjuk dirinya.

"Iya."

Ryan mendesah berat. Baru kali ini dia mendapat pengakuan mirip om-om. Padahal, adik kelas di kampusnya menganggap Ryan masih seperti anak SMA.

"Iya udah. Ma, Ryan pergi dulu ya." Ryan menyalami Tika.

"Hati-hati," ujar Tika.

Ryan mengangguk dan sebelum pergi dia menepuk-nepuk pundak adiknya. Dia berbisik lirih, "Bilangin temen lo, gue bukan om-om," katanya.

Ryan mengambil motornya di bagasi, lalu melaju menuju supermarket membeli camilan untuk persiapan main PS bersama Bima dan Nico.

"Tania temannya Jean juga?"

"Iya."

Tika tersenyum ramah. "Iya udah, ayo cepet, Do."

Mereka sama-sama masuk ke dalam mobil untuk menuju bandara.

...******...

Di dalam mobil Tania hanya menjadi seorang penyimak sejati perbincangan antara Aldo dan Tika.

"Kamu nggak bilang sama Jean 'kan kalau ibunya mau pulang?"

"Enggak."

"Oke, dia udah pulang?"

"Dia mau belanja dulu sama temennya."

Tika mengangguk-angguk. Dia melirik Tania dari balik spion dalam. "Oh iya, Tania pacar kamu?"

Sontak Aldo segera menekan rem mendadak membuat pergerakan tubuh terdorong ke depan.

"Mama apaan, sih? Jangan ngaco deh," ujar Aldo.

Tika tersenyum geli. "Mama bercanda sayang," katanya sembari mencubit pipi Aldo.

Untungnya Aldo mengerem tepat di parkiran bandara membuat Tika langsung turun. Di belakang Tania menahan tawanya. Aldo tahu kenapa Tania menahan tawanya itu. "Kenapa lo?"

"Gue cuma mau bilang, ibu lo ternyata kekinian banget, ya? Dia sayang banget sama lo," katanya seraya mencubit pipi Aldo mengikuti perlakuan Tika sebelumnya. Setelah mencubit pipi Aldo, Tania beranjak turun seraya terkekeh geli.

Aldo menghela napasnya. Dia tidak bisa membayangkan jika seandainya Tania bercerita hal itu pada Bima dan Nico.

...******...

Seorang wanita paruh baya dengan syal melingkar di lehernya bersama dengan seorang pria yang memakai setelan jas lengkap dengan bentuk tubuh proporsional. Kalau diperkirakan, usia pria itu kurang lebih 24 tahun. Mereka berjalan dengan gaya bak ratu Elizabeth yang hendak menghadiri upacara. Semua pasang mata tersorot pada mereka.

Kacamata sang wanita diturunkan saat melihat seseorang yang ingin ditemuinya sedang melambaikan tangan.

"Tika!" Dia spontan berlari kecil dan berhambur memeluk Tika yang merentangkan tangannya. Mereka berpelukan membuat Aldo dan Tania saling tatap.

"Ya ampun, kamu apa kabar, Rumi?"

Pelukan mereka terlepas.

"Baik, kamu sama anak kamu gimana?" Rumi beralih melirik Aldo dan langsung mencubit kedua pipi pria itu membuat Tania yang melihatnya refleks membulatkan mata. "Ya ampun, Aldo ... kamu sudah besar. Gimana sama Jean? Selalu baik, 'kan?" tanya Rumi.

Aldo mengangguk. "Iya, Tante."

Rumi beralih melirik Tania. "Ini siapa? Manis sekali."

Mendengar pujian itu membuat pria yang bersama Rumi refleks menurunkan kacamatanya. Bak cinta pandangan pertama, seperti itulah yang dia rasakan saat melihat paras cantik Tania.

"Tania Tante, temannya Jean."

"Wah, baik-baik ya sama anak Tante."

Tania mengangguk. Dia melirik pria yang bersama Rumi. Tatapannya terlihat menggodanya membuat dia begitu takut dan sedikit merapatkan tubuhnya pada Aldo.

"Iya udah, langsung ke apartemen aja, yuk!" ujar Tika.

"Iya, ayo. Oh iya, ini Dion. Dia yang bakal jaga Jean nantinya." Rumi memperkenalkan Dion.

Dion tersenyum, lebih tepatnya senyum pada Tania. Tidak ada angin tidak ada hujan, Aldo memberikan tatapan tajam pada Dion dan langsung merangkul Tania.

"Ayo!"

"Mama, Tante. Aku anterin Tania pulang dulu ya, nanti aku nyusul kok."

Tika dan Rumi sama-sama mengangguk.

"Hati-hati ya, jaga si cantik," ujar Rumi.

Aldo mengangguk. Nyatanya, dia masih tetap merangkul Tania membuat tubuh Tania merapat ke tubuhnya, terlihat begitu intim memang. Tetapi, itu dia lakukan semata menjaga Tania dari tatapan Dion.

"Dia siapa sih, Do? Gue takut," ujar Tania menunjukkan ekspresi takut.

Aldo menghela napas. "Enggak apa-apa, lo selalu aman sama gue. Oke?" katanya sembari mengelus pipi Tania.

...******...

Tari memberhentikan mobilnya tepat di depan gedung pencakar langit tempat tinggal Jean. Jean turun dari dalam mobil dan menemui Tari dari balik kaca mobil. Tari meletakkan sebagian sikunya keluar kaca mobil. Dia menyipitkan matanya karena sinar matahari sore mengarah tepat padanya.

"Makasih ya, Kak."

"Gue yang makasih sama lo karena mau nemenin gue."

"Iya udah, gue masuk dulu ya. Kak Tari hati-hati."

"Oke." Tari menutup kaca mobilnya, lalu setelahnya dia melajukan mobilnya.

Bertepatan dengan mobil Tari melaju pergi, sebuah mobil lain datang menuju basement. Jean mengernyit bingung, dia menelengkan kepala melihat mobil yang begitu familier.

"Itu mobilnya Aldo?"

Aldo keluar dari dalam mobil. Dia berjalan menuju Jean.

"Lho, lo ngapain? Kok masih pakai seragam?" tanya Jean melihat Aldo dari bawah hingga atas.

"Ngecek lo udah pulang atau belum."

Jean mengangguk. "Oh, urusannya udah selesai?"

"Iya," jawab Aldo mengangguk.

"Masuk, yuk."

...******...

Pintu lift terbuka menampakkan sosok Aldo dan Jean keluar dari dalam sana bersama dengan orang lain yang ikut menumpang.

"Saking buru-burunya urusan, lo sampai nggak sempet ganti baju?"

"Iya, terlalu mendesak."

"Kalau boleh tahu emang urusan apa?"

"Eumph ... kasih tahu nggak, yaaa?" Aldo menerawang ke atas.

"Enggak juga enggak apa-apa, kok."

Aldo menatap Jean. "Lo juga nanti tahu apa urusan gue."

"Lo nggak kasih tahu, gimana caranya gue tahu," protes Jean.

"Ada lah, setelah lo masuk apartemen lo bakal tahu. Lo tahu 'kan, gue tuh nggak bisa sembunyiin sesuatu dari lo."

Merasa berjalan sendirian, Aldo menoleh. Dia tidak melihat Jean di sampingnya, seolah-olah gadis itu lenyap begitu saja seiring dia berjalan. Tetapi nyatanya, Jean berhenti berjalan beberapa langkah di belakangnya.

"Lho, kenapa, Jean?" tanya Aldo.

Jean mendekatkan telunjuknya ke bibir pertanda untuk Aldo diam. Dia persis seperti maling yang akan melancarkan aksinya. Jean seperti sedang memperhatikan sesuatu. Samar-samar telinganya mendengar desas-desus orang di dalam apartemennya membuat dia berhenti melangkah.

"Lo dengar suara orang di dalam apartemen gue?"

Aldo mengernyit bingung. Setajam itukah indra pendengaran Jean? Dia sendiri tidak mendengar apa pun selain suara angin yang melintas.

"Enggak, halu kali lo. Ayo, masuk." Alih-alih menarik tangan Jean, justru dia yang ditarik Jean.

"Sssttt, jangan gegabah. Gue serius, Do. Mungkin aja itu hantu," ujar Jean.

Aldo mendesah berat. "Lo temenan sama Tania jadi ketularan virus nyebelin, ya?"

Sontak Jean berdiri tegap dan nyaris mengenai dagu Aldo. "Gue serius, Aldo. Jangan bawa-bawa Tania."

"Hem ... iya deh. Ayo, masuk. Percaya sama gue, nggak ada apa-apa. Oke?" ujar Aldo meyakinkan.

Jean menghela napas panjang. Dia menuruti perintah Aldo. Mungkin apa kata Aldo benar, dia hanya berhalusinasi. Tetapi semakin dia menuju pintu, desas-desus itu semakin kentara. Dia terus bilang pada Aldo, tetapi Aldo membantahnya. Bahkan ketika pintu itu tidak terkunci dan Jean mulai ketakutan dengan memegang lengan Aldo, lelaki itu justru terlihat tenang. Seolah tidak terjadi apa-apa.

Dan, pertanyaan Jean terjawab siapa yang berdesas-desus itu saat pintu apartemen terbuka. Sekujur tubuhnya terasa lemas melihat orang yang sangat dicintainya sedang duduk di ruang tamu. Mata Jean sudah lebih dulu digenang air sebelum dia memeluk tubuh orang itu.

"Mama."

...******...

Ada banyak hal yang ingin Jean ceritakan kepada ibunya. Tentang hari-harinya di sekolah, hari-harinya saat liburan, hari-hari bahagianya, bahkan hari-hari sedihnya yang selalu dilewati sendiri tanpa orang tua. Tetapi Jean tidak banyak berkata, dia lebih banyak menitikkan air mata bahagia dan mengelus tangan Rumi. Seolah dari sentuhan itu dia telah menyalurkan banyak hal pada ibunya. Bukankah telepati anak dan ibu selalu benar? Jean percaya kalau sekarang ibunya merasakan apa yang dirasakannya.

"Mama kenapa nggak bilang-bilang mau datang? Kalau bilang-bilang 'kan, aku bakal siapin sesuatu."

Rumi membelai pipi Jean. "Papa 'kan udah kasih clue. Mama sengaja nggak kasih tahu kapan tepatnya, biar surprise."

Jean tersenyum manis. "Aku kangen banget sama mama."

"Mama lebih," ujar Rumi. Dari sorot matanya saja Jean sudah percaya itu, ibunya lebih merindukannya dari dirinya. "Oh iya, mama ada sesuatu buat kamu." Rumi mengubrak-abrik isi tasnya dan mengeluarkan sebuah syal rajutan. Dia memasangkannya di leher Jean.

"Ini Mama buat sendiri?" tebak Jean.

Rumi mengangguk setelah memasang syal itu. "Kamu suka?"

"Ma ... lebih dari kata suka."

Terlalu lebay memang. Suasana ruangan ini mendadak jadi sangat melow dan dramatis. Tetapi itulah kerinduan. Ingin mengadukan banyak hal tetapi bingung memulainya dari mana. Hanya bisa dilewatkan melalui saluran telepati.

"Jean, selain tante sama Aldo, temen kamu juga ada yang ikut jemput mama kamu," ujar Tika.

"Oh iya, siapa?"

"Namanya itu ... duh, tante agak lupa." Tika mulai berpikir, mengingat nama gadis yang bersama Aldo.

"Tania." Jawaban itu kontan keluar dari mulut Aldo dan juga Dion. Suara berat mereka terdengar beradu.

"Nah, namanya Tania. Orangnya cantik dan manis," ujar Tika.

Alih-alih lanjut membicarakan soal Tania yang ikut menjemput Rumi, justru suasana ruangan ini berubah menjadi menegangkan sesaat sebelumnya sangat melow. Bagaimana tidak, Aldo dan Dion sama-sama melemparkan tatapan tajam.

Jean menatap ibunya bingung. Meminta kejelasan siapa pria yang jadi lawan tatap Aldo.

"Oh iya." Suara cempreng dan tepukan Rumi membuat tatapan antara Aldo dan Dion terputus.

"Ini namanya Dion, orang yang bakal jaga kamu. Kamu bisa panggil dia—"

"Kak, aja," potong Dion.

"Nah iya, kamu boleh panggil kakak."

Jean menatap Dion canggung, dan hal itu benar-benar tidak disukai Aldo. Apakah setelah ini Dion akan menggodai Jean setelah sebelumnya Tania?

Aldo mengepalkan tangan kuat. Berbagai asumsi buruk tentang Dion terlintas di benaknya. Dia tidak akan membiarkan itu terjadi. Dan, sekarang tanggungannya ada dua; Jean dan Tania.

...******...

Ada hal yang membuat Amanda kesal malam ini. Latihan cheers di dalam kamarnya terganggu karena Tania tiba-tiba meneleponnya.

"Lo ngapain latihan cheers malam-malam?"

"Udah deh, lupakan hal itu. Kenapa lo tiba-tiba telepon gue?"

Tania menghela napas panjang. "Lo tahu, nggak?"

"Enggak."

"Tadi gue pulang sama Aldo, tujuannya menghindari pulang sama kak Kevin."

"Terus?" Amanda membuka botol minumnya.

"Gue pikir Aldo mau langsung pulang. Ternyata dia mau ke bandara dulu sama nyokapnya, jemput nyokapnya Jean."

Amanda menaruh botol minumnya. "Terus?"

"Nyokapnya Jean datang sama om-om."

"Suaminya kali."

"Bukan, kata Aldo kayak semacam bodyguard gitu."

"Terus, lo mau minta bodyguard kayak Jean?"

Tania berdecak sebal. "Dengerin dulu, kebiasaan deh dipotong-potong ... orang itu lihatin gue terus. Dan, lo tahu apa yang buat gue kaget?"

"Dia perkosa lo?"

"AMANDA!" bentak Tania.

Amanda terkekeh. "Iya, maaf, bercanda. Apa yang buat lo kaget?"

Tania mendengus. "Aldo meluk gue," katanya spontan.

"Apa?"

"Nah lho, kaget juga, 'kan?"

Di seberang sana Amanda menggeleng, menepis keterkejutannya. "Lo bohong, 'kan? Mau ngibulin gue?"

"Gue serius. Besok gue cerita sesuatu sama lo dan Nabilla. Sekarang, gue mau mandi."

Amanda melirik jam dinding. "Gila lo, ini jam delapan malam dan lo—"

Tuttt! Tuttt!

Amanda berdecak sebal. Selalu saja Tania membuat orang kesal. Gadis itu langsung menutup sambungan telepon sepihak supaya menghindari omelan Amanda.

"Kampret!"

...******...

Tania membuka pintu gerbang rumahnya. Bertepatan dengan itu Kevin juga baru mengeluarkan motornya. Pria itu tersenyum dan melambaikan tangan pada Tania.

"Tania."

Tania berhenti melangkah dan menoleh pada Kevin.

"Mau bareng?"

Tania menggeleng. Dia bergegas pergi.

Kevin mengerutkan kening, bingung akan sikap Tania akhir-akhir ini. Dia pun segera mengejar Tania menggunakan motornya.

Sebetulnya Tania sudah tidak kesal lagi pada Kevin karena penjelasan Tari. Hanya saja dia ingin mencoba saran dari Nabilla yang tidak terlalu buruk.

"Yakin nggak mau bareng?"

Tania menoleh dan menemukan Kevin memelankan laju motornya agar sejajar dengan langkahnya.

Tania menggeleng.

"Lo kenapa? Sariawan? Atau impaksi gigi lagi?"

Tania membuang napas dan berhenti melangkah. Dia menoleh pada Kevin. "Kakak tumben datangnya nggak pagi-pagi?"

"Lo tumben nggak banyak tingkah?"

Tania mendengus. "Kak Kevin."

"Tania."

Tania menghela napas panjang. Kevin menatapnya dengan sorot halus membuat hatinya berdesir. Seolah-olah tatapan itu adalah obat bagi hati Tania. Tatapan Kevin secara tidak langsung menunjukkan bahwa dia memaksa Tania untuk ikut dengannya.

"Kak Kevin pengen banget berangkat sama gue?"

Kevin mengangguk. "Iya. Lo juga akhir-akhir ini agak aneh.

"Aneh gimana?"

"Sedikit alim, dan itu buat gue aneh. Lo kesal ya sama gue? Lo bisa unek-unek gue, kok."

Tania menghela napas.

Kevin memegang jari telunjuknya. "Gue minta maaf nggak bisa jadi sahabat yang pengertian. Lo bisa sampaikan unek-unek lo."

Tania menatap mata Kevin. Ada sorot bersalah yang tersirat di sana. Dan, saran Nabilla ternyata tidak begitu buruk. Persis seperti sekarang ekspektasinya—Kevin menatapnya dengan sorot bersalah.

...******...

Walaupun suasananya bising karena deru kendaraan saling beradu, tidak membuat indra pendengaran Kevin menuli. Dia masih tetap bisa mendengar ucapan Tania yang duduk di belakangnya.

"Jadi, lo marah karena gue dekat-dekat sama Tari? Dan lo cemburu karena gue ajak dia makan di restoran?"

Tania mengangguk. "Iya, waktu itu Kak Kevin cuma ajak gue makan di pinggir jalan. Sedangkan sama kak Tari di restoran."

Kevin terkekeh geli. "Gue nggak ada apa-apa sama Tari—"

"Iya tahu, kak Tari udah cerita kok."

Kevin mengernyit. "Cerita?"

"Iya, dia jelasin semuanya ke gue. Jadi, Kakak nggak perlu jelasin ulang. Kakak peka 'kan maksud gue?"

Kevin tersenyum simpul. Dia mengelus punggung tangan Tania yang melingkar di pinggangnya. "Iya, maaf ya udah buat lo kesal. Janji deh nggak ngulangin lagi."

Tania tersenyum manis. Merasakan elusan tangan Kevin begitu nyaman, seperti berada di atas awan. "Jadi, kapan Kakak ajak gue makan di restoran?"

"Eumph ... kapan, ya? Bulan depan aja, deh."

"Kak Kevin!"

...******...

Kalau Tania sudah bisa memulihkan hatinya yang sempat berkeadaan tidak baik, maka lain halnya sekarang dengan Aldo. Pria itu memasuki fase di mana hari-harinya akan penuh dengan kekesalan.

Pagi ini Tika sudah mengingatkan Aldo untuk tidak menjemput Jean. Tetapi pria itu kukuh untuk mewujudkan keinginannya. Alhasil, saat di basement terjadi sedikit pertikaian antara Aldo dan Dion.

"Saya harus menjalankan tugas saya, mohon jangan ganggu," kata Dion.

"Kalau gitu gue ikut mobil lo," kata Aldo.

Jean menatap Dion dan Aldo bergilir. "Eh, ini ada apa sih? Kenapa jadi ribut?"

Dion mengembuskan napas. Dia lebih memilih membukakan pintu mobil untuk Jean daripada membalas tatapan tajam Aldo.

"Nona Jean, ayo masuk. Nanti kita telat."

Aldo mengepalkan tangannya. Rahangnya sudah mulai mengeras.

Jean menghadap Aldo. "Gue baik-baik aja, Aldo. Lo bisa ikuti mobilnya dari belakang."

Aldo menatap Jean. "Jean—"

"I'm okay, don't worry." Jean meyakinkan Aldo bahwa yang terjadi akan baik-baik saja.

Aldo menghela napas panjang. Dia mengangguk membuat Jean balik badan dan segera masuk ke dalam mobil.

Dion menutup pintu mobil. Ternyata Aldo masih mengawasi pergerakannya. Dion tersenyum miring dan sedikit mendekat pada Aldo.

"Saya tidak akan melakukan apa pun pada atasan saya. Tapi mungkin pada gadis cantik dan manis itu." Setelah mengatakan itu Dion masuk ke dalam mobil.

Sontak Aldo menggertakkan giginya dan mengepalkan tangan. Rahangnya sudah mengeras pertanda emosinya sudah naik. Dia mengikuti gerak mobil Alphard yang mulai menjauh.

...******...

Sedari tadi Tania terus mengembangkan bibirnya membuat Amanda dan Nabilla yang duduk di depannya mengernyit bingung. Gadis itu seperti orang yang baru kasmaran. Seolah pelangi baru saja muncul setelah sebelumnya hujan badai.

"Tania, jangan kayak orang gila, deh. Lo dilihatin seisi kantin," tegur Nabilla.

"Jangan-jangan, lo baper lagi sama Aldo, ya?" ujar Amanda membuat Nabilla kontan menoleh ke arahnya.

"Apa? Gue nggak salah dengar?"

Amanda mengedikkan bahu. "Tanya aja sama temen di depan lo." Amanda menunjuk Tania dengan dagunya.

Nabilla memutar bola mata yang terkejut kepada Tania. "Cepat banget lo pindah haluan."

Tania meletakkan sendok dan garpunya. "Kalian berdua tahu nggak, sih?"

"Nggak tahu dan nggak mau tahu."

"Jangan ladeni Amanda. Gue mau tahu, kok."

Tania tersenyum manis. "Lo emang sahabat gue yang paling baik, Bil. Berkat saran lo itu, kak Kevin balik lagi sama gue." Tania berjingkrak senang.

"Iyalah, siapa dulu yang kasih solusi." Nabilla menyombongkan diri.

Amanda memutar bola matanya malas. "Haduh, Tania, pusing banget gue urusan hati lo. Semalam lo mesem-mesem ceritain Aldo."

"Eh, gue belum ceritain ya," ketus Tania.

"Tunggu." Nabilla mengangkat tangannya. "Lo mesem-mesem sama Aldo? Maksudnya, lo—baper sama dia?" tebak Nabilla.

Tania menghela napas panjang. Dia bertopang dagu dan menatap lurus ke depan—pada Aldo yang sedang makan bersama teman-temannya.

"Aldo itu aneh, gue nggak tahu dia manusia spesies apa. Dia bisa buat gue kesal, buat gue deg-degan, dan buat gue merasa kayak terbang ke khayangan." Tania mulai mendramatisir keadaan membuat Amanda berlagak muntah.

"Apaan sih, lo ngayal ya?" ujar Nabilla.

Tania menggeleng. Dia masih setia menatap Aldo dengan seulas senyum. "Serius, kalau pertanyaannya suka atau enggak ... mungkin lagi prosesnya."

"Enggak usah ngaco Tania, gue udah duga kalau semalam lo bohong.

Tania menggebrak meja. "Gue serius, kenapa kalian nggak percaya. Dan kalian tahu? Gue kalau lihat mata dia tuh ... nggak bisa dideskripsikan dengan kata-kata," ujar Tania.

Amanda mendengus kesal. "Please, Tania. Lo jangan hancurkan hubungan baik antara Aldo dan Jean. Kalau lo sampai kayak gitu, sama aja kayak asumsi lo ke kak Tari."

Alih-alih mendengarkan ucapan Amanda, Tania justru menatap pesona Aldo dari jauh. Dan ketika pria itu menatapnya balik, Tania segera pindah duduk—beralih di samping Nabilla yang sedang menasihatinya.

"Ih, Tania, kenapa sih?" katanya ketika Tania tergesa-gesa duduk di sampingnya.

"Aldo natap gue."

"Terus?"

"Gue jadi salting."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!