Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Milenium Baru, Masalah Baru
...“Hidup orang Manado itu terkadang pedas, sepedas makanannya. —Wynna Pingkan Arina”...
Senin, 3 Januari 2000. Milenium baru! Pertukaran tahun, abad dan milenium berlangsung biasa saja. Tidak ada drama. Isu ‘Y2K’ atau millenium bug yang dikhawatirkan akan menyebabkan kegagalan sistem komputer secara global pun tak terjadi.
Begitu juga dengan isu kiamat. Matahari masih terbit dari timur, burung-burung pun masih berkicau seperti biasanya. Tak terkecuali pagi hari ketiga milenium ketiga itu.
Dion baru saja selesai mandi pagi, tubuhnya masih segar dengan sisa-sisa embun yang melekat di kulit. Perutnya mulai menggerutu, mengingatkan bahwa sudah saatnya berburu sarapan di sekitar rumah kontrakannya. Namun, langkahnya mendadak terhenti ketika matanya menangkap sosok yang tak asing turun dari sebuah taksi.
Wina berdiri di sana, melangkah ringan mendekati pagar rumah dengan senyum yang selalu membuat hatinya bergetar. Dion mengejapkan mata, memastikan bahwa ini bukan sekadar ilusi akibat rasa lapar.
“Dion!” panggil Wina ceria, melambaikan tangan.
“Wina? Kenapa kamu di sini? Kapan sampainya?” Dion masih tak percaya sambil membuka pagar untuk kekasihnya itu.
“Mau inspeksi mendadak. Kage-kage Dion simpan cewe laeng di rumah,” godanya, sebelum menyerahkan dua kantung plastik ke tangan Dion yang sigap menerima.
Dion menahan tawa, namun diam-diam menikmati momen ini. Alih-alih membuka pagar sepenuhnya, ia hanya menyisakan celah sempit, memaksa Wina merapat ketika melewatinya. Di detik yang begitu singkat itu, Dion mencuri kesempatan, mengecup lembut pipi Wina.
“Ih, nanti ada yang lihat!” protes Wina dengan pipi sedikit merona, buru-buru melangkah masuk ke rumah. Dion hanya tertawa, menutup pagar sebelum mengikuti Wina ke teras.
Ia meletakkan kantung plastik di meja dan mengintip isinya dengan penuh rasa ingin tahu. “Wina bawa apa nih? Banyak banget!”
“Kukis deng nasi goreng voor smokol. Belum sarapan, toh?” jawab Wina yang semakin terbiasa menggunakan dialek Manado pada Dion seraya membuka plastiknya. Aroma gurih langsung menyeruak, menggoda perut Dion yang semakin memberontak.
Dion menghela napas dramatis. “Belum, tadi baru mau cari makan. Wah, ini bikin ngiler. Wina yang masak?”
Wina mengangguk bangga.
“Lho, ada dua? Wina juga belum makan?” kata Dion menyadari ada dua porsi di sana.
“Belum! Suka mo smokol deng Dion.”
Dion tertawa kecil, bergegas masuk ke dapur. “Tunggu sebentar ya, aku ambilin sendok!”
Namun baru beberapa langkah di ruang tengah, ia menyadari Wina juga mengikutinya masuk ke dalam rumah. Dion membalikkan badan dan kaget ketika tiba-tiba Wina berlari dan melompat ke arahnya.
Dion menangkap tubuh Wina yang bergelantungan dengan melingkarkan kakinya di pinggang Dion sementara tangan berpegangan pada leher Dion. Persis seorang anak yang melompat pada ayahnya.
Keduanya lalu saling melepas rindu. Berciuman untuk waktu yang lama.
Setelah bibir terlepas, mereka saling menatap tanpa bicara dan kemudian kembali bercumbu mesra melepas rindu.
“Ini untuk ulang tahun, yang ini untuk natal, dan yang ini untuk tahun baru,” kata Wina menciumi kedua pipi kemudian dahi Dion.
Sesaat setelah menuruni tubuh Dion, Wina kembali memeluk Dion.
“Aku sangat rindu Wina,” ucap Dion sambil menekan pipinya pada rambut gadis itu. Wina menoleh ke atas untuk melihat wajah kekasihnya dan disambut ciuman Dion pada keningnya.
Tapi itu hanya sesaat, Dion kemudian kembali menciumi bibir Wina. Keduanya pun kembali berpagutan untuk beberapa saat.
Ciuman Dion kemudian berpindah ke leher dan telinga membuat gadis itu mendesah kegelian. Tapi ia malah memegangi kepala Dion seakan tak ingin pemuda itu berhenti mencumbuinya.
Dion yang merasa perubahan pada tubuhnya tiba-tiba menghentikan cumbuan dan melepas pelukan. Dengan napas memburu ia menatap Wina sesaat sebelum membalikkan badan.
Cumbuan mereka barusan hampir membuat Dion kehilangan kendali. Napasnya memburu, jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, dan tubuhnya, tanpa bisa dikendalikan, merespons keintiman yang baru saja mereka bagi. Wina tentu saja menyadari perubahan itu. Bukannya mengabaikan, ia justru memilih untuk menggodanya.
“Wina yang ambilin sendok deh, lapar nih,” ujar Dion tiba-tiba, suaranya terdengar sedikit tergesa.
Wina menyipitkan mata, bibirnya melengkung nakal. Ia tahu betul kenapa Dion buru-buru mengalihkan perhatian. Namun, alih-alih menuruti, Wina justru semakin jahil.
“Eh, ada sesuatu di wajah Dion,” katanya dengan nada polos, berusaha memancing agar Dion menoleh padanya.
Namun, bukannya menanggapi, Dion justru pura-pura tidak dengar. Ia terus melangkah menuju teras dengan langkah yang sedikit lebih cepat dari biasanya.
“Sekalian bikinin kopi!” serunya, setengah berteriak.
Wina menahan tawa, tapi tetap melanjutkan aksinya. “Dion kenapa sih? Kok aneh?” tanyanya, seolah-olah benar-benar tidak tahu apa yang terjadi.
Dion mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Cooling down.”
Jawaban itu membuat Wina meledak dalam tawa geli.
Setelah suasana kembali tenang, mereka pun menikmati sarapan bersama di teras. Aroma nasi goreng yang masih hangat bercampur dengan udara pagi yang segar, menciptakan suasana yang sempurna untuk berbagi cerita.
Dion mengunyah suapan pertamanya lalu menatap Wina penuh rasa ingin tahu. “Jadi, selama libur akhir tahun kemarin, Wina ngapain aja?”
Wina memang menghabiskan libur akhir tahun bersama keluarganya di Jakarta. Ia berangkat ke sana sehari sebelum ulang tahunnya bersama neneknya. Ibu Wina bersikeras merayakan ulang tahun anak gadisnya itu di Jakarta.
“Habisin dulu sarapannya, nanti Wina cerita,” kata Wina tiba-tiba sendu.
“Napa tambah depe rica. Kita da beking tuh pagi-pagi skali,” katanya lagi sambil menambahkan sambal ulek ke piring Dion.
Pemuda itu menyadari perubahan tiba-tiba pada raut wajah Wina. "Kenapa tiba-tiba tambah sambal banyak begitu? Ini pasti pedas sekali," protesnya ringan.
“Kalau mau punya istri orang Manado harus latihan makan pedas,” ujar Wina membuat Dion menebak-nebak mengapa kekasihnya tiba-tiba berkomentar begitu.
“Hidup orang Manado itu terkadang pedas. Sepedas makanannya,” lanjut Wina sambil memakan nasi gorengnya. Tampaknya gadis itu sedang memikirkan sesuatu.
Dion tak bisa menebak hal apa yang membuat Wina risau. Ingin segera mendapatkan jawaban, Dion menghabiskan sarapannya dengan cepat. Tanpa sadar, ia justru menghabiskan semua sambal ulek yang tadi ditambahkan Wina.
Rasa pedas pun menyerang. Dion menghabiskan air minum tapi rasa pedas itu tak juga hilang. Ia menghembus-hembuskan napas meniup bibirnya sendiri untuk mengurangi rasa yang menyengat itu.
“Siapa suruh makan sambal sekaligus?” ledek Wina sambil tertawa geli melihat tingkah Dion. Ia lalu memberikan gelasnya sendiri pada Dion.
Setelah meminum air pemberian Wina, Dion merasa pedas di mulutnya berkurang banyak dan kini merasa sedikit lega.
“Ah, kalau cuma sambal segitu mah gampang. Sepertinya aku sudah lulus dan siap punya istri Manado,” ucap Dion sombong. Wina hanya memandanginya lalu melanjutkan sarapan.
Tapi rasa pedas kembali menyerang. Dion membuka mulutnya dan meniup napas berulang-ulang dengan cepat. Dion mencari air putih tapi kedua gelas di depannya sudah kosong. Ia menyambar kopi dan meminumnya. Tapi kopi panas itu segera membakar lidah dan memperparah keadaan.
Sambil tertawa, Wina melangkah ke dapur untuk mengambil teko air putih serta toples gula dan sendok.
“Gampang. Sudah lulus, siap punya istri Manado,” sindir Wina dengan mengulangi kata-kata Dion.
“Minum jo! Kong makang depe gula rupa makang gula-gula!” Wina memberi instruksi menggunakan dialek Manado. Dion pun menurutnya.
Sambil senyum-senyum Wina menghabiskan sisa sarapannya. Ia sangat merindukan pemuda itu. Padahal hanya tidak bertemu selama dua minggu.
“Semuanya baik-baik. Apalagi Theo juga datang. Kami sekeluarga banyak menghabiskan waktu bersama, mulai dari ulang tahun, natal dan malam tahun baru,” Wina mulai bercerita tentang liburan akhir tahun keluarganya.
“Tapi keadaan berubah cepat ketika Mami dan Oppung bertengkar hebat sehabis makan siang tahun baru kemarin. Oppung memutuskan pulang lebih cepat karena pertengkaran itu. Papi memintaku menemani Oppung,” ungkap Wina.
“Ah pasti serius sampai-sampai Oppung minta pulang lebih cepat,” ujar Dion yang sebenarnya tidak ingin mencampuri urusan keluarga Wina.
“Mami tiba-tiba marah ketika mendapat laporan dari Oppung soal hubungan kita,” tutur Wina dengan nada lirih setelah diam beberapa saat.
“Terlebih-lebih ketika mengetahui ternyata Papi sudah lebih dahulu mendapat laporan dari Oppung sejak Oktober lalu. Mami merasa diabaikan dan disepelekan,” Wina melanjutkan ceritanya.
“Wina harus tetap fokus pada kuliah supaya nilainya tidak drop,” kata Dion yang sempat mengira hal itu berkaitan dengan akademik Wina.
“Bukan itu. Mama marah karena Dion… ,” kalimat Wina terputus karena tak sanggup menyelesaikannya.
“Oh!” gumam Dion setengah mengangguk mengisyaratkan ia sudah paham dan Wina tak perlu melanjutkan kalimatnya.
Meskipun tidak diceritakan secara detil, Dion sudah bisa menduga permasalahannya, pasti karena statusnya yang yatim piatu. Sejenak ia merasa berkecil hati tapi tak ingin menunjukkannya pada Wina.
“Tidak mengapa. Aku malah akan surprise kalau sebaliknya orang tuamu merestui hubungan kita dengan mudah,” hibur Dion setelah keduanya berdiam sesaat.
“Bukan untuk pertama kali juga orang menilaiku begitu meskipun untuk alasan berbeda. Jadi Wina nggak usah merasa terlalu terbeban. Ini beban kita bersama toh?” Dion berusaha menyemangati kekasihnya itu.
“Mudah-mudahan angin baik akan bertiup ke arah kita dan ibumu berubah sikap,” harap Dion.
“Bagaimana kalau Mami nggak pernah setuju dan melarang? Mami itu keras hati,” keluh Wina.
Dion tak ingin mendebat Wina. Lagipula ia tak mengenal karakter ibu Wina. “Kita pikirkan pelan-pelan saja,” jawabnya lirih.
Akhirnya mereka berdua hanya terdiam larut dalam pikiran khawatir.
Tak ingin kekasihnya semakit larut memikirkan permasalahan itu, Dion mencari ide untuk menghiburnya.
“Hari ini kita ke pantai, yuk!” ajak Dion bersemangat memecah keheningan sambil berjalan ke samping rumahnya yang merupakan akses ke kamar Dion.
“Look what I’ve got here!” seru Dion menunjuk pada sesuatu di depan kamarnya.
Melihat pemuda itu yang bersemangat, Wina pun beranjak dari tempat duduknya dan mencari tahu benda yang ditunjuk.
“Ha! Sepeda motor. Dion baru beli, kah?” tanya Wina.
“Bukan. Ini motor taktis redaksi. Kantor menyediakan dua motor dan satu mobil yang disiagakan kalau-kalau dibutuhkan untuk keperluan liputan mendadak,” jelas Dion.
“Trus kenapa Dion bawa ke rumah?” tanya Wina memandangi sepeda motor bebek hitam dengan strip oranye itu.
“Wartawan lebih suka menggunakan motor pribadi atau mobil. Motor ini berdebu dan rusak tidak bisa dihidupkan karena sudah lama hanya terparkir,” jelas Dion.
“Aku diperbolehkan menggunakannya asalkan mau memperbaiki, tidak melakukan perubahan dan setiap saat bersedia mengembalikannya ke kantor,” tambahnya lagi.
“Dion, ayo kita naik motor! Wina belum pernah naik ini soalnya. Tapi Dion punya SIM kan?” tanya Wina bersemangat.
“Ada dong! Dikeluarkan oleh Polda Riau masih berlaku sampai tahun depan,” jawab Dion bangga.
“Tapi Wina salah kostum nih kalau ke pantai,” keluh Wina sambil memandangi dirinya yang mengenakan kemeja biru muda berlengan pendek dan jeans biru tua.
“Ah kamu ini Aussie banget! Orang Indonesia tuh nggak peduli dengan kostum pantai. Wina selalu cantik pakai kostum apa saja di mana saja,” kata Dion membuat Wina merasa senang.
“Aku mau pakai kemeja gelap biar sama-sama salah kostum,” tambah Dion sambil membuka kunci pintu kamarnya.
“Ini kamarmu yah?” tanya Wina.
Tanpa menunggu jawaban, Wina mendorong pintu yang baru dibuka oleh Dion dan masuk terlebih dahulu.
“Aku mau ganti baju,” Dion protes.
“Tapi Wina mau inspeksi dulu,” Wina bersemangat memandangi kamar Dion.
“Kita nyanda simpang cewe laeng. Kita pe sayang cuma pa ngana, Nona!” Dion berusaha meyakinkan kekasihnya bahwa ia tak menyimpan sesuatu di kamar itu.