NovelToon NovelToon
Cinta Untuk Nayla & Nando

Cinta Untuk Nayla & Nando

Status: tamat
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:207
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16: Kebenaran yang Menyakitkan

​Pagi harinya, suasana di Presidential Suite RS Permata terasa damai. Nenek Ijah sudah sadar sepenuhnya, meski masih lemah. Ia sedang menyantap bubur halus sambil menonton TV layar datar yang menempel di dinding.

​"Nayla, ini beneran rumah sakit? Kok kayak hotel?" tanya Nenek Ijah polos. "Berapa biayanya, Nduk? Jangan-jangan kita harus jual tanah kuburan Bapakmu di kampung?"

​Nayla yang sedang mengupas apel tersenyum menenangkan, meski hatinya masih gundah. "Nggak, Nek. Ini ditanggung asuransi kantor kok. Kantor Nayla kan perusahaan besar."

​"Alhamdulillah... Mas Adit mana? ."

​"Mas Adit udah berangkat kerja, Nek. Katanya ada urusan mendadak di kantor."

​Sebenarnya, Adit pamit pagi-pagi sekali karena harus memimpin rapat direksi. Ia berjanji akan datang lagi sore nanti. Nayla sendiri izin datang terlambat ke kantor untuk mengurus administrasi pagi ini.

​Saat Nayla berjalan ke bagian administrasi untuk menyerahkan berkas KTP, ia berpapasan dengan seorang perawat yang sedang bergosip dengan resepsionis.

​"Iya, beneran Pak Adit CEO Rahardian Group. Ganteng banget aslinya ya, lebih muda dari di majalah," bisik perawat itu.

​Nayla menghentikan langkahnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia ingin bertanya, tapi kakinya terasa berat. Ia memilih menepisnya. Mungkin nama Adit pasaran. Mungkin ada pasien lain yang namanya Adit.

​Nayla menyelesaikan urusannya dan bergegas menuju kantor. Ia harus bekerja ekstra keras hari ini untuk membayar kebaikan Adit—siapapun dia sebenarnya.

​Pukul 11.00 WIB, Lantai 15 Rahardian Tower.

​Nayla baru saja duduk di kubikelnya ketika Vina menghampirinya. Tidak ada senyum sinis atau sindiran kali ini. Wajah Vina datar, dingin, dan serius. Di tangannya ada sebuah tablet.

​"Nay, ikut aku ke ruang meeting kecil. Sekarang. Ada yang perlu kita omongin soal kerjaan," perintah Vina.

​Nayla menurut. Ia pikir ini soal data kemarin.

​Begitu mereka masuk ke ruang meeting yang kedap suara, Vina mengunci pintu. Ia mematikan lampu utama, membiarkan ruangan hanya diterangi cahaya proyektor yang mati dan bias sinar matahari dari jendela.

​"Ada apa, Mbak Vina?" tanya Nayla bingung.

​Vina berbalik, menatap Nayla dengan tatapan yang aneh. Campuran antara kasihan dan kemenangan.

​"Gimana kabar Nenek lo? Udah baikan di kamar Presidential Suite?" tanya Vina.

​Nayla tersentak. "Kok Mbak Vina tau Nenek masuk kamar itu? Saya belum cerita ke siapa-siapa."

​Vina tertawa kecil tanpa humor. "Satu kantor juga bakal tau bentar lagi, Nay. Berita kalau 'pacar' lo masukin nenek lo ke kamar seharga 25 juta per malam itu udah nyebar."

​"25 juta...?" Wajah Nayla pucat. Adit bilang asuransi yang menanggungnya.

​"Nay, Nay..." Vina menggelengkan kepala, berjalan mendekat. "Lo itu polos apa bodoh sih? Lo beneran percaya 'Mas Adit' lo itu cuma staf Pengawas Umum yang punya tabungan TKI?"

​"Maksud Mbak apa?" suara Nayla mulai bergetar.

​Vina menyalakan layar tabletnya. Ia menunjukkan sebuah foto artikel bisnis online yang terbit dua tahun lalu. Judulnya: "Pewaris Tunggal Rahardian Group Kembali ke Tanah Air untuk Pimpin Perusahaan."

​Di artikel itu, ada foto seorang pria muda mengenakan setelan jas mewah, sedang memotong pita peresmian gedung. Wajahnya sedikit lebih muda, rambutnya lebih rapi, tapi senyum itu... mata itu...

​Itu Adit.

​Nayla mematung. Dunia di sekelilingnya seolah berputar. Napasnya tercekat di tenggorokan.

​"Aditya Rahardian," baca Vina lantang. "Pemilik gedung ini. Pemilik rumah sakit tempat nenek lo dirawat. Orang yang gajinya per menit mungkin lebih gede dari gaji kita setahun."

​Vina menggeser layar tablet, menunjukkan foto lain. Foto candid yang diambil Vina diam-diam saat Adit naik ke mobil Alphard Pak Darmawan.

​"Liat. Direktur Keuangan aja jadi sopirnya. Lo pikir staf biasa bisa kayak gitu?"

​Nayla mundur selangkah, menabrak meja rapat. "Enggak... Mas Adit bilang dia..."

​"Dia bohong, Nay!" sentak Vina keras. "Dia bohongin lo dari awal! Dia main sandiwara! Lo tau kenapa? Karena bagi orang kaya kayak dia, hidup orang miskin kayak kita itu cuma hiburan! Eksperimen sosial!"

​Kata-kata Vina bagaikan belati yang menusuk dada Nayla bertubi-tubi.

​"Dia pura-pura makan di pantry, pura-pura naik ojol, pura-pura seneng makan bekal lo... itu semua cuma permainan buat dia, Nay. Mungkin dia bosen sama hidup mewahnya, terus ketemu janda miskin yang gampang dibego-begoin, dan dia pikir, 'Wah seru nih main rumah-rumahan'."

​"Cukup, Mbak!" teriak Nayla, air mata mulai mengalir deras di pipinya. "Mas Adit nggak kayak gitu! Dia tulus sayang sama Nando!"

​"Tulus?" Vina mencibir. "Kalau dia tulus, dia nggak bakal biarin lo ngutang budi sebesar ini tanpa lo tau siapa dia sebenernya. Bayangin Nay, pas lo tawarin dia nasi goreng di pantry, dalem hati dia pasti ketawa ngejek kemiskinan lo."

​Vina mendekatkan wajahnya ke wajah Nayla, memberikan serangan terakhir.

​"Sadar diri, Nayla. Cinderella itu cuma ada di dongeng. Di dunia nyata, pangeran nggak bakal nikahin upik abu. Paling cuma dijadiin simpenan sebentar, terus dibuang pas dia bosen. Lo mau Nando punya ayah yang cuma anggep ibunya mainan?"

​Pertahanan Nayla hancur lebur.

Rasa malu, marah, dan kecewa bercampur menjadi satu.

​Ia merasa sangat bodoh. Sangat kerdil.

​Bayangan saat ia mentraktir Adit teh manis, saat ia memberikan bekal sederhana, saat ia melarang Adit membeli balon mahal... semua memori itu kini terasa memalukan. Adit pasti menertawakannya dalam diam.

​Nayla mendorong Vina menyingkir, lalu berlari keluar dari ruang meeting.

​"Nay! Mau ke mana?!" seru Rian yang melihat Nayla berlari sambil menangis.

​Nayla tidak peduli. Ia berlari menuju lift. Ia harus pergi. Ia tidak bisa berada di gedung ini satu detik pun lagi. Gedung milik pria yang telah mempermainkan hidupnya.

​Di lantai 40.

​Adit sedang menandatangani berkas saat perasaannya tiba-tiba tidak enak. Ia meletakkan pulpennya, lalu mengambil ponsel. Ia ingin menelepon Nayla, menanyakan kabar Nenek.

​Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.

​Adit mengerutkan kening. Tumben Nayla mematikan ponsel di jam kerja.

​Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk keras. Pak Hadi HRD masuk dengan wajah panik.

​"Pak Adit! Gawat Pak!"

​"Ada apa, Pak Hadi? Tenang dulu."

​"Barusan... satpam lobi lapor. Bu Nayla lari keluar gedung sambil nangis histeris. Dia ninggalin tas kerjanya, cuma bawa dompet sama HP. Dia... dia nyetop taksi dan pergi."

​Adit langsung berdiri, kursinya terdorong ke belakang dengan keras.

​"Apa?!"

​"Dan menurut laporan CCTV lantai 15... sebelum lari, Bu Nayla sempat masuk ruang meeting berdua dengan Bu Vina selama sepuluh menit."

​Rahang Adit mengeras. Tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih.

​Vina.

​"Siapkan mobil saya. Sekarang!" perintah Adit menggelegar.

​Ia tidak lagi peduli pada rapat, pada citra, atau pada apapun. Ia berlari menuju lift VIP.

​Di dalam lift yang membawanya turun dengan cepat, Adit memukul dinding besi lift itu dengan frustrasi.

​"Bodoh! Harusnya aku jujur dari kemarin!" rutuknya pada diri sendiri.

​Ia tahu, Nayla bukan tipe wanita yang akan marah karena dia kaya. Nayla marah karena dibohongi. Bagi wanita yang harga dirinya setinggi langit seperti Nayla, kebohongan Adit adalah penghinaan terbesar—seolah-olah Nayla tidak pantas dipercaya dengan kebenaran.

​Sementara itu, di dalam taksi yang membawanya entah ke mana, Nayla menangis tersedu-sedu. Ia memeluk dirinya sendiri.

​Ponselnya ia matikan. Ia tidak mau mendengar suara Adit. Ia tidak mau mendengar penjelasan apapun.

​"Mas Adit jahat..." isaknya lirih. "Jahat..."

​Hujan mulai turun membasahi Jakarta, menyamarkan air mata seorang ibu yang hatinya baru saja dipatahkan oleh harapan yang terlalu tinggi.

...****************...

Bersambung....

Terima kasih telah membaca 💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!