NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 16

Dewi terbaring lemah di atas kasur empuk dengan seprei putih bersih. Tubuhnya tak mampu bergerak banyak, bahkan untuk sekadar membalikkan badan pun terasa menyakitkan. Kelelahan, luka, dan tekanan mental membuatnya seperti mayat hidup. bernapas, tapi tanpa semangat.

Pintu kamar terbuka perlahan. Seorang pria berseragam putih masuk, membawa koper kecil berisi alat-alat medis. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi. Ia adalah dokter pribadi Rafael, orang yang konon selalu ada setiap kali Rafael ingin memastikan kondisi seseorang... atau menentukan ajalnya.

Mata Dewi yang sayu menangkap sosok pria itu dengan tatapan takut dan muak. Meski tak sekejam Rafael secara terang-terangan, ada aura gelap yang sama kuatnya dalam sorot mata sang dokter. Ia menatap tubuh Dewi seolah hanya menilai kerusakan mekanis pada benda mati. Tidak ada simpati. Tidak ada belas kasihan. Hanya tugas.

Dengan tenang, dokter itu membuka koper dan mengenakan sarung tangan. Ia tak berbicara banyak, hanya sesekali memberi instruksi singkat pada perawat pendamping yang mengatur infus dan tekanan darah Dewi. Namun dalam diamnya, Dewi merasa ketakutan lebih besar daripada teriakan Rafael.

Ia pernah mendengar dari para penjaga—tentang bagaimana dokter ini menjadi tangan kanan Rafael dalam urusan “penghabisan.” Orang-orang yang berkhianat pada Rafael, yang katanya bunuh diri di dalam tahanan, nyatanya tewas dengan suntikan dari tangan dingin pria ini. Bahkan ketika Rafael merasa terlalu malas untuk mengotori tangannya, dokter ini yang menyelesaikan pekerjaan kotornya.

Sekarang, pria itu berdiri di sampingnya, memeriksa denyut nadinya dengan wajah dingin dan penuh perhitungan. Dewi merasa seperti tawanan yang sedang diukur waktu matinya. Ia ingin berteriak, ingin memohon, ingin kabur. Tapi tubuhnya terlalu lemah. Bahkan suara pun tak mampu keluar.

Lingkungan tempat ia kini tinggal bukan lagi rumah atau tempat perlindungan. Ini adalah sangkar besi, di mana bahkan dokter pun menyimpan kengerian yang tak bisa dibicarakan. Tak ada yang benar-benar hidup di sini. hanya bertahan. Termasuk dirinya.

Suara engsel pintu yang berdecit pelan memecah keheningan di ruangan itu. Dewi mencoba menggerakkan kepala, walau hanya sedikit, saat langkah berat dan mantap terdengar memasuki kamar.

Rafael muncul di ambang pintu, mengenakan setelan jas hitam pekat yang disetrika rapi tanpa cela. Rambutnya tersisir ke belakang, seolah setiap helainya tunduk pada kendalinya. Tubuhnya tinggi, tegap, dan posturnya menciptakan aura dominan yang membuat ruangan terasa lebih sempit. Andai saja dia bukan pria yang dingin dan kejam... mungkin Dewi bisa jatuh cinta padanya. Tapi tatapan mata itu. tajam, beku, dan penuh hitung-hitungan. memupus segala ilusi.

Rafael berjalan perlahan menghampiri ranjang tempat Dewi terbaring, lalu berhenti di samping dokter yang masih memeriksa denyut nadi Dewi.

Tanpa menoleh pada wanita yang dipanggilnya "istri," Rafael bertanya dengan suara dalam dan datar,

“Bagaimana kondisi istriku?”

Dokter itu tak langsung menjawab. Ia mencatat sesuatu di clipboard nya sebelum berkata dengan nada tenang,

“Secara fisik, stabil. Namun ada trauma psikologis yang cukup berat. Tidurnya terganggu, jantungnya tidak teratur saat disentuh atau didekati.”

“Apakah dia bisa bicara?” tanya Rafael, mata tajamnya menatap Dewi sejenak.

“Belum. Tekanannya terlalu besar. Bahkan jika dia bisa bicara pun, saya tidak yakin dia akan berkata apa-apa.”

Rafael mendekat ke sisi ranjang. Matanya memandangi wajah Dewi yang pucat. Sekilas, ada sesuatu dalam sorotnya. bukan kasih sayang, tapi rasa ingin tahu, atau mungkin… kekecewaan.

“Apa yang dia pikirkan, dokter?” tanya Rafael tiba-tiba.

Dokter mengangkat alis, sedikit terkejut dengan pertanyaan yang lebih filosofis daripada medis.

“Dia takut. Itu jelas. Tapi di balik ketakutan itu, saya pikir dia membenci Anda.”

Rafael tertawa kecil, dingin dan kosong.

“Benci adalah emosi yang kuat. Itu lebih baik daripada tidak merasakan apa-apa.”

“Kalau begitu, Anda berhasil,” jawab dokter datar. “Dia merasakannya.”

Rafael mengangguk pelan, lalu bersandar sedikit sambil menyelipkan tangan ke saku jasnya.

“Kau tahu, Dok, dulu aku pernah percaya bahwa ketakutan bisa membuat seseorang tunduk. Tapi ternyata, untuk beberapa orang... ketakutan justru melahirkan perlawanan.”

Dokter menoleh padanya.

“Dan Anda menyukai itu?”

Rafael menatap Dewi lagi.

“Aku menghargai yang bertahan. Yang berani melawan… hanya agar bisa hidup satu hari lagi. Itu menunjukkan bahwa mereka masih hidup.”

Dokter menyelesaikan catatannya dan menutup clip board.

“Kalau begitu, istrimu adalah wanita yang masih sangat hidup, Rafael.”

Rafael tersenyum kecil, namun dinginnya tak pernah hilang dari sorot mata. Ia menunduk, menatap wajah Dewi yang terdiam namun penuh luka di mata.

“Apa kau akan bertahan, Dewi?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.

“Atau kau akan mati perlahan seperti yang lainnya?”

Tidak ada jawaban. Hanya helaan napas pelan dari tubuh lemah di atas ranjang.

Rafael berdiri lurus kembali, lalu menoleh pada dokter.

“Kau tetap di sini. Pastikan dia tidak mati tanpa seizinku.”

Dokter mengangguk. “Tentu saja.”

Rafael berjalan keluar tanpa berkata-kata lagi. Langkah-langkahnya meninggalkan jejak dingin di lantai marmer, sementara di balik pintu yang kembali tertutup, Dewi meneteskan air mata dalam diam. Tangisan tanpa suara yang hanya bisa disaksikan oleh satu-satunya saksi yang tersisa. dokter tanpa hati, yang kini hanya menatapnya, diam dan penuh rahasia.

...

Di luar vila megah yang dikelilingi pagar besi tinggi dan kamera pengawas tersembunyi, sebuah mobil mewah berlapis hitam mengeluarkan suara lembut dari mesinnya yang menyala. Di bawah cahaya senja yang mulai memudar, Rafael melangkah keluar dari pintu utama, menuruni anak tangga batu dengan langkah mantap. Angin sore menyibak jas hitamnya sedikit, menyingkap siluet pistol yang terselip di pinggangnya. sebuah tanda bahwa dalam dunia Rafael, keamanan adalah ilusi, dan kewaspadaan adalah kewajiban.

Seorang pria muda sudah berdiri menunggu di samping mobil. seseorang yang berkerja sebagai  tangan kanannya. Juno. Bergaya santai dengan setelan kasual dan rokok terselip di antara jarinya, Juno tetap memancarkan aura tajam. Meski lebih longgar dari segi penampilan, sorot matanya tak kalah dingin dan terlatih dari Rafael.

“Kau tampak lelah,” ucap Juno sambil membuka pintu mobil.

“Orang bodoh membuatku lelah,” jawab Rafael datar, masuk ke dalam mobil tanpa menoleh.

Mobil melaju membelah kota, meninggalkan vila yang kembali sunyi. Di dalam kendaraan kedap suara, Rafael membuka tablet. berisi data transaksi, nama-nama target, dan lokasi pengiriman. Semua berjalan teratur.

Rafael hanya menjalankan satu bisnis: perdagangan kekuasaan.

Di bawahnya, ada banyak cabang: penyelundupan informasi rahasia, pengendalian media bawah tanah, sabotase politik, dan jaringan pengaruh global yang menanamkan ketakutan di kursi-kursi penting. Ia bukan bandar narkoba, bukan penjual senjata. ia menjual pengaruh. Dan semua yang ia lakukan, berujung pada satu hal: kontrol total.

Mobil berhenti di depan klub malam eksklusif. Dari dalam, seorang wanita muncul. Gaun merah menyala membungkus tubuhnya erat, langkahnya penuh percaya diri. Tatapannya tajam, senyumnya berbahaya.

"Rafael... kau lebih tampan dari yang terakhir kali ku lihat," bisiknya dengan nada menggoda. "Apa kita perlu membicarakan bisnis... sekarang?"

Wanita itu menempel padanya. Jari jemari nya menyusuri dada bidang Rafael, Rafael menatapnya. Tatapannya tajam, beku, dan menusuk seperti ujung pisau.

“Menjauh lah dariku,” ucapnya datar.

“Kita di sini hanya akan membahas bisnis. Tidak lebih.”

Wanita itu tersentak kecil, senyumnya memudar, tapi dengan cepat ia mengatur ulang ekspresi wajahnya. Ia tertawa pelan, sedikit kikuk.

“Baiklah… pria dingin tetap saja memikat,” gumamnya.

Mereka masuk ke ruang VIP, membahas pengamanan akses data dari server pemerintahan asing yang berhasil diretas. Wanita itu. dikenal sebagai Ibu Penjagal. adalah broker informasi yang menguasai pasar gelap rahasia negara.

Mereka bicara cepat, padat, dingin. Tidak ada perasaan. Hanya skema dan ancaman.

Namun, dalam benak Rafael, satu sosok masih menggantung. Dewi. Wanita yang kini terbaring di ranjang vila. Lemah, tapi matanya masih menyala.

Akankah dia tumbuh menjadi sosok kuat seperti wanita di depannya?

Atau hancur sebelum sempat mengenal dunia Rafael yang sebenarnya?

Waktu akan menjawab.

Dan Rafael selalu tahu cara menunggu.

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!