Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 15 - Terluka parah
Suasana vila sangat mencekam karena kejadian itu. Para asisten bergerak cepat membawa Azura ke ruang perawatan darurat di dalam vila.
Adapun dokter Bram yang sudah terbiasa dengan insiden-insiden di rumah ini, langsung menangani Azura dengan tangannya yang cekatan.
Sementara Azura, ia terbaring tak sadarkan diri di ranjang putih, dengan perban melingkar di dahi dan lengan kanannya yang diperban ketat dan diganjal penyangga.
Nafasnya kini lebih tenang, tapi wajahnya sangat pucat. Luka luar memang sedang ditangani, tapi luka batin yang dideritanya... entah kapan akan sembuh.
Bremm!!!
Tak lama kemudian, suara mobil mewah berhenti di pelataran vila.
Pak Adrian melangkah masuk dengan langkah yang besar dan tergesa-gesa. Jas hitamnya sedikit kusut dengan wajah yang nampak tegang.
Ia langsung menghampiri salah satu asisten yang sedang berdiri di luar ruang perawatan lalu bertanya, "Bagaimana keadaannya?."
"Lukanya cukup serius, Pak. Tangannya hampir patah, dan bagian pelipis robek karena benturan. Tapi… Dokter Bram sudah berhasil menstabilkan keadaannya."
Pak Adrian pun mengangguk mengerti. Lalu, matanya menatap ke arah pintu ruang perawatan Azura, namun ia tidak masuk.
"Hmhh..." Ia mendesah berat, lalu berkata lirih, "Seharusnya dia sudah tahu… pernikahan ini tidak akan mudah. Menjadi istri Rangga bukanlah takdir biasa."
Asisten itu menatap pria paruh baya itu dengan ragu dan mencoba menyembunyikan tatapan ibanya.
"Tapi… Nona Azura tidak pernah mengeluh, Pak. Bahkan setelah kejadian tadi, ia masih berusaha menyebut nama Tuan Rangga," ucap sang asisten.
"Anak itu terlalu baik untuk dunia ini. Tapi kebaikan tidak selalu melindunginya dari luka," balas pak Adrian, terdengar getir.
Beberapa saat kemudian ia berbalik, lalu melangkah menuju kamar Rangga yang berada di sisi timur vila.
Dengan sigap, dua penjaga yang berdiri di depan pintu pun segera membukanya ketika sang pemilik vila datang.
Di dalam kamarnya, Rangga sedang terbaring. Tubuhnya tampak tenang, bahkan nyaris seperti tidur biasa.
Hanya sisa guratan resah di wajahnya yang menunjukkan bahwa badai baru saja melanda batinnya. Hidungnya bergerak naik turun perlahan, napasnya sudah stabil setelah suntikan penenang.
Kemudian Pak Adrian duduk di kursi di samping tempat tidur seraya menatap putranya dengan mata yang sayu. Lalu, ia berkata, "Rangga… apa yang harus Ayah lakukan lagi, hm?."
Naluri seorang ayahnya begitu terasa. Tangannya terulur hendak menyentuh lengan anaknya, tapi tak sampai menyentuh kulitnya.
"Sudah berapa dokter datang? Sudah berapa jenis terapi kamu jalani? Bahkan aku rela melakukan pernikahan itu… hanya supaya kamu tidak merasa sendirian," ujar pak Adrian.
Suara Adrian terdengar pilu dan nyaris putus asa. Ada luka lama yang jelas di balik suaranya. "Tapi kamu… kamu seolah menolak semuanya. Seolah kamu ingin tetap terjebak dalam dunia gelap itu. Kenapa, Nak?," lanjut Adrian.
Meskipun perkataan Adrian sangat tulus tapi Rangga tidak merespon. Ia hanya tetap diam dengan mata yang terpejam. Tapi buliran air mata kecil sempat mengalir dari sudut matanya, diam-diam… seperti tubuhnya tahu apa yang tidak bisa diucapkan.
Pak Adrian melihat hal itu dan mendekat sedikit lalu berkata dengan lirih, "Apakah kamu menangis?."
Tapi tetap saja, ia hanya bicara sendiri dan tidak ada jawaban dari Rangga. Adrian mendesah lagi lalu berdiri seraya menatap wajah anaknya yang kini tampak seperti anak kecil yang kehilangan arah.
"Tidurlah, Rangga… Mungkin dalam mimpimu, kamu bisa menemukan ibu dan masa kecilmu yang hilang itu."
Kemudian Adrian melangkah pergi, meninggalkan kamar yang menjadi saksi bisu atas semua yang menimpa putranya itu.
**
Malam pun tiba. Di dua kamar yang berbeda, dua insan yang diikat oleh takdir dan trauma kini sama-sama terbaring. Satu sedang pulih dari luka fisik… satu lagi masih tersesat di dalam luka jiwanya.
Beranjak ke kamar Azura yang kini dipenuhi aroma obat dan antiseptik. Di terangi lampu temaram dari sudut ruangan yang memantulkan bayangan di dinding.
Azura terbaring di tempat tidur dengan perban melingkar di pelipis dan tangan kanannya yang tergantung dalam bidai. Wajahnya masih pucat, tapi matanya sudah terbuka seraya menatap kosong ke langit-langit.
Ckrek!
Pintu kamar terbuka dengan perlahan kemudian terdengar suara langkah sepatu yang mendekat.
Ketika Azura menoleh, ia melihat Pak Adrian sudah berdiri di ambang pintu. Pria itu tampak tenang, tapi sorot matanya jelas terlihat cemas.
"Pak... Adrian..." sapa Azura dengan suara yang lemah.
Ia mencoba bangkit dari ranjang, tapi gerakannya langsung terhenti karena nyeri yang menghujam lengannya.
"Jangan. Tetaplah berbaring, Azura," seru Adrian sambil berjalan mendekat.
Azura pun menurut. Nafasnya sedikit tersengal seolah ingin mengadu, tapi ia berusaha tegar di hadapan pria yang kini menjadi mertuanya itu.
Sejenak Adrian hanya memandangi wajah Azura yang lembut, penuh luka, namun tetap terlihat kuat.
"Apa yang kamu rasakan sekarang?," tanya Adrian.
"Sedikit pusing… dan lengan saya... masih sakit. Tapi saya baik-baik saja," jawab Azura sedikit ragu.
"Kau tidak harus pura-pura kuat. Aku tahu sakitnya lebih dari sekadar fisik, Azura."
Azura hanya menatap mertuanya itu dengan tatapan kosong. Hatinya tersentuh karena di saat seperti ini ada seseorang yang menanyakan keadaannya.
Perhatian yang tidak pernah di rasakan dan alami ketika dulu meski ia terluka ataupun sakit, sekalipun dari ayahnya sendiri yang membuatnya merasa seperti anak yatim piatu.
Beberapa detik kemudian, ekspresi Adrian berubah. Wajahnya yang khawatir itu kini mengeras dan berubah menjadi sosok yang dingin dan penuh kendali.
"Tentunya… kamu sudah tahu risiko menjadi teman hidup Rangga seumur hidup."
Azura tertegun mendengar perkataan pak Adrian.
"Tapi kau juga tidak bisa menyalahkan takdirmu. Kamu yang memilih tetap berada di sini," lanjut pak Adrian.
Seketika Azura menunduk. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hatinya secara perlahan. "Saya… tidak pernah benar-benar memilih. Saya hanya mencoba bertahan."
Meski mendengar jelas tapi Adrian tidak menanggapi kalimat itu. Ia hanya melanjutkan perkataannya dengan suara yang lebih berat dan sarat kepentingan.
"Kalau kamu ingin masa depan yang terjamin… ada satu hal yang bisa kau lakukan."
Azura langsung mengangkat wajahnya dan ingin langsung bertanya tapi ia tidak mampu sehingga Adrian melanjutkan perkataannya, "Berikan aku seorang cucu. Seorang penerus. Seorang anak… dari kamu dan Rangga."
DEG!!!
Wajah Azura membeku. Jantungnya berdetak lebih cepat dan hampir tidak bisa bernapas. Ucapan itu seperti ledakan di ruang sempit yang membuat semuanya mendadak sunyi.
"Apa... maksud Pak Adrian?"
"Jika kamu mampu melahirkan anak dari Rangga, aku jamin… hidupmu tidak akan pernah kekurangan. Tak peduli bagaimana keadaan suamimu. Kau akan menjadi ibu dari ahli warisku."
Azura menggigit bibir bawahnya. Pikirannya kacau. Apakah ia barusan dijadikan alat pewaris? Ia bahkan belum sepenuhnya menerima kenyataan menjadi istri Rangga, bagaimana mungkin harus menjalani hubungan itu… dengan seorang pria yang bahkan tak sadar siapa dirinya?
"Tapi… Rangga… bahkan dia tidak tahu aku siapa..." ucap Azura.
Namun, tiba-tiba Pak Adrian berdiri seolah tidak ingin mendengar penolakan atau alasan apapun.
"Kau punya waktu. Dan pilihan. Tapi ingatlah, Azura… setiap orang dalam rumah ini hidup karena kehendakku. Termasuk kamu."
Seolah keputusan final, Adrian pun mengakhiri perbincangan mereka. Lalu dengan langkah tenang, Adrian berjalan ke pintu dan membukanya.
Tapi sebelum keluar, ia menoleh dan berkata lagi, "Istirahatlah. Kamu butuh kekuatan untuk masa depan yang sedang aku siapkan."
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong