🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Mantan istri vs istri baru.
Suasana hatinya sudah kembali baik, apalagi setelah dia meminta jatahnya semalam sebagai bentuk harga nego yang diminta oleh Aini. Sebenarnya Daffa tidak benar-benar berniat untuk meminta imbalan apapun pada istrinya itu, semua itu dia katakan hanya supaya Aini tidak merasa tidak enak hati saja padanya.
Siang ini, Daffa sengaja datang menjemput Aini di pabrik untuk mengajaknya makan siang, kebetulan tadi Dion menelfon dan mengajak untuk makan siang bersama. Dan mungkin ini adalah saat yang tepat untuk memperkenalkan Aini sebagai istrinya pada Dion dan juga Fera.
Lima menit menunggu, sebuah senyuman terbit diwajahnya kala melihat Aini keluar melewati gerbang pabrik. Segera dia datang menghampiri untuk memperjelas statusnya didepan para pria yang sedang duduk-duduk nongkrong di depan pabrik, jelas sekali tatapan mereka sedang tertuju pada wanita yang menyandang status sebagai istrinya itu.
"Cuma sebentar, nggak lama kok," ucapnya seraya menggenggam tangan Aini, sengaja memang dia lakukan untuk memperjelas status mereka didepan para lelaki disana.
Sebelumnya Aini memang sempat menolak saat Daffa menelfon tadi. Dia belum siap untuk bertemu dengan teman-teman Daffa karena takut membuat suaminya malu dengan statusnya yang hanya seorang pegawai pabrik biasa.
"Tapi, Mas... Kamu nggak malu? Aku kan pakai baju pabrik begini, bagaimana kalau teman-teman kamu nanti..."
"Aini, Sayang," diusapnya lembut kepala sang istri, seolah tau akan keresahan yang sedang dirasakan olehnya. "Apa perlu aku perjelas lagi, hem?"
Tatapan matanya begitu meneduhkan hati, tapi tetap tak membuat hati Aini tenang. Namun, demi suaminya, akhirnya Aini mengangguk setuju tanpa banyak memprotes lagi. "Baiklah,"
Senyuman itu terukir sempurna, genggaman tangannya semakin erat. Dengan langkah ringan namun pasti, dia membawa Aini masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan tak ada obrolan khusus yang terjadi, keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing.
Sesekali Aini melirik keluar jendela untuk melihat pemandangan, berharap dengan seperti itu hatinya akan sedikit lebih tenang. Tapi tetap saja rasa gugup itu tak bisa sepenuhnya hilang hingga kini mereka sudah sampai di halaman sebuah restaurant.
"Jangan tegang begitu, teman aku juga datang dengan istrinya. Mereka nggak akan menggigit kamu kok,"
Dan berhasil, kata-kata itu akhirnya bisa membuat Aini tersenyum, meskipun hanya sebuah senyuman kecil, tapi cukup membuat Daffa merasa senang.
Daffa lebih dulu turun, berjalan mengitari mobil untuk membukakan pintu bagi Aini. Kembali dia genggam tangan sang istri sebelum melangkah masuk ke dalam restaurant.
Beberapa pengunjung nampak melihat kearah mereka yang jelas terlihat cukup mencolok perbedaannya hanya jika dilihat dari cara berpakaian saja. Dimana Daffa masih memakai setelan jas kantoran, sementara Aini memakai baju pabrik berwarna biru muda, celana hitam panjang serta hijab segiempat dengan warna senada. Sebagian dari mereka bahkan menganggap Aini sebagai seorang wanita yang sangat beruntung, bak seorang Cinderella yang menemukan pangerannya.
Langkahnya begitu mantap dan tak ada keraguan sedikitpun, tanpa memperdulikan pandangan orang-orang yang kini sedang menatap ke arah mereka, Daffa berjalan ke arah meja dimana Dion sudah menunggu disana. Namun tinggal beberapa langkah lagi menuju meja yang dituju, langkah Daffa terhenti saat melihat yang duduk disana bukan hanya Dion dan Fera, namun juga ada Celine disana.
"Daffa..." Dion melambaikan tangannya, segera dia berdiri untuk menyambut kedatangan mereka berdua.
Sebelum melanjutkan langkahnya kembali, Daffa lebih dulu menoleh ke arah Aini. Meskipun tak begitu terlihat, tapi Aini bisa melihat jika ekspresi suaminya mulai sedikit berubah. Tak seperti awal tadi, sekarang wajah Daffa terlihat sedikit tegang. Namun dia tidak tau apa sebabnya, yang jelas suaminya itu terlihat seperti tidak senang.
"Ayo," kembali dia melanjutkan langkahnya setelah sempat terdiam untuk beberapa saat. Tak peduli jika Celine juga ada disana, Daffa memilih untuk abai dan tetap menggenggam tangan Aini hingga sampai ke arah meja dimana Dion dan yang lainnya sudah menunggu.
"Jadi ini istri kamu, Daf?" kata-kata itu lebih ke sebuah sindiran dibandingkan pertanyaan. Fera yang memilih untuk tetap duduk memperhatikan penampilan Aini dari ujung kepala hingga ujung kaki, "Kampungan."
Meskipun kemarin dia sempat kecewa dan sedih saat mendengar mantan suaminya ini sudah menikah lagi, kali ini Celine tak menunjukkan kekecewaan itu lagi. Bahkan wajahnya terus mengukir senyum yang sangat indah sejak melihat kedatangan Daffa dan istri barunya.
Dion segera mengalihkan topik untuk mencairkan ketegangan yang diciptakan oleh istrinya, "Ayo Daf, duduk. Sorry kalau aku udah pesenin makanan sekalian, soalnya takut kelamaan dan keburu jam istirahat istri kamu ini habis, nanti dia bisa terlambat masuk,"
Namun Fera tak berhenti sampai disana, dia kembali menghujani pertanyaan saat Daffa dan Aini sudah duduk dihadapannya, "Memangnya istri kamu ini kerja dimana? Kalau dilihat-lihat, dia ini bukan wanita kantoran ya?"
"Fer." tegur Dion. Suaranya tak begitu keras, namun cukup terdengar jelas dan Fera bisa menangkap jika suaminya ini mulai marah.
"Oya, siapa nama istri kamu ini, Daf? Apa kamu tidak ingin memperkenalkannya pada kami?" Celine yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara, suaranya begitu lembut terdengar ditelinga. Dibandingkan melihat ke arah Aini, sebenarnya dia lebih suka melihat perubahan ekspresi wajah Daffa yang mulai terlihat sedikit gusar.
Daffa menoleh, dia tetap berusaha untuk tersenyum didepan Aini meskipun dia sendiri mulai merasa tidak nyaman berada disana. Bukan karena Celine, dia hanya takut Fera ataupun Celine sampai mengatakan sesuatu yang membuat Aini merasa tidak nyaman.
"Namanya Aini." genggaman tangannya yang memang sengaja belum dia lepas semakin dia eratkan. "Sayang, mereka adalah teman-temanku, Dion, Fera dan Celine."
"Salam kenal semuanya, namaku Aini." dengan senyuman hangat diwajah, Aini menyapa tiga orang dihadapannya yang wajahnya masih nampak begitu asing baginya.
"Salam kenal juga, Aini. Ternyata kamu sangat cantik, pantas saja Daffa tertarik." Dion lebih dulu menyahut sebelum keduluan oleh Fera. Dan sengaja dia memuji, karena Aini memang secantik itu, cantiknya natural.
"Terimakasih, Mas Dion."
Sebenarnya ada yang mengganjal di hati Dion, kenapa Aini tidak bereaksi yang bagaimana ketika melihat Celine tadi. Biasanya kalau mantan istri dan istri baru ketemuan pasti akan ada tegang-tegangan, tapi ini tidak sama sekali, bahkan Aini terlihat biasa-biasa saja. Apakah Daffa belum menceritakan tentang Celine pada Aini?
Kini, mereka memulai makan siang tanpa ada obrolan lagi. Dan Aini cukup menyadari jika dirinya dipandang sebelah mata oleh teman-teman Daffa, kecuali Dion. Namun dia tetap memilih diam dan berperilaku sopan demi tidak membuat malu Daffa dihadapan teman-temannya itu.
"Kamu mau sup, Mas?" tanya Aini saat melihat ada sup udang diatas meja. Biasanya Daffa paling suka minta dimasakkan sup kalau sedang dirumah.
"Boleh,"
Tangannya bergerak untuk mengambil sup yang ada didalam mangkuk. Belum sempat dia membantu menuangkan sup itu ke piring Daffa, sebuah suara lebih dulu menahan pergerakannya.
"Tunggu," cegah Celine. "Itu adalah sup udang, apa kamu tidak tau kalau Daffa alergi udang?"
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧