JURUS TERAKHIR TUANKU/ TUANGKU
Ribuan tahun lamanya, daratan Xianwu mengenal satu hukum: kekuasaan dipegang oleh pemilik teknik bela diri pamungkas.
Tuanku —seorang pewaris klan kuno yang tersisa—telah hidup dalam bayang-bayang kehancuran. Ia tidak memiliki bakat kultivasi, tubuhnya lemah, dan nyaris menjadi sampah di mata dunia persilatan.
Namun, saat desakan musuh mencapai puncaknya, sebuah gulungan usang terbuka di hadapannya. Gulungan itu hanya berisi satu teknik, satu gerakan mematikan yang diwariskan dari para pendahulu: "Jurus Terakhir Tuanku".
Jurus ini bukan tentang kekuatan, melainkan tentang pengorbanan, rahasia alam semesta, dan harga yang harus dibayar untuk menjadi yang terkuat.
Mampukah Tuanku, dengan satu jurus misterius itu, mengubah takdirnya, membalaskan dendam klannya, dan berdiri sebagai Tuanku yang baru di bawah langit Xianwu?
Ikuti kisah tentang warisan terlarang, kehormatan yang direbut kembali, dan satu jurus yang mampu menghancurkan seluruh dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARJUANTO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
NOVEL: JURUS TERAKHIR TUANKU
BAB 13: JEDA SINGKAT DAN WARISAN KUTUKAN YANG TERSISA
1. Keheningan Setelah Badai
Lembah Klan Pedang Abadi kini diselimuti keheningan yang tegang. Tuanku, yang tubuhnya terluka karena menyalurkan Qi Yin Mutlak ke Pedang Abadi, dibaringkan di ruang perawatan. Di dadanya, Batu Giok itu kini redup, nyaris tidak bersinar, setelah melepaskan esensi kekuatannya.
Liandra dan Fatimah merawatnya. Liandra, dengan pengetahuannya tentang obat-obatan klan, dan Fatimah, dengan Qi Spiritualnya yang lembut, bekerja sama untuk menstabilkan luka-luka Tuanku. Jin, si kucing oranye, berbaring di dada Tuanku, menyalurkan Qi Yang-nya yang konstan.
"Kau hampir membunuh dirimu sendiri, Sati," bisik Fatimah, saat ia membersihkan luka di dada Tuanku. "Pedang itu nyaris menghancurkan hatimu."
"Aku harus melakukannya," jawab Tuanku, suaranya lemah. "Hanya dengan menembus batasan, aku bisa menciptakan Keseimbangan Kosmis. Qian Yu terlalu murni. Hanya Yin Mutlak yang sejati yang bisa menguncinya."
Liandra duduk di sampingnya, memegang Pedang Abadi yang kini kembali terlihat kusam, namun auranya terasa kuat. "Pedang ini sekarang adalah wadah bagi Qi Yin Mutlakmu. Qi-mu tidak hilang; ia tersimpan di sini. Tapi ia menjadi senjata berbahaya. Hanya kau yang bisa mengendalikannya, atau Fatimah dengan bantuan Qi Spiritualnya."
"Dan Qian Yu?" tanya Tuanku.
"Dia terkunci di dimensi saku," jelas Liandra. "Batas waktu kuncian itu tergantung seberapa stabil Qi-mu di dalam pedang. Kita punya waktu, tetapi tidak banyak."
2. Warisan yang Menyedihkan dan Humor yang Menghibur
Selama beberapa hari pemulihan, Tuanku merenungkan warisan yang tersisa. Batu Giok itu kini hanya berfungsi sebagai jangkar bagi jiwanya, tidak lagi sebagai sumber Qi utama. Kekuatan sejatinya sekarang terletak pada Tongkat Lin Kai (sebagai saluran Qi) dan Pedang Abadi (sebagai penyimpan Qi Yin Mutlak).
"Sungguh ironis," kata Tuanku suatu sore, sambil menatap Jin yang tertidur pulas. "Klan saya dibantai karena Jurus Terakhir yang disebut kutukan. Sekarang, kutukan itu menjadi kunci untuk menyelamatkan Daratan Xianwu."
"Dan lelucon paling lucu dari semua itu," timpal Fatimah, menyeringai, "adalah pahlawan kita, Sang Penyeimbang, tidak bisa beranjak tanpa ditemani seekor kucing. Kau adalah Raja Kultivasi Kucing, Sati."
Tuanku tertawa kecil, meskipun sakit. "Benar. Aku harus berterima kasih pada Jin karena menyeimbangkan kegilaanku. Tanpa dia, aku pasti sudah menjadi boneka gila yang dikuasai jiwa ayahku."
Tiba-tiba, Jin bangun, mengeong, dan melompat dari dada Tuanku. Ia berjalan ke arah pintu dan mulai menggesek-gesekkan tubuhnya.
"Apa yang terjadi?" tanya Liandra.
"Jin lapar," kata Tuanku, dengan nada pasti. "Perut Jin lebih akurat daripada formasi alarm Klan Pedang Abadi."
Liandra dan Fatimah saling pandang, lalu tertawa. Momen humor kecil ini adalah pengingat bahwa di tengah ancaman kosmis, mereka masihlah manusia.
3. Berita Buruk dari Selatan
Ketenangan itu tidak berlangsung lama. Seorang utusan Klan Pedang Abadi datang membawa kabar dari selatan.
"Putri, Tetua Wuyan memimpin sisa-sisa Klan Naga Hitam. Mereka berhasil merebut beberapa wilayah Umbul Sari Jember. Tetapi... Sultan Raziqin telah pulih."
"Mustahil!" seru Fatimah. "Hapus Qi-nya sangat total!"
"Tidak," kata Tuanku. "Qi Raja Kultivasi Raziqin sangat kuat. Penghapusan itu hanya sementara. Dia hanya butuh waktu untuk menarik Qi dari lingkungan dan membangunnya kembali. Dia pasti masih lemah, tapi dia sudah pulih."
Utusan itu melanjutkan, "Tetapi ada yang aneh. Sultan Raziqin tidak menyerang Wuyan. Dia mengabaikan perang dan... dia menuju ke utara."
Tuanku dan Liandra saling pandang, mengerti maksudnya.
"Dia tahu," kata Liandra. "Dia tahu kita di sini. Dan dia tahu kita mengunci Qian Yu."
"Dia tidak akan membiarkan kesempatan ini. Dia akan datang untuk mengambil Pedang Abadi dan Batu Giok. Dia akan mencoba mengendalikan Qi Yin Mutlak dan menjadikannya miliknya," simpul Tuanku.
"Mengapa dia datang sendiri?" tanya Fatimah, bingung.
"Kesombongan," jawab Tuanku, mendengus. "Dia adalah Raja Kultivasi. Dia tidak akan membuang waktu dengan tentara. Dia datang untuk membuktikan bahwa dia lebih superior daripada Tuanku, si 'penyeimbang' yang lemah."
4. Sebuah Janji dan Misi Berikutnya
Tuanku segera bangkit, meskipun tubuhnya masih sakit. Ia meraih Tongkat Kayu Lin Kai dan Pedang Abadi.
"Aku harus pergi," katanya.
"Kau tidak bisa, Sati. Kau terlalu lemah!" protes Fatimah.
"Aku harus bertemu Raziqin di luar wilayah Klan Pedang Abadi. Aku tidak ingin menyeret klanmu, Liandra, ke dalam pertempuran pribadi ini," kata Tuanku.
Liandra mengangguk. "Aku mengerti. Kami akan mengirim bala bantuan, tetapi secara diam-diam. Dan Tuanku, bawalah ini."
Liandra menyerahkan sehelai kain sutra hitam. Di dalamnya terdapat sebuah batu hitam kecil yang memancarkan aura dingin yang lembut.
"Ini adalah Batu Resonansi Yin. Itu akan meningkatkan efisiensi Qi Yin Mutlakmu, dan yang paling penting, itu akan menjadi jangkar jika kau harus menggunakan Keseimbangan Kosmis lagi. Itu akan mengurangi beban pada Batu Giokmu," jelas Liandra.
Tuanku mengambil batu itu. Ia melihat ke Fatimah.
"Aku tidak ingin kau ikut," kata Tuanku. "Ini adalah pertempuran pribadi. Dan kau harus menjaga Liandra dan Klan Pedang Abadi. Mereka adalah satu-satunya harapan untuk melawan Qian Yu saat dia kembali."
Fatimah, meskipun enggan, mengangguk. Ia tahu Tuanku benar. "Baiklah, Sati. Tapi ingat janjiku. Aku akan menjagamu dari belakang. Dan jangan lupa Jin!"
Tuanku tersenyum, lalu memasukkan Jin ke dalam sakunya. Jin mengeong protes, tetapi diam.
Ia berdiri di gerbang klan, siap menghadapi musuh yang dulunya ia anggap sebagai lawan terberat. Sekarang, Sultan Raziqin hanyalah ujian di jalannya menuju takdir yang lebih besar.
"Aku akan kembali, Liandra. Kita akan menghadapi Qian Yu bersama-sama," janji Tuanku, lalu ia berjalan keluar, Pedang Abadi di punggungnya, Tongkat Lin Kai di tangan, dan Jin di saku.