 
                            Clara Moestopo menikah dengan cinta pertamanya semasa SMA, Arman Ferdinand, dengan keyakinan bahwa kisah mereka akan berakhir bahagia. Namun, pernikahan itu justru dipenuhi duri mama mertua yang selalu merendahkannya, adik ipar yang licik, dan perselingkuhan Arman dengan teman SMA mereka dulu. Hingga suatu malam, pertengkaran hebat di dalam mobil berakhir tragis dalam kecelakaan yang merenggut nyawa keduanya. Tapi takdir berkata lain.Clara dan Arman terbangun kembali di masa SMA mereka, diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya… atau mengulang kesalahan yang sama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14.Setiap pagi.
Setiap pagi pemandangan di SMA Pelita selalu dimulai dengan mobil mewah dari segala merk terkenal tahun itu yang rapi dan berwibawa. Barisan mobil mewah berhenti berurutan di depan gerbang utama sedan hitam mengilap, SUV putih, hingga mobil sport berwarna mencolok milik anak-anak pejabat dan pengusaha ternama. Di sisi lain, beberapa siswa yang datang dengan motor matic atau diantar ojek langganan berdiri agak canggung, berusaha tak menonjol di antara kemewahan itu.
Dan Clara termasuk dalam golongan siswa elit itu, ia keluar dari mobil mewahnya dengan tas serta buku yang ada di tangannya.
Berbeda dari kehidupan Clara yang dulu, Clara yang dulu berdiri didepan pintu untuk menunggu Arman datang agar bisa masuk bersama dengan nya.
Dikehidupan kedua Clara, dia berjalan terus tanpa menunggu siapapun seperti siswa yang lain menyapa teman sekolahnya.
Dengan senyum pagi yang ceria, Clara menyapa temannya. ia benar-benar menikmati kehidupan keduanya, tanpa bayang-bayang Arman.
“Senangnya bisa kembali remaja seperti dulu, dulu aku itu bodoh menyia-yiakan masa mudaku untuk cinta. ”gumam Clara dengan pelan sambil melihat sekelilingnya.
Clara baru saja melangkah melewati taman depan sekolah, tempat patung pendiri SMA Pelita berdiri gagah dikelilingi bunga kamboja putih. Sinar matahari pagi memantul lembut di kaca gedung utama, sementara suara tawa dan langkah kaki siswa-siswi memenuhi udara.
Ia mengatur rambutnya yang ditiup angin, lalu menarik napas panjang. Semua terasa segar seperti hidup, hangat, dan berbeda.
Namun tiba-tiba—
“Boooo!!”
Seseorang berteriak tepat di telinganya sambil menepuk bahunya cukup keras.
Clara hampir menjatuhkan buku yang ia pegang. “Astaga, Ria!” serunya dengan napas tersengal. “Kamu itu mau bikin jantungku copot, ya?”
Ria, sahabatnya yang berambut pendek dan berwajah ceria, tertawa lepas. “Hahaha! Dapet juga! Dari tadi aku panggil nggak nengok-nengok, gak denger atau lagi ngelamuni siapa?”
Clara menatapnya sambil menahan senyum. “Memang lagi ngelamuni siapa?dasar kamu itu. Aku hari ini lagi senang,karena mamaku sudah pulang dari rumah sakit.”
“Benarkah!, tante sudah pulang? kapan-kapan aku pengen main kerumahmu, bolehkan?. ”
Clara hanya tersenyum kecil, menepuk pundak sahabatnya. “Tentu saja boleh, pintu rumahku terbuka untuk mu. ”
Obrolan mereka terganggu saat,mereka berdua berjalan santai melewati taman depan sekolah, sesekali tertawa kecil karena lelucon ringan dari Ria. Angin pagi berhembus lembut, mengibaskan ujung rambut Clara yang kini dibiarkan terurai indah. Semua terasa damai,hingga langkah mereka terhenti begitu saja di dekat gerbang utama.
Ria yang lebih dulu melihat, spontan menggamit tangan Clara. “Clar… itu bukan… Arman, kan?”
Clara menoleh perlahan. Dalam sekejap, senyum yang tadi menghiasi wajahnya lenyap begitu saja. Di depan gerbang SMA Pelita, tepat di bawah spanduk bertuliskan “Welcome Back, Pelita Students 2016!”, berdiri dua sosok yang dulu tak asing baginya.
Arman dengan seragam rapi dan senyum yang masih sama seperti dulu, tangan kirinya memegang tas, sementara tangan kanannya… dengan lembut membetulkan poni Loly, kakak kelas mereka yang dikenal cantik dan populer.
Loly terkekeh pelan, menepuk dada Arman manja, lalu berkata, “Kamu tuh, perhatian banget sih. Kalau kayak gini tiap pagi, aku bisa makin jatuh cinta.”
Arman tersenyum, menatap gadis itu hangat. “Ya sudah, jatuh aja sekalian. Aku siap nangkap.”
Ria spontan menutup mulutnya. “Ya ampun, ini pagi-pagi udah sinetron banget! Di depan gerbang pula! Gimana kalau guru BP lihat?” gumamnya tak percaya.
Namun, Clara hanya berdiri diam.
Matanya menatap lurus ke arah dua orang itu,mantan suaminya di kehidupan yang dulu, dan wanita yang dulu menjadi penyebab kehancuran rumah tangganya.
Hatinya bergetar, bukan karena cemburu, tapi karena rasa pahit yang tiba-tiba menyeruak tanpa diundang. Seolah potongan masa lalunya kembali diputar tepat di depan mata.
Suara tawa mereka terasa seperti gema masa lalu yang menyakitkan.
Namun kali ini, Clara tidak menunduk. Ia hanya menarik napas panjang, menegakkan bahu, dan memaksakan seulas senyum kecil di bibirnya.
“Clar…” Ria menatapnya khawatir. “Kamu nggak apa-apa?”
Clara menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja, Ri.” Suaranya tenang, tapi matanya menyimpan sesuatu yang dalam semacam tekad yang baru lahir.
“Cuma lucu aja…” lanjutnya pelan, dengan nada datar tapi tajam. “Dulu bagaimana aku sebucin itu dengannya,sehingga aku merasa bodoh. Tapi ternyata, dia cuma bagian dari pelajaran yang harus aku lewati.”
Ria menggenggam tangan sahabatnya, ikut terdiam sejenak.Ria tahu betapa Clara dulu sangat menyukai Arman, sehingga rela menjadi wanita yang diinginkan Arman.
“Sudahlah Clar, kamu itu terlalu baik untuk nya. sekarang aku suka dengan perubahan mu, daripada dulu kamu seperti budaknya Arman. untuk saja kamu kabur saat akan menyatakan cinta untuk nya. ”
“Terima kasih, sahabatku! ”ucap Clara yang terharu dengan sikap Ria yang selalu mendukung dirinya.
Sementara itu, Arman yang menyadari tatapan seseorang menoleh sekilas. Tatapan mereka bertemu hanya sekilas saja, tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka menegang.
Clara tersenyum kecil, sopan, nyaris seperti orang asing yang tidak pernah mengenalnya. Lalu ia berpaling dan melangkah pergi begitu saja.
Arman mematung, seolah ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan terasa mengganjal di dadanya. Ia menatap punggung Clara yang menjauh, dan untuk sesaat… senyum di wajahnya menghilang.
Ria mendengus pelan di samping Clara. “Dia itu nyadar nggak sih, kamu udah nggak peduli lagi?”
Clara menoleh sebentar dan tersenyum tipis. “Biar waktu yang bikin dia sadar, Ri. Sekarang, aku cuma mau menikmati hidupku yang baru. Tanpa masa lalu, tanpa dia.”
Dan dengan langkah ringan, Clara melanjutkan jalannya ke arah gedung utama.
Langit pagi SMA Pelita tampak lebih cerah dari sebelumnya, seolah ikut menyambut Clara yang akhirnya benar-benar belajar berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi.
Namun dari kejauhan, tatapan seseorang mengikuti setiap langkahnya yaitu tatapan dingin milik Finn, yang berdiri di balkon lantai dua dengan tangan disilangkan di dada.
Ia melihat semuanya.
Dan tanpa ekspresi, ia bergumam pelan,
“Menarik… gadis itu bukan seperti yang aku kira.”
Langkah kaki Finn terdengar tenang namun mantap saat ia meninggalkan balkon lantai dua. Dari atas, ia sudah memperhatikan seluruh kejadian sejak Clara memasuki gerbang SMA Pelita bagaimana tatapannya sempat berhenti di wajah Arman, lalu bagaimana senyum tipis yang ia tunjukkan di akhir itu.
Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu,sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.
Lorong sekolah mulai ramai oleh siswa yang berlarian menuju kelas, tapi Finn tetap berjalan perlahan, membenarkan tali tas di bahunya. Seragamnya tampak rapi kemeja putih dengan lencana emas SMA Pelita yang tampak mencolok di dada kirinya. Dengan rambut hitam sedikit berantakan dan sorot mata tajam, ia tampak seperti tipe kakak kelas yang tenang tapi sulit ditebak.
“Clar, ayo cepat, nanti kita terlambat ke kelas!” seru Ria sambil menarik tangan Clara pelan.
Clara masih berusaha menghapus bayangan Arman dari pikirannya, tapi wajahnya tetap terlihat tegar. Ia bahkan sempat tersenyum ketika melihat beberapa siswa menyapa ramah.
Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba ketika sebuah suara berat terdengar dari belakang.
“Clara Moestopo?”
Clara menoleh.
Matanya membulat kaget saat melihat sosok tinggi yang berjalan mendekat.
“Kamu…?” suaranya hampir tak terdengar.
Ria juga menatapnya bingung. “Kamu kenal senior kita Finn morgan, Clar?”
Finn berhenti beberapa langkah di depan mereka, menatap Clara dengan tatapan tenang tapi menusuk. Ada sedikit senyum di ujung bibirnya samar, tapi cukup untuk membuat Clara terpaku.
“Hai.. ”sapa Finn dengan senyum.
Tapi reaksi Clara sebaliknya ia tidak senang melihat Finn, pria angkuh yang ia temui di rumah sakit kemarin.
penasaran bangetttttttt🤭