Kecelakaan yang merenggut istrinya menjadikan Arkana Hendrawan Kusuma tenggelam dalam perasaan kehilangan. Cinta yang besar membuat Arkan tak bisa menghilangkan Charissa Anindya—istrinya—dari hidupnya. Sebagian jiwanya terkubur bersama Charissa, dan sisanya ia jalani untuk putranya, Kean—pria kecil yang Charissa tinggalkan untuk menemaninya.
Dalam larut kenangan yang tak berkesudahan tentang Charissa selama bertahun-tahun, Arkan malah dipertemukan oleh takdir dengan seorang wanita bernama Anin, wanita yang memiliki paras menyerupai Charissa.
Rasa penasaran membawa Arkan menyelidiki Anin. Sebuah kenyataan mengejutkan terkuak. Anin dan Charissa adalah orang yang sama. Arkan bertekad membawa kembali Charissa ke dalam kehidupannya dan Kean. Namun, apakah Arkan mampu saat Charissa sedang dalam keadaan kehilangan semua memori tentang keluarga mereka?
Akankah Arkan berhasil membawa Anin masuk ke kehidupannya untuk kedua kalinya? Semua akan terjawab di novel Bring You Back.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehadiran Vanesha
"Sampai jumpa, Tante cantik!" Kean melambaikan tangannya saat mobil Papanya mulai melaju meninggalkan Anin yang masih berdiri, melambaikan tangannya membalas lambaian tangan Kean.
Bibir perempuan itu terus mengukir senyum hingga bayangan mobil Arkan menghilang. Dia berbalik, memasuki gerbang rumah sambil berjalan santai.
"Di antar Pak Arkan?"
Anin terkejut. Dia tak menyangka Dimas tiba-tiba muncul di depannya saat baru selangkah ia memasuki rumah.
"Kak Dimas mengejutkan ku." Anin merengut sambil mengusap dadanya.
"Hehe ... Maaf. Tapi sebenarnya, aku tidak bermaksud mengejutkan mu. Kau saja yang suka terkejut. Kau pasti sedang memikirkan sesuatu sampai tidak melihat ku disini, kan?"
"Tidak. Aku tidak memikirkan apapun." Anin mengerutkan keningnya sambil menggeleng.
Dimas mengulum senyum, mendekat, lalu merangkul adiknya tersebut, sambil menuntun Anin melanjutkan langkahnya. "Mengaku saja. Tidak perlu malu-malu. Kau sedang memikirkan Pak Arkan, kan?"
"Kak Dimas jangan aneh-aneh. Aku mana mungkin—"
"Jujur saja. Kakak setuju kalau kau—"
"Ibu!" Anin dengan cepat melepas rangkulan Dimas, melangkah lebar ke arah sang Ibu dan memeluknya.
"Ada apa ini? Tiba-tiba sekali pulang kerja langsung peluk. Biasanya mandi dulu." Bu Lidya tersenyum tipis sambil balas memeluk Anin.
"Dia sedang jatuh cinta, Bu."
"Benarkah?" Anya yang baru saja dari kamar Radit menyahut. Langkahnya ia percepat, mendekat pada suaminya untuk memastikan kebenaran atas apa yang lelaki itu katakan.
"Jangan dipercaya, Bu, Kak Anya. Kak Dimas suka asal-asalan. Dia melihat Pak Arkan mengantarku tadi. Dia membuat kesimpulan sendiri." Anin menjelaskan sambil menatap bergantian Ibu dan Kakak iparnya.
"Pak Arkan mengantar mu?" Anin mengangguk pelan, mengiyakan pertanyaan Ibunya. "Sudah dua kali dia melakukannya. Jika sampai dia mengantar mu sekali lagi, berarti ...."
"Berarti apa?" Anin dan Anya bertanya bersamaan.
"Pak Arkan punya perasaan terhadap putri Ibu."
Anin langsung menarik panjang nafasnya. Ternyata Ibunya sama saja seperti Dimas. "Sudahlah. Terserah Ibu dan Kak Dimas saja.
Anin ke kamar dulu, mau mandi." Mengecup sekilas pipi Ibunya, Anin kemudian berlalu menuju kamarnya.
***
Arkan mendorong pelan pintu kamar Kean sambil menggandeng tangan putranya tersebut. Sedikit melirik ke arah Kean, lalu tersenyum tipis. Putranya itu sejak tadi tak pernah berhenti tersenyum.
"Senang?"
Kean mendongak. "Iya. Kean sangat senang."
"Baiklah. Papa senang melihat Kean senang."
Arkan dan Kean menghentikan langkah mereka ketika tiba di dekat ranjang. Anak lelaki itu duduk di tepi ranjang di ikuti sang Papa.
"Papa, kenapa Kean disuruh melihat tanda lahir Tante cantik?"
"Papa hanya ingin memastikan sesuatu," ujar Arkan. Lelaki itu kemudian menatap putranya. "Kean, janji sama Papa kalau Kean tidak akan mengatakan hal ini pada siapa pun."
"Kean janji," jawab anak itu tanpa bertanya alasannya.
"Anak pintar." Arkan mengusap pelan puncak kepala putranya. "Jadi, sekarang Kean mandi?"
"Papa yang mandikan, boleh?"
Arkan terkekeh pelan. "Baiklah. Ayo!" Anak itu langsung tersenyum lebar. Arkan melepaskan jas yang ia kenakan, kemudian menggandeng putranya menuju kamar mandi bersama.
Arkan dengan telaten mengurus putranya hingga anak itu selesai mandi dan berpakaian. Segala bentuk perawatan putranya selalu ia perhatikan, bahkan ia mempelajari dengan baik bagaimana caranya mengurus putra semata wayang nya tersebut.
"Selesai." Arkan menatap Kean yang sudah segar dan tampan. "Sekarang, giliran Papa yang bersih diri. Kean mau Papa antarkan ke bawah atau menunggu Papa saja?"
"Kean mau menunggu Papa saja."
"Kalau begitu Papa akan secepatnya kembali." Mengecup pelan puncak kepala putranya, Arkan mulai beranjak meninggalkan kamar yang didominasi warna biru itu. Langkah Arkan langsung menuju kamarnya.
Beberapa saat setelah Arkan berada di kamarnya, pintu kamar Kean dibuka dari luar. Mendengar derit pintu, Kean yang tengah bermain dengan beberapa mainannya menoleh.
Raut polos dan menggemaskan miliknya langsung berubah tak bersahabat—menatap sosok Vanesha di ambang pintu dengan raut tak suka.
"Hai, Kean," sapa Vanesha berusaha ramah, usai menutup kembali pintu kamar.
Kean yang sejak awal tak suka padanya pun mengabaikan. Masih dengan raut tak sukanya, bocah itu berpaling dari Vanesha dan fokus pada mainannya.
Reaksi Kean itu yang memicu rasa kesal Vanesha. Meski begitu, dia masih cukup mampu mengendalikan emosinya. Langkahnya ia hentikan tepat di depan Kean. Berjongkok, Vanesha mencoba sekali lagi untuk mengajak Kean berbicara.
"Kau terlihat segar dan tampan. Baru saja selsai mandi?"
Kean tak membalas. Dia sibuk menciptakan adegan dimana rusa kesayangannya dikejar seekor singa.
Vanesha berdecak dalam hati. Bisa-bisanya dia tak dipedulikan oleh anak kecil seperti Kean. Dia sangat kesal, namun masih berusaha untuk ramah dan merebut hati Kean. Baginya, jika Kean luluh dan menerimanya, Arkan sudah pasti akan menerimanya juga.
"Semua mainan Kean bagus. Boleh Tante ikut bermain?"
"Maaf Tante, ini mainan anak-anak. Tante bukan anak-anak seperti ku. Jadi, Tante tidak boleh ikut bermain."
Vanesha kembali terdiam dengan puluhan umpatan yang ia lontarkan untuk Kean dalam hati.
"Sekali saja Tante ikut main, boleh?"
Kean menggeleng. "Tidak boleh," jawab Kean tak acuh.
"Sialan! Kau bisa tidak melihat ke arah Tante sebentar?"
Kean mendongak. Ia terkejut atas reaksi yang Vanesha tunjukkan. Wajahnya mulai ketakutan melihat wanita itu. Namun, sebagaian keberanian masih tersimpan dalam diri Kean.
"Tante Vanesha jahat! Tante Vanesha membentak Kean. Tante Vanesha tidak seperti Tante cantik!"
"Sialan! Siapa Tante cantik? Katakan!"
"Tidak! Kean tidak mau!"
"Bocah sialan! Bocah tak berguna!" Vanesha mengambil salah satu mainan Kean dan membanting nya hingga rusak. Ditatap nya Kean dengan sorot marah. Ingin sekali ia mengamuk, meluapkan amarahnya pada Kean yang selama ini sangat tak sopan padanya. Tapi, dia takut jika Arkan tahu perbuatannya itu.
Huh!
Vanesha membuang nafasnya kasar. Dia melirik Kean yang terlihat ketakutan, mendengus pelan, kemudian beranjak keluar dari kamar anak itu.
Sementara Arkan, lelaki itu sedang berada di kamar mandi, membiarkan guyuran air hangat dari shower membasahi seluruh tubuhnya.
Kedua tangan kekarnya bertumpu pada dinding kamar, menahan bobot tubuhnya. Pikirannya terus berputar pada setiap kejadian di kantor hari ini.
Tanda lahir yang Anin miliki menjadi hal utama yang mengusiknya hingga saat ini.
Jika Anin benar-benar Charissa, kenapa dia tidak ingat aku? Apa yang terjadi sebenarnya?
Arkan menghembus nafas perlahan, kemudian mengakhiri mandinya. Segera ia kenakan bathrobe lantas keluar dari kamar mandi sambil mengusap-usap rambutnya yang masih terdapat sisa-sisa air menggunakan handuk.
"Arkan." Suara lembut mendayu dan terkesan menggoda membuat gerakan tangan Arkan berhenti. Lelaki itu langsung mengarahkan tatapannya ke sumber suara, dimana Vanesha tengah duduk dengan pose seksi menggoda, begitu menjijikkan di mata Arkan.
Tatapannya menajam seiring dengan langkah Vanesha yang mulai mendekat, berjalan dengan gaya sensual, berusaha merayunya.
Ketika Vanesha berhenti tepat di depannya, tangan Arkan dengan sigap mencengkram rahang wanita itu dengan kasar.
"Kau sudah melewati batas, Vanesha!" Arkan mengeraskan rahangnya, menekan setiap ucapannya dengan tatapan tajam membunuh.
Vanesha sangat terkejut dengan apa yang terjadi baru saja. Dia benar tak menyangka Arkan akan bereaksi seperti sekarang. Ia pikir, Arkan diam karena pria itu terpesona dengan penampilannya yang cukup terbuka.
"A-Arkan ...."
"Berani sakali kau masuk ke kamar ku dan Charissa! Mau ku patahkan leher mu, hm?" Vanesha bisa melihat kilatan kemarahan di mata Arkan. Wajahnya mulai memucat. Dia takut Arkan benar mematahkan lehernya.
Dengan cepat Vanesha menggeleng. Tangganya berusaha menjauhkan tangan kekar Arkan, menghentikan cengkraman lelaki itu yang begitu menyakitinya. Air matanya bahkan sudah menetes.
Bruk!
Arkan mendorong kasar Vanesha hingga terjerembab ke lantai. Sakit, namun Vanesha tak punya kesempatan merintih panjang atau mengeluhkan rasa sakitnya. Wanita itu dengan segera bangkit dan berjalan kearah pintu usai mendengar kata "Keluar!" dari bibir Arkan dengan penuh ketegasan dan amarah.
"Wanita sialan!" umpat Arkan kasar. Jika tidak ingat janjinya pada sang Ibu, sudah pasti dia akan menghajar wanita itu sampai ia jera dan tak berani datang lagi.