NovelToon NovelToon
Pernikahan Balas Dendam

Pernikahan Balas Dendam

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:378
Nilai: 5
Nama Author: arinnjay

Seorang wanita cantik dan tangguh bernama Arumi Pratama putri tunggal dari keluarga Pratama.
Namun naas suatu kejadian yang tak pernah Arumi bayangkan, ia dituduh telah membunuh seorang wanita cantik dan kuat bernama Rose Dirgantara, adik dari Damian Dirgantara, sehingga Damian memiliki dendam kepada Arumi yang tega membunuh adik nya. Ia menikah dengan Arumi untuk membalas dendam kepada Arumi, tetapi pernikahan yang Arumi jalani bagaikan neraka, bagaimana tidak? Damian menyiksanya, menjadikan ia seperti pembantu, dan mencaci maki dirinya. Tapi seiring berjalannya waktu ia mulai jatuh cinta kepada Damian, akankah kebenaran terungkap bahwa Arumi bukan pelaku sebenarnya dan Damian akan mencintai dirinya atau pernikahan mereka berakhir?
Ikutin terus ceritanya yaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arinnjay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 : Bayangan dari Masa Lalu

Langit Jakarta sedang murung hari itu. Awan menggantung berat, seolah tahu akan ada badai kecil yang tak lama lagi menghampiri. Di toko buku kecil milik Arumi dan Damian, suasana masih sama seperti biasanya: tenang, hangat, dan dipenuhi aroma kopi serta buku tua.

Arumi tengah menyusun novel-novel baru di rak, sementara Damian sedang duduk di meja kasir, mengetik sesuatu di laptopnya. Sekilas, semuanya tampak biasa. Tapi hari itu, dunia mereka yang damai perlahan akan terusik.

Pintu toko terbuka, dan suara lonceng kecil di atasnya berdenting.

Arumi menoleh, bersiap menyapa pelanggan baru—tapi langkahnya terhenti. Di ambang pintu, berdiri seorang wanita berpenampilan rapi, anggun, dengan mata tajam dan bibir yang tersenyum penuh percaya diri. Rambutnya tergerai indah, make-up-nya natural tapi sempurna.

“Damian,” ucapnya ringan. Suara itu seperti peluru tak kasat mata yang menghantam udara tenang di toko.

Damian langsung mendongak. Tangannya yang semula sibuk mengetik berhenti. Matanya melebar sejenak, lalu tubuhnya menegang.

“Jesica...”

Arumi mengamati interaksi itu dari balik rak. Hatinya mencelos. Ia tahu nama itu. Bukan hanya karena Damian pernah bercerita—singkat, datar, seakan tak ingin mengungkitnya—tapi karena nama itu adalah bagian dari luka lama Damian yang paling dalam.

Jesica melangkah masuk, seolah tempat itu miliknya. Ia menghampiri meja Damian dan tersenyum manis.

“Sudah lama, ya. Kamu nggak banyak berubah... atau mungkin kamu justru makin dewasa sekarang.”

Damian berdiri perlahan. Tatapannya kaku, tapi sopan. “Kamu ngapain di sini?”

Jesica tertawa pelan, ekspresinya tenang. “Aku lagi di Jakarta buat urusan kerja. Dan entah kenapa, kakiku membawaku ke sini. Ternyata instingku benar—kamu di sini.”

Arumi tak ingin menguping, tapi rasa penasaran dan kecemasan membuatnya tetap berdiri di balik rak, mencuri dengar tanpa sadar.

Jesica menyapu pandangannya ke sekeliling toko. “Tempat ini... kamu yang bangun?”

“Bersama seseorang,” jawab Damian tegas.

“Seseorang?” Jesica menaikkan alis, lalu akhirnya menoleh ke arah Arumi yang kini tak punya pilihan selain keluar dari persembunyiannya.

Damian melangkah cepat dan meraih tangan Arumi, seolah ingin memberi pernyataan tak terucap. “Jesica, ini Arumi. Tunanganku.”

Arumi menatap Jesica dengan sopan, menahan emosi yang mulai berkecamuk. “Hai. Selamat datang di toko kami.”

Jesica tersenyum manis, tapi mata itu menyimpan sesuatu—bukan permusuhan, tapi perhitungan. “Senang bertemu denganmu. Damian memang selalu tahu cara memilih wanita luar biasa.”

Damian menggenggam tangan Arumi lebih erat.

**

Setelah kunjungan Jesica yang singkat tapi mengusik, toko kembali sepi. Damian duduk di sofa belakang, diam. Arumi menyusulnya, duduk di samping, menatapnya pelan.

“Dia... mantan kamu yang pernah kamu bilang itu?” tanya Arumi, hati-hati.

Damian mengangguk. “Iya. Dia... bagian dari hidupku yang dulu. Yang gelap. Waktu aku belum bisa bedain cinta dan manipulasi.”

Arumi menunduk. “Dia kelihatan... masih punya pengaruh ke kamu.”

Damian langsung menoleh, menatapnya lekat. “Enggak. Denger, Aru. Aku mungkin pernah cinta sama dia, tapi itu udah mati sejak lama. Sekarang... kamu satu-satunya yang ada di hatiku.”

Arumi mengangguk, mencoba percaya. Tapi hatinya bukan baja. Ia tahu, kenangan masa lalu bisa sekuat peluru saat muncul tiba-tiba.

**

Hari-hari setelah itu berjalan tak tenang. Jesica muncul lagi—kadang mampir ke toko dengan alasan ‘lihat-lihat buku’, kadang sekadar mengirim pesan ke Damian. Sopan, tapi intens.

Arumi berusaha tenang. Ia tahu siapa dirinya. Tapi setiap kali Damian terlihat sedikit lebih lama menjawab pesan, atau saat matanya menerawang usai pertemuan singkat dengan Jesica, ketenangan itu goyah.

Sampai suatu malam, Arumi dan Damian duduk di balkon, langit di atas mereka gelap tanpa bintang.

“Boleh aku tanya jujur?” tanya Arumi, suaranya lirih.

Damian mengangguk. “Apa aja.”

“Kamu... masih ada rasa ke Jesica?”

Pertanyaan itu seperti hantaman. Damian menatap Arumi lama, lalu menggenggam tangannya.

“Rasa itu pernah ada, iya. Tapi bukan cinta. Dulu aku pikir aku mencintai dia. Padahal aku cuma terikat sama trauma. Sekarang... semua itu tinggal debu. Yang aku punya cuma kamu.”

Arumi menarik napas panjang. “Tapi dia belum selesai, Damian. Aku bisa lihat itu.”

Damian mengangguk. “Kalau dia datang buat ganggu kita... aku bakal jaga kamu. Aku nggak akan biarin masa lalu ambil masa depan kita.”

Arumi menatapnya. “Aku percaya sama kamu. Tapi aku juga minta satu hal—jangan tutupin apa pun dari aku. Kalau kamu ketemu dia, kalau dia bilang sesuatu, aku pengen tahu. Jangan bikin aku nebak-nebak.”

Damian mengangguk, serius. “Aku janji.”

**

Janji itu diuji tak lama kemudian. Jesica mengirim pesan—meminta bertemu. Katanya hanya ingin bicara satu kali, untuk menutup semua yang belum selesai.

Damian ragu, tapi ia ingat janjinya. Ia menunjukkan pesan itu ke Arumi.

“Kamu boleh bilang nggak, dan aku nggak akan pergi,” katanya.

Arumi menatap layar ponsel itu. Ada banyak rasa di dalam dirinya—takut, ragu, tapi juga keberanian. “Pergi. Tapi jangan bohong tentang apa yang kalian bicarakan.”

**

Mereka bertemu di kafe kecil. Damian datang lebih dulu. Jesica muncul sepuluh menit kemudian, dengan senyum yang entah tulus atau tidak.

“Kamu kelihatan lebih tenang sekarang,” katanya sambil duduk.

Damian tak menanggapi. “Kamu mau bicara soal apa?”

Jesica menatapnya. “Aku cuma mau bilang... aku minta maaf.”

Damian terdiam.

Jesica melanjutkan, “Dulu aku egois. Aku pikir aku bisa ngatur segalanya, termasuk kamu. Tapi setelah kamu pergi, aku sadar... aku kehilangan seseorang yang benar-benar mencintaiku, bukan karena manipulasi, tapi karena ketulusan.”

Damian menatapnya dalam. “Jesica, aku udah maafin kamu sejak lama. Tapi aku nggak pernah punya niat buat balik.”

Jesica tertawa kecil. “Aku tahu. Aku cuma... pengen lihat apakah kamu masih sama.”

Damian menggeleng. “Aku nggak sama. Aku bukan laki-laki yang kamu kenal dulu. Aku belajar dari kamu—tentang apa yang aku nggak mau jadi.”

Jesica menunduk, suaranya sedikit gemetar. “Dan dia... Arumi. Kamu beneran bahagia sama dia?”

“Lebih dari apa pun.”

Jesica tersenyum tipis. “Kalau gitu, terima kasih udah datang. Mungkin aku cuma butuh lihat kamu bahagia, biar aku bisa lanjut juga.”

**

Damian pulang dan langsung memeluk Arumi yang sedang membaca di ruang tamu.

“Dia minta maaf,” kata Damian. “Dan aku bilang, aku nggak mau balik ke masa lalu.”

Arumi menatapnya. “Kamu yakin udah selesai?”

Damian mengangguk. “Selesai. Dan aku pulang ke tempat yang sekarang jadi rumahku. Kamu.”

Arumi tersenyum dan menarik Damian ke pelukannya. “Selamat datang pulang.”

**

Malam itu, mereka berdua duduk di balkon, saling bersandar dan memandangi langit. Damian menggenggam tangan Arumi, lalu menciumnya pelan.

“Aku tahu, cinta kita nggak sempurna. Tapi aku janji, aku nggak akan pernah biarin bayangan masa lalu ganggu cahaya yang kita punya sekarang.”

Arumi membalas ciuman singkat itu. “Kita nggak sempurna. Tapi kita saling milih. Setiap hari. Dan itu cukup.”

**

Dan malam itu, dua hati yang pernah retak kembali menyatu—lebih kuat, lebih matang, dan lebih siap menghadapi apa pun.

Karena mereka tahu, cinta bukan soal siapa yang datang duluan, tapi siapa yang tetap tinggal dan memilih untuk berjuang bersama.

-

...****************...

1
Araceli Rodriguez
Ngangenin deh ceritanya.
Cell
Gak kepikiran sama sekali kalau cerita ini bakal sekeren ini!
filzah
Karakter-karakternya sangat hidup, aku merasa seperti melihat mereka secara langsung.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!