NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 14 - Menguak Informasi

Meski aku tahu bahwa Darius bisa saja akan memberi penyangkalan dan tuduhan ketika aku menjawab sesuai dengan versiku sendiri, tetapi aku tidak akan berubah—aku akan mencampuri peran ini dengan diriku sendiri.

“Tidak, Mas,” jawabku lugas, sedikit dadaku terasa sesak—mengingat Arjuna.

“Bagaimana mungkin kau bisa berkata tidak? Setelah aku melihat isi chatmu dengan kekasihmu itu?”

Aku tersenyum tipis, jika harus membahasnya memang ini akan membuat hatiku perih. “Katamu kamu sudah melihat, tentunya kamu tahu, dong, kalau aku sekalipun tak membalas pesannya?”

Darius terdiam. Pandangannya turun, tak lagi menatapku.

“Aku tahu, Mas. Kamu bicara begitu karena kamu takut aku mengulangi hal yang sama, hamil lagi oleh pria yang kamu anggap sebagai kekasihku. Tapi aku dengan lantang mengatakannya sekarang, bahwa aku tidak akan hamil oleh siapapun,” tambahku setelahnya.

Perlahan Darius menaikan pandangannya kembali. “Aku bukan takut kamu hamil, Soraya. Bukan rasa takut serta merta sebab aku cemburu, bukan. Aku hanya tidak mau memperpanjang masalah ini.”

Aku angguk-angguk, sangat paham. “Iya. Aku mengerti. Itu sebabnya aku pun ingin segera ini berakhir.”

“Bagus kalau kamu mengerti. Tapi di luar itu, kamu bebas mau pergi ke mana pun. Temui siapapun lelaki yang kamu inginkan. Asal jangan pernah membawanya ke sini, jangan mengotori tempat ini. Jangan pernah hamil selama kita masih terikat pernikahan,” katanya mempertegas.

Aku mengembuskan napas pelan, menyetujui hal yang tanpa diberitahu pun pastinya akan aku lakukan.

Kulihat Darius langsung membalikkan badannya kembali ke depan, siap melanjutkan langkah yang tertunda. Tetapi bergeming sesaat, ragu-ragu, tampaknya masih ingin menyampaikan sesuatu.

“Aku tidak tahu perasaan macam apa yang kurasakan saat ini. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan rumah ini, bukan bermaksud dalam makna buruk. Tapi seperti aku harus menjaganya, merawatnya. Dan .... oleh karena itu, aku ingin mengingatkan satu hal padamu.”

Masih kupandangi lekat-lekat punggungnya itu.

“Untuk sementara waktu ini, jangan pernah sekali-sekali berkeliaran memasuki sembarang ruangan. Kita tidak pernah tahu ada apa di dalam ruangan itu, tidak sampai aku sendiri yang memeriksanya dan sudah ingat tentang seluk beluk rumah ini,” imbuhnya dengan nada tak ingin dibantah.

Aku tetap manggut-manggut, walau Darius tak melihatnya. Dan setelahnya, hari-hari berjalan tanpa ada kendala yang memicu pertengkaran di antara kami.

Untuk sementara waktu ini—sebelum kondisi Darius benar-benar pulih untuk bisa bekerja kembali ke kantor, dia mengerjakan sebagian pekerjaannya dari rumah. Salah satunya tatap muka secara daring.

***

“Kamu tidak perlu melakukannya,” katanya persis ketika aku meletakkan secangkir teh hijau di atas mejanya—tepat di samping laptop yang dipandanginya.

Aku berdiri di ujung meja, mata kami bersirobok, kepalaku menggeleng pelan. “Itu tidak masalah.”

“Tapi kamu melakukannya setiap hari, Soraya,” katanya dengan tamping bingung.

Juga mungkin tak enak hati, atau bahkan tak suka diperlakukan seperti ini?

Darius memutar kursi kerjanya, sehingga saat ini tubuhnya sempurna menghadap padaku. “Kamu dulu tidak seperti ini, aku—”

“Maka jika begitu, terbiasa-lah mulai sekarang,” balasku menyerobot.

Tangannya mengusap rambut, melirik pada laptop yang masih menyala. “Ini serba baru bagiku, aku tak pernah diperlakukan seperti ini. Kita hanya berdua di sini, bahkan saat kumpul dan menjadi sorotan mereka pun kamu tak pernah berbuat seperti ini.”

Sejujurnya aku muak—aku nyaris kehilangan diriku sendiri hanya untuk berlagak menjadi seseorang yang telah tiada. Bahkan selama hampir seminggu di sini, sekalipun aku tak pernah mendengar namaku sendiri disebut.

Setidaknya begini caraku untuk tetap hidup di situasi ini. Aku tak mungkin mengorek informasi jika akses yang kumiliki saja masih terbatas dan seakan terkurung di sini.

“Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi di sini. Aku bosan dan itu satu-satunya caraku untuk menghabiskan waktu,” balasku seraya berbalik badan, siap beranjak pergi—tak mau merasa tersudut dengan tatapan dan pertanyaannya itu.

Tetapi sebelum benar-benar keluar dari kamarnya, aku berdiri di ambang pintu. “Satu jam lagi turunlah ke bawah, aku akan menyiapkan makan siang. Dan sebelum itu, kamu ingin aku masakan sesuatu?”

“Ada. Aku ingin sekali makan dan minum sesuatu. Itu salah satu makanan favoritku,” timpalnya dengan nada antusias.

Setengah badanku kembali berbalik, menatapnya lagi. “Katakan saja, jika ada bahannya dan aku bisa memaksaknya maka aku akan membuatnya untukmu.”

Arsenio tersenyum—senyumannya aneh yang membuat mataku langsung menyipit, merasa curiga.

“Aku ingin makanan kaleng. Mungkin ikan kalengan? Aku lihat—”

“Tidak boleh,” jawabku secepat kilat, “Itu bukan makanan yang bisa kamu makan untuk sekarang ini, Mas. Lagi pula, sependek yang aku tahu kamu paling anti dengan makanan kaleng.”

“Oh, ya? Lantas apa makanan kesukaanku?” tanyanya kemudian dengan nada menantang—mimiknya mengartikan seolah aku tak akan mampu menjawabnya.

Aku melenguh. “Kopi hitam dengan sedikit gula. Juga mie instan yang dimasak lama hingga mengembang. Setidaknya itu dua yang paling kamu sukai kan, Mas?”

Mendengar jawabanku barusan, Darius justru tertawa. Dia bertepuk tangan. “Ternyata kamu tidak lupa soal itu, Soraya. Dan sepertinya memang aku saja yang lupa ingatan di sini.”

Aku mengangkat bahu, pura-pura tak peduli. Setidaknya obrolan ringan yang singkat—pada saat itu, ketika kami masih hanya sebatas calon ipar, berhasil menyelamatkanku saat ini.

“Meskipun begitu, kopi dan mie instan masih belum bisa kamu konsumsi. Aku akan tetap berfokus pada makanan usulan dokter agar kamu bisa segera sembuh, Mas.”

Usai mengatakan hal itu, kali ini aku benar-benar meninggalkan kamarnya. Berderap menuju dapur dan segera berkutat di depan kompor.

Selanjutnya kami makan siang bersama seperti biasa—minim percakapan. Di luar memenuhi kebutuhannya dan melakukan tugas rumah, aku mengurung diri di kamar. Begitu pun juga dengan Darius, sibuk dengan pekerjaannya.

***

Sudah hampir tengah malam saat aku duduk sendirian di ruang baca kecil di ujung rumah. Lampu meja menyala temaram, menyisakan bayangan panjang di dinding. Di depanku, laptop terbuka dengan layar yang memancarkan cahaya biru pucat, dan deretan unggahan media sosial memenuhi layar.

Kali ini aku memulai misiku, aku tak mau membuang waktuku lagi—menyadari cepat atau lambat ingatan Darius akan kembali, dan aku harus memastikan bahwa aku sudah harus menggenggam akar dari masalah ini.

Nama kakak angkatku terpampang jelas di bagian atas—akun yang kini tak lagi aktif, tetapi masih terbuka untuk umum.

Aku menggulir perlahan, menelusuri jejak digital yang ia tinggalkan. Foto-foto dirinya yang tersenyum, unggahan penuh pujian dari teman-temannya, komentar-komentar yang mengagumi sikap ramah dan cerdasnya.

Tapi aku tahu, semua ini hanya permukaan.

Tanganku dengan cekatan menggulir—berharap bisa mencapai dasar dan menemukan sesuatu di sana yang bisa aku kaitkan sebagai petunjuk.

“Eh, ini postingan dua tahun lalu?”

Yap, saat ini aku berhasil tiba di tahun itu

Aku mengklik salah satu foto yang memperlihatkan dia dan pria—yang jelas dari posturnya saja bukan Darius. Meski tidak kelihatan wajahnya, hanya foto seorang pria yang selalu membelakangi kamera—aku sangat amat meyakini itu bukanlah Darius.

Juga caption di sana tertulis, “Selalu.”

Hanya itu. Tak ada yang lain. Tapi aku yakin itu mengaitkan pada suatu hal.

Alisku bertaut. Bertanya-tanya, siapa pria itu?

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!