Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Selalu Ada Saat Pertama untuk Apa pun
Dion menghela napas lega saat keluar dari ruang sidang kampus setelah mempresentasikan programnya di hadapan tim dosen penilai. Ia berjalan menuju kantin, tempat sahabatnya, Hendrikus, menunggu untuk bersantai.
“Bro, kapan nih jadian sama Wina? Tembak aja, Bro!” cetus Hendrik tiba-tiba setelah sepanjang sore itu mereka habiskan merayakan kelulusan tugas akhir mereka.
“Sekarang sudah hampir akhir Juni. Kalian sudah sering jalan berdua. Tunggu apa lagi?” desak Hendrik karena Dion masih saja diam.
“Lho, tahu dari mana aku dan Wina sering jalan?” Dion balik bertanya.
“Pacarku yang cerita,” jawab Hendrik singkat.
“Maksudmu Atik? Kau dan dia sudah jadian?” tanya Dion kaget.
“Sakit hatiku. Berarti selama ini kau datang ke rental cuma fisik saja, tapi hatimu entah ke mana. Pikiranmu hanya Wina saja, sampai-sampai sahabat sendiri tak kau perhatikan. Tipis pergaulanmu!” Hendrik mengeluh, pura-pura kesal.
Dion pun tertawa. Dia memang sering melihat Hendrik dan Atik bersikap mesra, tapi sama sekali tak menduga kalau keduanya kini sudah pacaran.
“Gerak cepat juga kau, Ndrik! Iya deh, maaf aku sungguh tak tahu. Selamat, Bro!” puji Dion lalu menyelamati sahabatnya itu dengan tos atau high five.
“Gimana caranya?” tanya Dion lirih.
“Cara apa?” Hendrik mengernyitkan dahi.
“Ya itu, cara menembak cepat dan jitu seperti militer,” Dion menjelaskan pertanyaannya.
“Ah payah kau! Bilang aja, ‘aku suka kau dek, mau nggak jadi pacar abang?’ Selesai urusan. Tinggal tunggu hasil,” jelas Hendrik bak Don Juan.
Mendengar itu Dion hanya garuk-garuk kepala. Ia setuju dengan cara yang ditawarkan Hendrik. Sebenarnya memang sesimpel itu.
“Ada apa? Ragu yah?” Hendrik berusaha mengetahui kendala yang dialami sahabatnya itu.
“Selain masih belum punya cukup nyali, aku… “ kalimat Dion terputus. Ia menghembuskan napas berat seolah tak ingin mengatakan alasan kedua.
“Nyali? Bah! Sedangkan preman kau lawan, masak menghadapi Wina saja nggak sanggup. Pasti bukan itu. Apa alasan lainnya?” Hendrik penasaran.
“Kupikir kau sudah tahu, Wina itu berasal dari keluarga berada. Orang seperti kita ini akan sulit diterima,” Dion akhirnya mengungkapkan kegundahannya.
Hendrik jadi terdiam karena berempati pada Dion. Gilirannya kini yang menghembuskan napas panjang.
“Ah itu gampang. Pastikan kau punya cinta yang lebih banyak daripada uang mereka. Urusan beres,” Hendrik coba menghibur dengan candaan.
“Benar juga yah, Ndrik! Kalau mereka punya simpanan uang 1 miliar di bank, aku hanya perlu menyiapkan 2 miliar cinta di hatiku,” Dion membalas candaan Hendrik. Keduanya pun tertawa lalu kembali beradu tos.
“Mungkin kau harus berhenti berpikir terlalu jauh. Siapa tahu dalam perjalanan hubungan kalian, kondisi ekonomi dan karirmu membaik,” Hendrik dengan nada serius.
“Kau bisa menjadikan hubungan itu sebagai penyemangat cari uang,” tambah Hendrik, kini berubah bijak.
Keduanya terdiam sejenak, larut dalam pemikiran masing-masing.
“Bagaimana tadi? Bisa ulangi gak?” Dion tiba-tiba bersuara.
“Ulangi apanya?” Hendrik malah balik bertanya karena bingung kalimat mana yang harus diulanginya.
“Itu tuh, ‘maukah kau jadi pacar….’,” jelas Dion.
“Dah lewat, Bro! Rangkai sendiri saja kalimatmu,” jawab Hendrik lalu keduanya pun tertawa.
“Seharusnya memang dibuat simpel. Kenapa aku tak mengungkapkan saja isi hatiku dan memintanya jadi pacarku?” gumam Dion dalam hati.
...***...
Kamis, 8 Juli 1999.
Dua bulan sudah Dion dan Wina saling mengenal. Butuh waktu yang banyak bagi Dion mengumpulkan tekad dan keberanian untuk meminta kesediaan Wina menjadi kekasihnya.
Wina segera mengangkat telepon yang berdering sore itu dengan riang. Apalagi ia tahu, besok adalah day off Dion, ia ingin mendengar rencana pemuda itu untuk mengisi hari libur bersamanya.
Seperti biasa, obrolan mereka dimulai dengan saling menanyakan kabar dan kegiatan masing-masing hari itu.
Hati Wina berdebar ketika Dion mengatakan ingin mengatakan sesuatu yang penting besok. Wina tak menanyakan ihwal yang ingin Dion bicarakan karena ingin membiarkannya sebagai kejutan.
“Besok Kak Wina habis kuliah jam berapa?”
“Jam 11-an.”
“Lho bukannya Jum’at sore ada kuliah?”
“Iya, tapi besok kan ujian semester, keduanya dipindahkan ke pagi hari.”
“Oh, iya! Aku lupa kalau minggu ini masa ujian semestermu. Mungkin bukan waktu yang tepat untuk bicara hal penting,” ujar Dion lirih.
“Besok ujian dua mata kuliah terakhir. Malah pas buat santai sedikit,” terang Wina yang menahan diri untuk tidak menanyakan hal yang akan disampaikan Dion besok.
“Kalau begitu ketemunya jam berapa?” tanya Dion kemudian.
“Jam 11-an deh. Dion tunggu di rental Hendrik saja,” usul Wina.
“Nggak mau, ah! Pasti Atik juga ada di sana. Keduanya pacarannya lengket terus,” keluh Dion membuat Wina tertawa.
“Nanti aku tunggu Kak Wina di depan kampus saja, ya?” Dion memberi usulan.
“Iya deh. Tapi jangan salahin Wina lho kalau Dion sampai bosan menunggu,” Wina mewanti-wanti.
“Mending bosan menunggu daripada bosan lihat orang pacaran,” sahut Dion membuat Wina kembali tertawa.
“Kita makan siang di rumah makan joglo kemarin, ya! Aku rindu masakannya,” ajak Dion.
“Berarti ajak Atik dan Hendrik dong?” tanya Wina.
“Kita berdua saja. Lagipula, mereka pasti menolak. Soalnya kan Hendrik selalu dibekalin sama Atik. Lihat saja dia jadi gemuk, keenakan dimasakin pacar terus,” Dion berdalih.
“Cemburu atau malah pengen? Makanya cari pacar dong!” goda Wina.
“Iya nih. Mau cari pacar yang pintar masak biar sering-sering dimasakin. Itung-itung menaikkan bobot badan,” sahut Dion.
Obrolan mereka masih berlangsung untuk beberapa saat sampai keduanya mengakhiri dengan saling berjanji untuk bertemu esok hari.
Setelah menutup telepon, Wina tersenyum girang karena ada kemungkinan Dion akhirnya akan menyatakan cinta besok.
Ia menghempaskan badan ke atas matras lalu memeluk bantal guling. Ia berusaha menghadirkan Dion ke pikirannya.
“Mudah-mudahan tebakanku masih akurat,” ujarnya dalam hati.
“Apakah pengecut itu akhirnya menemukan keberanian? Atau jangan-jangan dia malah mengacaukannya karena tak bisa mengatasi rasa gugup,” khayal Wina memikirkan kemungkinan yang bakal terjadi.
...***...
Keesokan harinya, 9 Juli 1999.
Dion mendatangi kampus Wina untuk memenuhi janji bertemu. Ia tiba di sana mengenakan kemeja krem muda dengan lengan panjang tergulung mendekati siku. Dion berusaha tampil rapi meski jantungnya berdegup tak karuan.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya ia melihat bayangan Wina yang berjalan bersama beberapa teman kuliahnya. Jarak gedung utama dengan gerbang kampus Wina cukup jauh, memberi Dion waktu untuk mengatur napas dan menenangkan diri.
Ketika bayangan gadis itu mendekat, Dion mulai cemas, takut dan gembira sekaligus. Hari ini ia berniat menyatakan cinta. Dia masih berusaha mengalahkan rasa gugup dengan keinginan untuk memiliki gadis cantik itu.
“Dion!” seru Wina setengah berteriak ketika jarak keduanya tinggal beberapa meter.
Suara ceria itu memecah lamunannya.
Dion pun menyambut Wina yang setengah berlari menemuinya dengan semringah. Matahari yang terik seakan kalah bersinar dibandingkan pancaran wajah Wina yang penuh semangat.
Hari itu Wina mengenakan kemeja lengan pendek merah muda dan jeans biru tua serta tas jinjing krem.
Seruan itu menarik perhatian para mahasiswa teman Wina. Apalagi ketika keduanya saling menyapa sambil tersenyum. “Cie cie!” ledek mereka sambil berlalu meninggalkan keduanya.
Wina tertawa kecil, sementara Dion hanya menggeleng dengan senyum geli. Ia menatap langit yang terik, lalu menoleh ke arah Wina yang masih tersenyum di sampingnya.
“Matahari terik. Kita naik angkot saja, ya?” cetus Dion dibalas anggukan Wina.
...***...
Saat mereka tiba di rumah makan khas Jawa Tengah itu, suasana tampak lengang. Hanya ada beberapa pekerja yang lalu lalang. Rumah makan itu dikelilingi hamparan sawah hijau yang menyejukkan mata, dengan pelataran parkir luas serta taman yang tertata apik, menciptakan suasana tenang nan nyaman.
“Maaf mas. Para pekerja sedang sholat Jum’at, tapi kalau mau menunggu paling lama satu jam sudah kembali, kok,” ujar seorang wanita ramah di meja kasir.
“Oh nggak apa-apa Bu. Tapi kalau nunggu di sini boleh, ya?” tanya Dion.
“Monggo, Mas! Kalau mau pesan sekarang juga boleh,” sahut ibu tadi.
Wina kemudian melihat-lihat daftar menu. “Dion mau makan apa? Aku pengen bakso,” ujar Wina riang. Dion yang sebenarnya tidak berselera makan mengatakan dia akan makan bakso juga.
“Pilih saja tempat duduknya. Air mineralnya nanti saya antar,” kata ibu itu setelah menerima pesanan dari Wina.
Keduanya kemudian duduk berhadapan di gazebo limasan yang terpisah agak jauh dari bangunan utama. Dion memilih tempat itu karena menginginkan sedikit privasi.
Kegugupan Dion terlihat jelas dari tingkahnya mempermainkan tutup botol mineral di depannya. Membuka lalu menutup, mengulanginya lagi berkali-kali. Wina iba dengan kecemasan pemuda itu.
“Kamu kenapa Dion? Kemarin bilang mau membicarakan sesuatu,” Wina berusaha mendorong Dion agar mulai bicara.
Dion menoleh pada Wina. Tatapan hangat gadis itu seolah menjadi dorongan baginya untuk mengumpulkan keberanian. Ia menarik napas dalam, menghembuskannya perlahan, lalu mulai bicara.
“Aku ingin mengakui dua hal. Yang pertama, aku ingin memberitahu kondisiku yang sesungguhnya,” kata Dion lirih.
Ia terdiam sejenak, merangkai kata-kata yang tepat. Wina menunggu dengan sabar, meski hatinya mulai diliputi rasa penasaran.
“Aku ini yatim piatu atau setidaknya menjalani hidup seperti itu.”
Wina terkejut. Keningnya berkerut, mencoba memahami maksud kata-kata Dion.
“Bukannya Dion punya ayah dan ibu di kampung?” tanyanya heran.
“Mereka sebenarnya paman dan bibiku. Almarhum kakek yang memintaku memanggil mereka dengan bapak dan ibu sejak aku masih kecil,” jawab Dion.
“Orang tuamu… sudah tiada?” Wina bertanya dengan suara hampir berbisik.
Dion menunduk, mengusap tengkuknya dengan canggung. “Aku tidak tahu pasti…” gumamnya. Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Ah, ceritanya panjang.”
“Bukannya kita di sini untuk itu? Kita punya waktu sepanjang sisa hari,” kata Wina.
Dion menatap Wina sejenak, merasakan ketulusan yang terpancar dari sikapnya. Hatinya terasa lebih ringan. Dan di bawah langit siang yang cerah, di tempat yang dikelilingi sawah yang menari ditiup angin, Dion lalu menceritakan kisah keluarganya dan bagaimana ia menjalani hidup sebagai seorang yatim piatu.
Ayah Dion, Benjamin, yang termuda dari dua bersaudara, merantau ke selatan pulau Sumatera kala masih bujangan. Itu dikarenakan penghasilannya di kampung sangat kecil. Benjamin ingin menghidupi ayahnya yang mulai sakit-sakitan tapi masih terus bekerja sebagai buruh tani. Ia menerima ajakan seseorang untuk bekerja di sebuah sawmill atau penggergajian kayu.
Di perantauan itu, Ayah Dion berkenalan dengan seorang gadis, Rosiya Mahalia Sakaputri, putri seorang pemangku adat dan menjalin hubungan asmara dengannya. Tapi hubungan mereka tidak mendapat restu dari orang tua si gadis. Perbedaan agama, suku budaya dan ekonomi membuat hubungan mereka menghadapi jalan buntu.
Merasa tidak mendapat jalan keluar, keduanya kemudian memutuskan kabur. Tempat yang dituju adalah Panai Hilir, kampung Benjamin.
Di sana mereka menikah dan dianugerahi seorang anak lelaki yang diberi nama Gideon Manasseh alias Dion.
Ketika Dion berusia satu tahun, keadaan ekonomi keluarga Dion tidak juga membaik. Benjamin, ayah Dion kemudian memutuskan untuk merantau ke Pulau Jawa mencari penghidupan baru.
Setahun pertama, Ayah Dion selalu mengirimi kabar dan uang. Bahkan pada surat terakhirnya, Benjamin menuliskan keinginannya memboyong istri dan anaknya ke Pulau Jawa. Tapi pada tahun kedua, kiriman kabar dan uang terhenti.
Di tahun ketiga, yakni 1983, Rosiya, ibu Dion menerima kabar bahwa suaminya, ayah Dion, sudah meninggal dunia dan dimakamkan di sebuah kota kecil di Jawa Timur.
Ibu Dion sangat terpukul tapi tak begitu saja percaya dengan kabar yang disampaikan perantau itu.
“Setidaknya biarkan aku melihat makam suamiku,” begitu katanya kepada keluarga besar suaminya ketika menyampaikan maksud untuk pergi ke Jawa Timur.
Karena tidak mendapat dukungan, Ibu Dion yang bersikeras untuk melihat makam suaminya mencari cara mendapatkan uang untuk membiayai ongkos perjalanan.
Ia coba meminjam uang kepada beberapa orang di kampung tapi tak seorang pun sudi mengutangi. Selain karena jumlahnya lumayan besar, mereka tidak yakin Rosiya akan sanggup mengembalikan uang itu kelak.
Kakek Dion yang sebenarnya sangat mendukung niat menantunya tak bisa berbuat apa-apa, karena ia sendiri tak memiliki apa-apa. Sawah yang dulu ia miliki telah diwariskan kepada kedua anaknya yang sudah berkeluarga.
Akhirnya Paman Dion, Ruben, menawarinya sejumlah uang tapi Rosiya harus menyerahkan sawah warisan yang merupakan satu-satunya sumber penghasilan sebagai jaminan. Sawah itu akan dikelola keluarga Ruben sampai Rosiya membayar lunas hutangnya.
Merasa tidak ada jalan lain dan keinginan kuat untuk memastikan keadaan suaminya, Ibu Dion pun menerima penawaran itu.
“Perjalananmu akan sangat panjang dan membutuhkan biaya besar, apalagi belum ada kepastian alamat yang akan dituju. Biarlah Dion tinggal di sini bersamaku sampai kau kembali,” begitu kata kakek kepada ibu Dion ketika itu.
Ibu Dion pun berangkat mencari makam suaminya di Jawa Timur meninggalkan Dion yang belum genap berusia 4 tahun pada mertuanya yang sudah renta dan sakit-sakitan.
Akhirnya Dion dibesarkan oleh kakeknya yang terpaksa bekerja keras untuk menghidupi mereka berdua. Kakek memang tinggal sendiri. Nenek Dion meninggal dunia ketika melahirkan anak keduanya, ayah Dion.
Ketika Dion cukup besar, ia ikut membantu kakeknya bekerja sebagai buruh tani sepulang sekolah. Ia juga mencari tambahan sebagai pemanjat pohon kelapa.
“Waktu itu aku duduk di kelas 6 SD ketika kakek jatuh sakit dan menghembuskan napas terakhir,” kata Dion lalu terdiam sejenak mengenang kakek yang sangat mengasihinya.
“Bertahun-tahun aku mempercayai kakek yang selalu mengatakan ‘ibumu akan segera kembali’. Setelah kakek meninggal, tidak ada lagi yang mengucapkan kata-kata itu dan aku mulai meyakini ibuku tidak akan pernah kembali,” Dion mengisahkan kehidupan keluarganya sambil menatap persawahan di sekitar rumah makan, menahan kesedihan.
Wina mengusap air matanya yang mengalir mendengar kisah Dion. “Lalu Dion tinggal sendirian?” tanyanya yang masih ingin mendengar kelanjutan kisah Dion.
“Rumah yang kami tinggali merupakan harta terakhir kakek jatuh pada paman sebagai anak tertua, kemudian disewakan pada orang lain,” Dion melanjutkan kisahnya.
“Atas anjuran tetua kampung, aku tinggal bersama keluarga pamanku itu,” imbuhnya.
Bulan-bulan pertama tinggal bersama keluarga pamannya, Dion mendapat perlakuan baik. Tapi perlahan sikap mereka mulai berubah.
Mereka menganggap Dion sebagai beban, meskipun Dion tetap bekerja di sawah milik kepala dusun sepulang sekolah sebagai buruh tani. Dion sering menerima sindiran bahkan hardikan dari keluarga pamannya.
Dion tetap bertahan dan berusaha tak menghiraukan perlakuan dan kata-kata kasar keluarga pamannya, terutama bibi dan sepupu-sepupunya.
Tapi hati Dion menjadi sakit sekali ketika mereka berulang kali mengata-ngatai ibu Dion sebagai penipu, Ibu Dion melarikan uang mereka, Ibu Dion sudah menikah lagi dengan pria lain.
Ketika itu Dion sudah berniat meninggalkan kampung karena tak tahan mendengar hinaan pada ibunya. Tapi majikannya yang juga kepala dusun meyakinkan Dion untuk bertahan, mengingat itu adalah tahun terakhir Dion di bangku SMP.
Setamat SMP, Kepala Dusun yang baik itu jugalah yang berhasil meyakinkan paman Dion agar mau membiayai sekolahnya di Medan. Paman Dion menyetujuinya dengan syarat, sawah peninggalan ayah Dion menjadi milik mereka sepenuhnya.
“Kalau dihitung-hitung harga sawah tak akan cukup membiayai. Tapi tidak apa-apa, aku akan bantu sampai kau tamat SMK,” kata Dion menirukan ucapan paman padanya waktu itu.
“Begitulah, Kak. Akhirnya aku menamatkan SMK dan Kakak tahu kelanjutannya,” kata Dion mengakhiri kisahnya.
“Bagaimana dengan ibumu? Apa kamu masih ingat wajahnya?” tanya Wina setelah beberapa saat terdiam.
“Masih. Walaupun tak punya ingatan banyak soal ibuku. Aku ingat senyumnya ketika memelukku sebelum pergi mencari ayah. Kalau ayah, aku tak memiliki ingatan tentangnya. Aku hanya tahu wajahnya dari foto,” ujar Dion.
“Apa kamu tidak pernah mencoba mencari tahu keberadaan ibumu?” tanya Wina kemudian.
“Dulu kakek pernah menanyakan para perantau di selatan yang pulang natalan kalau-kalau mereka melihat ibu di rumah orang tuanya di selatan, tapi mereka mengatakan tidak melihatnya dan yakin ibuku tidak berada di sana.”
“Perantau dari Jawa yang sudah dua kali pulang ke kampung juga mengatakan tidak pernah bertemu ibu di Jawa Timur. Jadi kami tidak tahu harus mencarinya ke mana,” tambah Dion lalu terdiam sesaat. Ia teringat sesuatu.
“Waktu kecil, aku selalu berusaha bersikap baik. Kata kakek, kalau aku jadi anak baik ibu akan kembali. Setiap hari aku berdoa agar ibuku baik-baik saja dan segera pulang,” kenang Dion sedih.
“Tetapi pikiran negatif sering muncul. Kadang aku merasa tidak bersikap cukup baik dan tidak berharga sehingga ibu tidak mau menjemputku,” tambah Dion lirih menatap persawahan.
Kata-kata Dion membuat Wina kembali menitikkan air mata. Wina mulai memahami sikap Dion yang terkadang rendah diri dan gugup ketika berhadapan dengannya. Dion merasa ditelantarkan oleh perempuan yang paling ia kasihi, ibunya sendiri.
“Sekarang aku mulai bisa menerima keadaan itu. Aku akan mencari ibu segera setelah ada kesempatan,” kata Dion.
Untuk beberapa menit keduanya hanya terdiam.
Hening.
Wina yang akhirnya berhasil menguasai perasaannya yang berempati kini menatap lurus ke arah Dion. Ia menunggu kata-kata berikut dari pemuda itu.
“Aku tak pernah menceritakan keadaanku ini pada siapapun kecuali pada Yang di Atas,” Dion memecah keheningan.
“Selalu ada saat pertama untuk apapun, bukan?” Wina menimpali.
“Aku sengaja menceritakan hal ini agar menjadi bahan pertimbangan Kakak pada hal kedua yang akan kukatakan,” kata Dion serius sambil menatap Wina dalam-dalam.
Hati Wina tiba-tiba berdegub karena dua alasan. Pertama karena kata-kata yang akan diucapkan oleh pemuda itu dan yang kedua ia kembali mendapati tatapan Dion yang pernah meluruhkan hatinya.
“Aku menyukaimu sejak pertama kali bertemu,” ucap Dion dengan suara bergetar. Kali ini tidak ada embel-embel ‘kakak’ dalam pernyataan itu.
“Semakin lama perasaan itu tumbuh menjadi sayang. Aku berusaha menekannya tapi justru membuatku tersiksa. Aku tak bisa berhenti mengingatmu. Lalu menyadari kalau… aku mencintaimu!” lanjut Dion sambil terus menatap Wina.
Wina masih menatap Dion dengan terdiam. Hatinya berbahagia mendengar pengakuan Dion tapi lidahnya justru kelu.
“Aku juga mencintaimu,” kata Wina tapi kalimat itu hanya bergema di hati.
Wina berusaha membuka mulutnya untuk mengulangi kalimat itu tapi tak ada suara yang terdengar.
Ia ingin memeluk pemuda itu tapi meja memisahkan mereka berdua.
Akhirnya Wina hanya bisa menundukkan kepala.
“Aku ingin memilikimu sebagai kekasih. Kuharap Wina mau membuka hati untukku,” Dion mengungkapkan keinginannya.
Wina masih tertunduk diam. Sesaat ia ingin mengatakan sesuatu, tapi Dion mendahuluinya.
“Pertimbangkanlah dahulu. Kak Wina tidak harus menjawabnya sekarang. Kalaupun jawabannya tidak, aku berharap kakak masih mau berteman denganku. Kakak terlalu berharga sebagai teman,” ujar Dion, kali ini kembali menggunakan embel-embel kakak.
Hati Wina tersayat mendengar kalimat terakhir itu. Dion telah salah menilai sikap diamnya. Tak ingin pemuda itu berpikir bahwa ia menolaknya, Wina memberanikan diri menatap Dion dan menganggukkan kepala.
Melihat anggukan itu Dion ingin bersorak tapi ia masih ingin memastikan arti anggukan Wina. “Maksud anggukan itu…?” tanya Dion dengan mata berbinar, penuh harap.
“Aku mau!”
Wina akhirnya menemukan kembali suaranya yang sempat hilang.
Dion meraih tangan kiri Wina. Ia menggenggam lembut jari-jari halus itu. Wina memutar telapak tangannya dan membalas genggaman tangan Dion. Pipinya merona, dan dengan malu, ia kembali menunduk.
“Maaf ya Mas, Mbak! Kelamaan menunggu. Maklum soalnya Jumat,” ujar pelayan yang tiba-tiba sudah berada di pintu gazebo membawa dua mangkuk bakso di atas nampan.
Keduanya sontak kaget dan melepaskan genggaman masing-masing. Pelayan itu kemudian meletakkan kedua mangkuk bakso beserta bumbu penyerta di atas meja.
“Aku mau ke kemar kecil dulu, ya,” ujar Wina sambil beranjak berdiri lalu berjalan menuju gedung utama. Ia ingin mengembalikan kesadarannya yang tadi sempat dibawa terbang ke awang-awang oleh kata-kata cinta Dion.
“Lho! Kenapa baksonya belum dimakan?” tanya Wina yang kembali dari kamar kecil sembari melepas sepatu sebelum memasuki gazebo itu.
“Mau tunggu Wina,” jawab Dion.
Wina kemudian mengangkat mangkuk baksonya dan pindah ke sisi Dion. Wina ingin duduk berdampingan dengan pemuda itu.
“Geser!” serunya manja sambil menyikut lengan Dion agar meluangkan tempat buatnya.
Dengan saling diam keduanya menambahkan bumbu ke mangkuk masing-masing. Keheningan yang nyaman menyelimuti mereka, hanya diiringi suara sendok beradu dengan mangkuk.
Lalu tiba-tiba, Wina meletakkan tangannya di lengan Dion dan perlahan merebahkan kepalanya di bahu pemuda itu.
Dion merasa bahagia dengan kemesraan itu tapi tak tahu harus berbuat apa. Ia terus saja mengaduk baksonya hingga merasakan sesuatu yang hangat dan lembut jatuh di lengannya.
Air mata.
“Wina menangis…” pikir Dion. Ia hendak menoleh untuk memastikan keadaannya, namun sebelum sempat mengucapkan apa pun, Wina sudah mengangkat kepalanya.
Dengan mata berair dan senyum bahagia, Wina menatap Dion dan berkata lirih, “Aku juga mencintaimu!”