Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13 awal langkah baru
Matahari pagi menembus jendela kamar kecil itu. Arga terbangun lebih dulu, termenung di sisi ranjang sederhana. Pandangannya kosong menatap langit-langit rumah kos yang mulai menguning termakan waktu. Pikirannya terbang jauh—wajah Tere, senyum dinginnya, tatapan tajam yang kadang memerangkap hatinya. "Aku harus bisa... aku harus berusaha demi dia. Demi kami," bisiknya pelan.
Tak lama kemudian Jaka menggeliat, mengucek mata sambil tertawa kecil.
“Arga, lo pagi banget dah bangunnya. Pasti mimpiin cewek tuh!” godanya sambil menepuk pundak Arga.
Arga tersenyum samar, menahan rasa yang tak bisa dia bagi. “Ah, enggak, Jak. Yuk kita siap-siap cari kerja."
Di ruang depan, Babe Udin sudah duduk di kursi bambu, mengenakan singlet putih dan sarung kotak-kotak. Ia menghisap rokok kretek sambil memerhatikan dua pemuda itu.
“Wah, pagi amat, ye. Mau pada kemana nih anak muda?” tanya Babe sambil tersenyum ramah.
“Mau nyari kerja, Be. Biar nga jadi pengangguran,” jawab Jaka sambil nyengir.
Babe Udin berdiri, menepuk bahu Arga dan Jaka dengan hangat. “Yaudah, sebelum berangkat, sarapan dulu gih. Babe pesen lontong sayur sama gorengan, mau kagak? Jangan sampe nyari kerja perut kosong, ntar pingsan di jalan!”
Arga dan Jaka saling pandang, lalu tertawa. “Makasih banyak, Be. Baik banget deh!” kata Arga tulus.
Setelah sarapan, mereka pamit dan mulai menyusuri jalanan kota. Gedung-gedung menjulang, hiruk-pikuk kendaraan, suara klakson bersahutan. Beberapa tempat mereka datangi, namun belum ada yang cocok—hingga langkah mereka terhenti di depan sebuah kafe mewah bernama Café Aluna.
Café itu tampak megah dengan desain kaca modern, sofa-sofa berwarna krem terlihat dari luar. Aroma kopi premium menyeruak begitu pintu terbuka. Mereka memberanikan diri masuk dan bertemu manajer kafe. Beruntung, Café Aluna sedang membuka lowongan untuk pelayan dan barista.
“Selamat bergabung ya. Kalian mulai besok, kita kasih training dulu,” ujar manajer itu.
Arga mengucap syukur dalam hati. Ini awal yang baik.
Sementara itu, di sisi tempat yang lain, matahari pagi menyorot pelataran sebuah rumah mewah bergaya Eropa. Tere turun dari kamarnya dengan anggun, mengenakan blus putih dan rok pensil hitam. Rambutnya dikuncir rapi. Ia melangkah ke ruang makan, di mana kedua orang tuanya sudah duduk.
“Selamat pagi, Ma, Pa,” sapa Tere seraya mencium tangan mereka.
“Pagi, Sayang,” jawab Linda lembut. Adrian Adinata, ayah Tere, meneguk kopinya.
“Kamu hari ini kegiatannya apa aja, Nak?” tanya sang ayah.
Tere tersenyum kecil. “Hari ini ada meeting sama investor di kantor, Pa.”
Linda memandangi putrinya penuh arti. “Kamu nggak ada kabar dari Arga, Sayang?” tanyanya hati-hati.
Tere tertegun sejenak. Baru ia tersadar, ia sama sekali tak memiliki nomor Arga. Rasanya aneh, kenapa ia tak memikirkan itu sebelumnya. “Nggak, Ma... aku bahkan nggak punya nomornya...” jawab Tere pelan, sedikit ragu.
Adrian dan Linda saling pandang. Mereka paham betul kerasnya hati putri mereka, tapi tetap berharap Tere suatu hari membuka pintu hatinya untuk Arga.
Setelah sarapan, Tere berangkat ke kantor. Supir membukakan pintu mobil sport mewahnya. Sampai di kantor, para karyawan langsung menyapa penuh hormat.
“Pagi, Bu Tere.”
“Selamat pagi, Ibu.”
Tere hanya mengangguk, wajahnya seperti biasa—tegas dan tak mudah ditebak. Namun sesungguhnya, pikirannya melayang. Entah mengapa, bayang-bayang Arga muncul lagi. “Kenapa aku jadi sering mikirin dia sih? Bocah itu…” batinnya gelisah.
Saat masuk ruang meeting, Vina—sahabat sekaligus asistennya—langsung mendekat.
“Tere, kamu nggak fokus banget deh. Dari tadi aku perhatiin, kamu melamun terus. Kenapa sih?” bisiknya.
Tere menghela napas. “Nggak apa-apa, Vin. Paling cuma capek aja.”
Vina tersenyum, tapi hatinya curiga. Ia mengenal Tere terlalu lama untuk percaya begitu saja.