Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 12~ Senang sastra?
Punggung kecil itu terlihat berlari kecil seraya mengangkat jariknya...kuatnya ia diantara langkah tanpa alas kaki, langkahnya tidak melambat.
"Sekar..." panggil Amar, ia yakin Sekar mendengarnya namun seolah menulikan diri, Sekar terus saja berjalan cepat dan hampir berlari menjauh, ia tak peduli. Ia tak mau lagi berurusan dengan mereka. Dimana dirinya sangat benci sebab tak bisa melawan.
Padahal, jika sepadan. Kemungkinan besar, Sekar sudah menonjok wajah mereka sejak tadi.
Ia segera masuk ke dalam ruangan melepas beberapa perintilan yang membuat kepalanya berat, seperti kembang goyang dan aksesoris lain.
Naiknya ia ke dalam mobil Toyota Kijang maroon milik amih Mayang, bersamaan dengan para keturunan raja itu bersiap pulang juga.
Sekar duduk di bagian paling belakang sambil menatap ke arah luar kaca jendela mobil dan termenung entah melamunkan apa.
Dan Amar, yang kebetulan--- mobil rombongan ningrat itu melintas berpapasan, refleks langsung mencari keberadaan gadis cantik itu dengan seluruh harapan dan keberuntungannya.
Netranya langsung mengunci kaca jendela paling belakang, suatu kebetulan dan keberuntungan yang pas sekali, sebab Sekar duduk paling pinggir. Riasan di wajahnya tak bisa menutupi usia muda, wajah lugu dan cantik alami gadis ini, hingga tak sadar ia menarik sudut bibir. Ada senyum hangat bersama efek kupu-kupu yang menggelitik jantungnya saat ini.
Oke, ia memang breng sek. Sejak kecil malah....kalau lihat yang cantik-cantik praktis matanya langsung mengunci.
Dan saat mobil Amar maju duluan, tak sengaja tatap Sekar teralihkan melihat ke arahnya. Mungkin saja, gadis itu memergoki Amar sedang memandang puas ke arahnya.
Sekar mengeluarkan lembaran uang dari dalam kantung kresek belang hitam putih. Salahkan ia yang tak membawa tas selempang miliknya yang hanya satu-satunya itu, berdebu pula di dekat gantungan baju, akibat jarang sekali ia pakai.
"Buat mak. Aku ambil separuh buat beli selendang sama buku. Juga untuk tabunganku jaga-jaga beli kostum ronggeng." Sekar benar-benar menyerahkan semuanya pada Mak, bayarannya dari amih Sekar, juga sawerannya yang sudah sempat ia bagi juga di sanggar tadi.
Untuk para pemain gamelan, teteh-teteh senior agar sama-sama mencicipi, tak lupa Sari juga memberinya sebagai tanda cicip yang saweran Somantri. Namun jelas, sawerannya lebih banyak. Amih Mayang juga memberikan uang milik Sekar hasilnya menemani makan siang Bahureksa dengan Sekar yang telah membaginya dua.
"Banyak sekali, Kar?" tanya mak sampai bercicit gamang, justru ada kekhawatiran yang mendalam saat sang putri sulung membawa uang banyak.
"Mak jangan khawatir. Aku bisa pegang--- amanah...." ucapannya terbata, ada kegetiran sendiri dalam ucapan Sekar yang kali ini tak bisa untuk tak kecewa pada diri sendiri, "Mak." ia memaksa senyumnya.
"Sekar bisa jaga diri..." ia menskip kejadian bahu dan pundaknya yang jadi bahan kecap-kecup Bahureksa, atau ia yang berhasil menjilat jempol Bahureksa. Mak tak perlu tau.
"Ya Allah Gusti," mak memeluk Sekar.
"Do'akan aku dapat job ronggeng lagi ya, Mak. Biar waktu bapak dan mak belum ada uang. Aku bisa menutupi kekurangan, kita bisa menabung untuk kehidupan lebih baik lagi...untuk sekolah Jayadi, Widuri, Laksmi..." Jelas Sekar sudah menitikan air matanya, perse tan dengan hina, ia sudah tak punya itu sekarang, niat sucinya sudah ternodai oleh para ningrat kepa rat itu.
"Aamiin." Jawab Mak.
"Awet-awet ya Mak, aku carinya susah. Sampai kaki lecet-lecet." kelakar Sekar menunjukan ujung kelingkingnya.
Mak mengangguk sambil mengusap wajahnya kasar tak mampu berkata-kata lagi.
"Mak belikan yang penting saja dulu, beras satu karung. Lalu sisanya ditabung, oh...belikan juga Jayadi sepatu mak. Kasian, sepatunya sudah mangap, dia dihina terus sama temen-temennya."
Mak sudah terisak menangis.
"Imas!" ia menjerit dengan baju dress selutut berwarna pink pastel, potongan rok yang dikerut, bahu yang mengembang balon dan kerah baju badut. Oh, jangan lupa rambut panjang nan legam Sekar, pita warna senada telah mengikat separuh rambut gadis cantik itu.
"Sekarr! Aaaa!" seru Imas sang sahabat membalas, menaruh sejenak kerupuk dalam tampah, bodo amat dengan kerupuknya, yang penting ia bisa menyambut temannya yang berhasil mentas kemarin.
Ia bisa tertawa hanya dengan melihat Imas saja, "lihat dong!" Sekar mengeluarkan lembaran uang dari tas selempang miliknya yang kecil itu sehingga Imas terkikik senang, "asikkk traktirnya dong, neng ronggeng!"
"Hayu lah! Kamu mau aku traktir apa, sekalian antar aku ke kota. Aku mau beli buku-buku bekas dan selendang!"
Imas menaruh kerupuk yang tengah ia tata di atas tampah penampi tadi di atas tanaman pagar rumahnya, "hayu! Asikkk mau diajak jalan-jalan sama nyai ronggeng!" tawanya disusul tawa Sekar.
"Makkk! Aku mau ditraktir jalan-jalan sama Sekar, ya! kerupuk sudah kujemur! Aku tak tanggung jawab kalo ada ayam tetangga!"
Kedua gadis itu berjalan bersama menuju pinggiran jalan besar untuk menyetop angkot berwarna biru muda.
Dengan Imas yang sudah mengganti pakaian, dan selalu membersamainya.
"Aku mau traktir kamu es kopyor 4848, atau kamu mau es cuwing? Tahu petis, tahu gejrot? Es duren?" tawar Sekar, namun kemudian ia berseru, "ohhh atau mau ku traktir nonton bioskop misbar?!"
Praktis hal itu diangguki Imas, "maunya sih semuanya." tawanya.
Sekar tertawa.
Witwiiww!
"Sekar cantik...mau pada kemana nih? Mau aa antar?"
Imas dan Sekar merotasi bola matanya, sudah tak aneh lagi, dialah Engkos, pemuda kampung disana yang selalu menebar kegenitannya. Pemuda yang gayanya selalu meniru tokoh boy di film catatan si boy yang hanya bisa mereka tonton di televisi pak RT atau beberapa orang berkecukupan di kampung mereka.
"Mau ke kota. Ngga usah diantar, aku bisa jalan sendiri." Jawab Sekar jutek.
"Aa--aa....aa, bb, cc?!" sengak Imas mengundang tawa.
"Yeehhhhh, serius."
Sebuah angkot biru muda akhirnya berhenti di depan mereka, tepat saat dimana Imas dan Sekar sudah muak oleh ucapan Engkos.
Sekar dan Imas membiarkan beberapa penumpangnya turun dahulu kemudian mereka naik.
"Dah aa emonnn!" tawa Imas mencibir yang dibalas tawa Sekar juga.
Guncangan angkot tak menyurutkan niat kedua gadis ini untuk jalan-jalan di kota. Sesekali juga kendaraan yang bergabung di jalanan harus mau membagi jatah jalan untuk delman dan becak.
Oke, sejenak mereka tinggalkan bau tanah, bau daun segar, bau ta i ayam, dan kemiskinan. Yang ada sekarang bau-bau sedikit aroma asap knalpot dan hiruk pikuk perkotaan, yang terkadang dibutuhkan untuk sedikit memantik kegilaan di otak waras.
Pertama-tama Sekar mencari selendang, tawar menawar yang berujung Imas lah yang membantunya melakukan itu.
"Biar aku, Kar..." ia menepuk dadanya jumawa, dan Sekar tertawa akan itu. Baginya Imas sahabat terbaik yang pernah ada. Usaha Imas menawar memang tak ada duanya, hingga akhirnya Sekar mendapatkan selendang baru dengan harga menekan.
Kedua gadis itu tertawa diantara kerasnya dunia.
"Dunia memang kejam, tapi tawaran Imas lebih kejam...hahahah!" tawa Sekar kini menggiring langkahnya dan Imas ke arah deretan pertokoan.
"Nanti, kalau kamu mau beli apapun, ajak aku Kar...biar aku yang tawar."
Sekar menganggukkan kepalanya cepat memeluk Imas, "pasti haus kan? Aku traktir kamu es duren sama es kopyor!"
Imas tersenyum, "makanannya?"
"Tahu petis?" tawar Sekar, "atau nasi Jamblang?"
"Berangkat!"
Namun ujungnya, Sekar meninggalkan Imas sejenak di kedai nasi Jamblang, sementara ia ijin sebentar mencari buku.
"Kamu mau ikut aku cari buku bekas?" tanya Sekar yang telah menghabiskan nasi Jamblang dan es kopyor, sementara Imas masih menghadapi es duren dan tahu gejrotnya.
Imas lantas menggeleng, "oh engga---engga. Untuk urusan barang apapun aku siap membantu, tapi untuk buku? Aku tidak berkawan dengan itu. Aku lebih baik disini dengan es duren..." akuinya membuat Sekar tertawa, "oke. Kalau begitu, aku tinggal sebentar...jangan kemana-mana, makanan sudah kubayar, nanti aku kesini lagi."
Imas mengangguk, "jangan lama-lama, nanti aku harus mencari mu kemana kalau lama."
Sekar melirik jam dinding kedai, "45 menit, sampai jarum jam panjang di angka 3." liriknya diangguki Imas, "sudah dibayar kan?" tanya Imas diangguki Sekar yang langsung membayar.
Ia keluar meninggalkan Imas disana, menyusuri deretan pertokoan bersama ramainya lautan manusia dan kendaraan, berteman dengan debu jalanan. Lantas langkahnya membawa Sekar ke arah jajaran toko buku bekas.
***Sinar Harapan***
***Djaya abadi***
***Toko buku bekas Tjahaya***
Sekar masuk ke dalam lorong rak buku, yang menyajikan tumpukan dan susunan buku rapi menurut klasifikasinya.
Ia tersenyum menyentuh sebagian buku, surga lorong waktu untuknya, seolah ia bisa mengetahui peristiwa apapun di manapun dan kapanpun hanya dengan buku-buku ini padahal ia tidak menyaksikan.
Dan apa sekarang, langkahnya terayun ke arah rak, buku sastrawan bangsa. Ia suka sastra, ia suka syair, ia suka intuisi lirih yang menegaskan perasaan, bahasa yang menjabarkan kekayaan intelektual manusia.
Saking khusyuk nya dan asiknya ia memilih, tak sadar dua buku sudah ia dapatkan.
Sebuah Honda Civic berwarna hijau lime produksi tahun 1970an berhenti di depan toko. Pemuda dengan stelan kemeja rapi sepaket celana high waistnya keluar dari sana.
Dan obrolan seru antara pemilik toko dan pemuda itu bak hembusan angin tak penting di telinga Sekar kala gadis itu membuka lembaran kertas berisikan sajak indah.
"Senang sastra?"
.
.
.
" jembar kisruh" aja si teh🤭🤭🤭😂😂😂🙏