Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya.
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Di rumah yang sederhana dimana kedua orang tua Amira tinggal.
Ibu Endah sedang duduk melamun sambil memandangi foto Amira saat wisuda.
"Amira, apakah kamu tidak rindu dengan Ibu?" gumam Ibu Endah.
Bapak Herman masuk dan melihat istrinya yang sedang melamun.
"Bu, sudah lupakan Amira. Dia sudah melupakannya kita. Buat apa lagi kita memikirkan Amira!" ucap Bapak Herman yang kecewa dengan putrinya.
Bu Endah mendongakkan kepalanya saat mendengar perkataan dari suaminya.
"Pak! Bagaimanapun juga, Amira itu putri kita. Setiap malam aku bermimpi Amira yang menangis, Pak!"
Ibu Endah menangis sesenggukan di hadapan suaminya.
Pak Herman memeluk tubuh istrinya dan meminta maaf.
"Apa ibu mau kita kesana? Bapak juga rindu dengan Amira." tanya Pak Herman.
"I-iya Pak. Aku mau ke rumah Amira." jawab Ibu Endah sambil menghapus air matanya.
Ibu Endah segera menggantinya pakaiannya dan setelah itu mereka berdua segera menuju ke rumah Nakula.
Pak Herman melajukan mobil bututnya yang sudah sangat tua.
"Amira pasti akang senang dengan kedatangan kita." ucap Ibu Endah.
Pak Herman tersenyum tipis sambil fokus menyetir.
"Iya Bu. Amira pasti sangat bahagia nanti,"
Mereka berdua sangat tidak sabar untuk bertemu dengan putri mereka.
Perjalanan yang membutuhkan waktu tiga jam akhirnya sampai juga.
Pak Herman mengajak istrinya untuk turun dari mobil.
Disaat yang bersamaan mereka berdua melihat Mama Mia yang sedang duduk di taman depan.
"Assalamualaikum," sapa Bu Endah.
"Waalaikumsalam," ucap Mama Mia dengan nada sinis saat melihat kedatangan kedua orang tua Amira.
Mama Mia dengan santai menghampiri mereka berdua.
"Mau apa kalian disini? Asal kalian tahu kalau Amira sudah tidak ada disini." ucap Mama Mia.
Pak Herman dan Bu Endah saling pandang saat mendengar perkataan dari Mama Mia.
"M-maksud kamu apa, Mia? Amira dimana?" tanya Bu Endah.
"Amira sudah saya ceraikan dan mungkin saja dia sekarang sedang mengemis di perempatan." jawab Nakula yang baru saja keluar dan menuju ke taman.
Mama Mia mendekati mereka dengan tatapan sinis.
"Anak kalian berdua itu sudah buruk rupa, mandul dan sangat miskin. Menjijikan sekali." ucap Mama Mia.
PLAKK!
Suara tamparan keras yang dilayangkan oleh Ibu Endah.
"Jaga mulut kamu, Mia! Aku tidak terima dengan perkataan kamu!"
Mama Mia memegang pipinya dengan syok, tak percaya seorang wanita desa seperti Ibu Endah berani menyentuhnya.
Nakula yang berdiri di belakangnya langsung melangkah maju dengan tatapan membara.
“Hei! Perempuan kampung! Berani-beraninya kau menampar ibuku!”
Pak Herman menahan lengan istrinya agar tidak meluap lebih jauh, namun Bu Endah masih gemetar penuh amarah.
“Aku boleh miskin! Aku boleh tidak sekolah tinggi seperti kalian!” teriak Bu Endah dengan suara bergetar.
“Tapi aku tidak akan diam saat anakku dihina seperti sampah!”
“Anakmu memang sampah!” bentak Mama Mia.
Pak Herman mengepalkan tangannya saat mendengar perkataan dari Mama Mia.
“Tolong jaga bicaramu, Mia! Kami datang baik-baik untuk menanyakan kabar Amira. Bukan untuk bertengkar.”
Nakula kembali tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan dari Pak Herman.
"Kabar Amira? Amira anak kalian mungkin sekarang sedang mengemis di perempatan lampu merah."
"HAHAHAHA!!" tawa Mama Mia.
Bugh!
Bugh!
Pak Herman melayangkan pukulannya ke wajah Nakula yang sudah keterlaluan.
Mama Mia yang melihatnya langsung memanggil satpam.
"SATPAM!! USIR MEREKA BERDUA!!"
Ibu Endah menghentikan suaminya yang masih menghajar Nakula.
Dua orang satpam datang berlari dan langsung menarik Pak Herman ke belakang.
Sementara itu, Mama Mia berdiri dengan wajah
penuh amarah, pipinya masih memerah akibat tamparan Ibu Endah.
“Usir mereka! Orang kampung tak tahu diri!” teriaknya keras.
Satpam itu ragu sejenak, menatap Bu Endah yang hanya berdiri dengan wajah basah oleh air mata.
Pak Herman menepis tangan satpam itu dengan tegas.
“Tidak perlu diusir. Kami sudah tahu jalan keluar dari rumah kalian yang berhati batu.”
Ia menoleh ke arah Nakula yang terjatuh di tanah dengan darah menetes di sudut bibirnya.
“Suatu hari, Nakula. Kamu akan sadar bagaimana rasanya kehilangan orang yang benar-benar mencintaimu tanpa pamrih.”
Kemudian Pak Herman mengajak istrinya untuk segera keluar dari rumah Nakula.
Pak Herman pang melajukan mobilnya menuju ke kantor polisi.
"Dari dulu yang Bapak takutkan akhirnya terjadi juga, Bu." ucap Pak Herman.
Pak Herman menghela napas panjang sambil terus menatap jalan di depannya.
Tangan tuanya bergetar di atas setir, menahan amarah dan sedih yang bercampur menjadi satu.
Ibu Endah duduk di kursi penumpang, masih menangis pelan.
Tangannya menggenggam foto Amira yang tadi ia bawa dari rumah.
"Amira, dimana kamu Nak?" ucap Bu Endah sambil menangis.
Pak Herman meminta agar istrinya untuk tetap kuat.
"Kita cari Amira sampai ketemu, Bu." ucap Pak Herman.
Tak berselang lama Pak Herman menghentikan mobilnya di depan kantor polisi.
“Bu, ayo kita masuk,” ucap Pak Herman lirih sambil memegang tangan istrinya yang masih gemetar.
Ibu Endah mengangguk pelan, menutup foto Amira di dalam tas tangan lusuhnya, lalu turun dari mobil.
Langkah mereka berat, pakaian mereka basah oleh hujan, namun tekad di dada mereka lebih kuat dari dingin yang menggigit.
Di dalam kantor polisi, seorang petugas muda menyambut mereka dengan sopan.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak, Bu?”
Pak Herman menghela napas panjang, lalu menjawab dengan suara serak,
“Kami ingin melaporkan kehilangan anak, Nak. Namanya Amira Lestari."
Petugas itu mengetik di komputernya, lalu menatap mereka berdua.
“Apakah kalian punya foto atau data terakhirnya?”
Ibu Endah buru-buru mengeluarkan foto Amira saat wisuda.
Senyumnya lebar, mengenakan toga biru dan topi hitam foto yang selalu ia pandangi setiap malam.
“Ini, Nak. Ini satu-satunya foto yang kami punya,” ucapnya sambil menahan tangis.
Polisi menatap foto yang diberikan oleh Ibu Endah.
Ia menatap wajah muda Amira di foto itu cukup lama sebelum mengangguk pelan.
“Baik, Bu. Kami akan buatkan laporan resmi. Tapi, apakah sebelumnya kalian sudah mencoba menghubungi teman, tetangga, atau tempat kerja beliau?” tanyanya lembut.
Pak Herman menggelengkan kepalanya dan ia tidak tahu harus menghubungi siapa.
Petugas polisi itu menatap pasangan suami istri tua itu dengan tatapan iba.
Ia bisa melihat betapa tulus dan hancurnya mereka.
“Baik, Pak, Bu. Laporan akan kami proses. Kalau nanti ada kabar atau seseorang dengan nama yang sama ditemukan, kami akan segera hubungi,” ujarnya sambil menuliskan sesuatu di berkas laporan.
“Terima kasih, Nak. Kami hanya ingin tahu dia masih hidup, itu saja sudah cukup.”
Ibu Endah menunduk, air matanya jatuh satu per satu di atas meja kayu yang dingin.
Petugas muda itu tak tega, lalu mengulurkan tisu kepada Ibu Endah.
“Insyaallah, Bu. Kalau beliau orang baik, pasti Tuhan jaga.”
Setelah laporan selesai, mereka keluar dari kantor polisi.
karna bastian mandul