Sebelas tahun lalu, seorang gadis kecil bernama Anya menyelamatkan remaja laki-laki dari kejaran penculik. Sebelum berpisah, remaja itu memberinya kalung berbentuk bintang dan janji akan bertemu lagi.
Kini, Anya tumbuh menjadi gadis cantik, ceria, dan blak-blakan yang mengelola toko roti warisan orang tuanya. Rotinya laris, pelanggannya setia, dan hidupnya sederhana tapi penuh tawa.
Sementara itu, Adrian Aurelius, CEO dingin dan misterius, telah menghabiskan bertahun-tahun mencari gadis penolongnya. Ketika akhirnya menemukan petunjuk, ia memilih menyamar menjadi pegawai toko roti itu untuk mengetahui ketulusan Anya.
Namun, bekerja di bawah gadis yang cerewet, penuh kejutan, dan selalu membuatnya kewalahan, membuat misi Adrian jadi penuh keseruan… dan perlahan, kenangan masa lalu mulai kembali.
Apakah Anya akan menyadari bahwa “pegawai barunya” adalah remaja yang pernah ia selamatkan?
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Ruang Kerja Daddy
Suara ketukan pintu terdengar pelan. Dari dalam, suara berat tapi tegas mempersilakan masuk.
“Masuk, Adrian.” ujar Daddy
Adrian membuka pintu ruang kerja ayahnya, ruangan besar berisi rak buku kayu gelap, aroma cerutu, dan cahaya lampu meja yang hangat. Daddy duduk di balik meja besar, kacamata baca masih bertengger di hidung, menatap dokumen yang tampak lebih serius daripada sekadar urusan bisnis.
“Duduk,” ucapnya singkat.
Adrian duduk di kursi berlapis kulit. Sejenak keheningan menyelimuti, hanya terdengar detik jam dinding.
Daddy akhirnya menutup mapnya dan menatap putranya lurus. “Bagaimana penyamaranmu?”
Adrian menarik napas, menahan senyum tipis. “Sampai sekarang berjalan lancar. Dia tidak curiga sedikit pun. Kupikir… Anya benar-benar murni, jujur apa adanya.”
Daddy menyandarkan tubuh ke kursi, menautkan jari-jarinya. “Tapi kau terlalu percaya pada kebetulan, Adrian. Dunia kita tidak bekerja dengan kebetulan. Kau harus lebih hati-hati.”
“Daddy khawatir Sonia?” tanya Adrian
“Bukan hanya Sonia,” jawab Daddy datar. “Aku dapat laporan dari Jordan. Ada orang luar yang mulai mengendus keberadaanmu di kota dengan identitas berbeda. Mereka mungkin tidak tahu siapa kau sebenarnya, tapi jika terus mengawasi, cepat atau lambat rahasiamu terbongkar.”
Adrian mengepalkan tangannya di pangkuan. “Kalau begitu, aku harus lebih pandai menjaga jarak. Jangan terlalu sering muncul di hadapannya di luar kafe.”
Daddy menatapnya tajam. “Kau bermain di garis tipis, Adrian. Jika penyamaranmu terbongkar terlalu cepat, semua akan kacau. Anya akan merasa dibohongi, dan itu akan membuka celah bagi musuh untuk memanfaatkannya.”
Adrian terdiam. Kata-kata itu menohok, karena memang itulah ketakutan terbesarnya: bukan hanya soal misinya, tapi juga perasaan Anya yang mungkin hancur jika kebenaran terungkap sebelum waktunya.
“Aku mengerti, Dad,” ucapnya akhirnya. “Percayalah, aku tidak akan biarkan siapa pun melukai dia.”
Daddy menghela napas panjang, lalu berdiri dan menepuk bahu putranya. “Jaga dirimu, dan jaga dia. Tapi ingat, terlalu banyak kebetulan bisa jadi jebakan.”
Adrian mengangguk.
Lampu meja redup, Adrian duduk di tepi ranjang dengan ponsel di tangan. Ia membuka aplikasi pesan, jarinya sempat melayang di atas nama Anya.
Mengetik:
Sudah tidur?
Lalu dihapus lagi.
Diketik ulang:
Besok jangan lupa sarapan sebelum ke kafe.
Lalu dihapus lagi.
Ia akhirnya meletakkan ponsel tanpa mengirim apa pun. Pandangannya jatuh pada syal biru muda yang sempat ia lihat di leher Anya sore tadi. Senyum samar muncul, namun cepat menghilang berganti kerutan cemas.
Karena di layar ponsel, sebuah pesan baru muncul dari Jordan:
“Bos, ada seseorang mengikuti Anya pulang tadi sore. Kami sudah singkirkan diam-diam. Tapi cepat atau lambat, dia akan sadar sedang diawasi. Hati-hati.”
Adrian menutup matanya sejenak. Ia tahu permainannya baru saja menjadi jauh lebih berbahaya.
...----------------...
Pagi di Sweet Anya berjalan seperti biasa. Mesin espresso berdengung, aroma croissant keemasan memenuhi udara, denting sendok di gelas porselen menjadi musik latar yang tak pernah membosankan. Pelanggan berdatangan, sebagian duduk di sudut favorit mereka, sebagian lain hanya mampir sebentar untuk memesan kopi take away.
Anya, dengan rambut yang ia ikat setengah, sibuk mencatat pesanan sambil sesekali bercanda dengan pelanggan setia. Senyumnya tulus, meski ada rasa lelah dari beberapa hari terakhir.
Kafe kecil ini memang rumah keduanya dan belakangan, keberadaan Raka membuat rutinitas yang kadang monoton jadi terasa lebih… berbeda.
Di balik meja barista, Raka atau Adrian dalam wajah samaran—bekerja dengan cekatan. Kemeja putih sederhana, lengan digulung hingga siku, membuatnya tampak seperti karyawan biasa.
Gerakannya tenang, seolah ia benar-benar terlahir untuk pekerjaan sederhana ini. Tak ada yang menyangka di balik senyum kalem itu tersembunyi nama besar yang bisa mengguncang kota.
“Raka, hati-hati. Itu kardus berat,” ujar Anya ketika ia melihat pria itu mengangkat tumpukan bahan baku baru yang barusan tiba.
Adrian menoleh sambil tersenyum kecil. “Tidak apa-apa. Aku terbiasa.”
Kardus-kardus itu ia bawa ke dapur, membuat otot lengannya menegang di balik kemeja. Bagi pelanggan yang duduk di dekat pintu dapur, ia hanya seorang pegawai rajin. Tapi bagi Anya ada sesuatu yang tak pernah bisa ia jelaskan. Setiap kali menatap mata Raka, selalu ada perasaan bahwa pria itu lebih dari sekadar karyawan paruh waktu.
Siang itu, kafe cukup ramai. Pesanan datang bertubi-tubi, dan semua pegawai sibuk di pos masing-masing. Anya berpindah dari kasir ke meja, dari meja ke kasir lagi, hingga tak menyadari sebuah benda kecil jatuh dari saku Raka.
Sebuah dompet kulit hitam, tergeletak di lantai dekat kaki meja kasir.
Awalnya, Anya tidak begitu memperhatikan. Tapi ketika antrean mulai lengang dan ia menunduk untuk merapikan kertas struk, matanya langsung menangkap dompet itu.
“Dompet siapa ini?” gumamnya lirih. Ia membungkuk, meraihnya.
Dompet itu tebal, sedikit berat, dan jelas bukan milik salah satu pelanggan karena sudah terlalu lama berada di sana. Dengan naluri, ia langsung menduga, pasti Raka.
Saat hendak menaruh dompet itu di meja kasir, jari-jarinya tanpa sengaja menyentuh bagian yang sedikit terbuka. Dari celah itu, ujung sebuah kartu identitas menyembul.
Anya berhenti.
Ada rasa bersalah karena ia tahu itu privasi orang. Tapi dorongan untuk memastikan lebih kuat. Perlahan, hampir gemetar, ia menarik kartu itu keluar.
KTP.
Matanya membelalak. Nafasnya tercekat.
Nama: Adrian Bramasta.
Alamat: kawasan elit yang hanya pernah ia dengar dari berita.
Dan foto itu—tak terbantahkan. Wajah Raka.
Darah Anya serasa berhenti mengalir. Seluruh tubuhnya dingin, meski kafe hangat oleh oven yang menyala.
“Adrian…?” bisiknya, hampir tak terdengar.
Pikirannya langsung berlari, mengaitkan setiap potongan aneh yang dulu ia abaikan:
Kemunculannya selalu di waktu yang “tepat”.
Cara dia melindungi, seolah sudah terbiasa menghadapi bahaya.
Ucapannya yang kadang terdengar terlalu… berkelas untuk seorang pekerja paruh waktu.
Mobil yang sempat ia lihat, meski Adrian bilang hanya seken hasil tabungan.
Semuanya mulai masuk akal.
Selama ini… dia berbohong?
Saat itu juga, pintu dapur berayun terbuka.
Adrian keluar sambil merapikan celemeknya. Wajahnya tenang, bahkan ada senyum tipis ketika ia mendekat. “Anya, ada pesanan baru—”
Langkahnya terhenti.
Mata elangnya langsung menangkap dompet di tangan Anya. Lebih buruk lagi, KTP yang kini terbuka jelas di hadapan gadis itu.
Hening.
Suara mesin espresso terdengar terlalu keras. Dengkuran AC seperti mendesak dada yang sudah penuh sesak.
Adrian menatap Anya. Anya menatap balik, matanya bergetar menahan sesuatu yang sulit ia pahami, marah, kecewa, dan bingung bercampur jadi satu.
“Jadi…” suara Anya serak, “siapa kamu sebenarnya?”
KTP itu ia angkat sedikit, sebagai bukti yang tak bisa disangkal.
Adrian menelan ludah. Rahangnya mengeras. Untuk pertama kalinya, ia kehilangan kendali. Semua kata yang sudah ia siapkan selama berminggu-minggu hilang begitu saja.
“Anya, aku bisa jelaskan—”
“Jelaskan apa?” potong Anya cepat. Suaranya tak meninggi, tapi justru lirih dan menyayat.
“Bahwa selama ini aku bekerja dengan orang asing yang berpura-pura jadi orang lain? Bahwa semua kebetulan itu ternyata bukan kebetulan?” ujar Anya
Adrian mendekat selangkah, tapi Anya mundur setengah langkah. Tatapannya penuh luka.
“Aku percaya padamu, Raka. Atau… Adrian. Atau siapa pun kamu.” Napasnya tersengal.
“Aku bahkan.... aku bahkan merasa nyaman di dekatmu.” ujar Anya lirih
Ia terdiam sebentar, lalu berbisik getir, “Ternyata semua itu cuma permainan, ya?”
Adrian merasakan dadanya sesak. Ia ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan permainan, bahwa setiap langkah ia lakukan hanya untuk melindungi Anya. Tapi kata-kata itu akan terdengar seperti alasan kosong.
“Anya…” ia berusaha menahan suara agar tetap tenang. “Aku tidak pernah main-main denganmu.”
Anya menatapnya lama, air mata mulai menggenang di matanya. “Kalau begitu… kenapa kau berbohong soal namamu?”
Adrian membuka mulut, tapi tak ada suara keluar.
Hening kembali merajai. Suara pelanggan yang tertawa di meja ujung terasa seperti berasal dari dunia lain.
Akhirnya, Anya meletakkan dompet itu di meja kasir dengan tangan bergetar.
“Aku butuh waktu,” ucapnya lirih, lalu berjalan cepat menuju dapur, meninggalkan Adrian berdiri sendiri di depan kasir.
Adrian menatap punggungnya yang menjauh. Ia mengejar dan menarik tangan Anya lalu memeluknya dan berkata yang sebenarnya. " Anya tenanglah... Maafkan aku ... Tolong percayalah padaku sekali lagi"
Tidak lama terdengar tangis Anya yang membuat sakit hati Adrian
Bersambung
lgian,ngpn msti tkut sm tu nnek shir....
kcuali kl ada rhsia d antara klian....🤔🤔🤔