NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:571
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Batas Ini Harusnya Tidak Dilanggar

Take dua belas.

Suasana di set senyap. Kru menahan napas, kamera mulai merekam.

Kael melangkah mendekat ke Aluna. Tatapannya dalam dan berbahaya, sangat CEO seperti karakter dalam naskah.

Aluna berdiri di ujung ruang kerja Kael yang menyentuh dagunya, mengangkat perlahan.

“Kamu tahu, kamu udah bikin aku gila?”

Aluna menatapnya. Script meminta wajah bingung tapi terseret perasaan. Ia melakukannya. Dengan sempurna.

Kael menunduk.

Bibir mereka menyatu.

Ciuman pertama itu dalam, bertahan lebih dari tiga detik, lembap, intens.

Kael menekan Aluna ke dinding. Napas Aluna tercekat dalam diam, dadanya naik turun cepat.

“CUT!” Suara Anggara memecah.

Semua melepaskan napas.

Anggara berdiri dari kursi lipat. “Good. Tapi belum klik total. Sekali lagi, please.”

Set disiapkan ulang. Kamera rolling.

Kael menyentuh pipi Aluna, ibu jarinya menyapu tulang pipi gadis itu.

Aluna menatap Kael, wajahnya bergetar, hampir terlalu nyata untuk akting.

Ciuman datang lagi. Kali ini lebih panas.

Kael menyapu tangan ke punggung Aluna, membuat seragam itu tampak melorot sedikit dari bahu. Kepala Aluna miring, bibir mereka saling menekan kuat.

“CUT!”

Make up artist masuk buru-buru setelah menerima kode dari Anggara.

“Wajah Aluna mengkilap banget, touch up dulu!”

Aluna mengelap bibirnya pelan. Tapi saat menoleh ke kiri, ia melihat pria itu menunduk dengan bahu naik turun. Tertawa.

Wajah Aluna langsung memerah, antara malu dan marah. Ia menatap ke arah sutradara dan menunjuk kesana.

“Bang Ang... Bisa minta yang itu... keluar dari ruangan?”

Semua menoleh. Beberapa kru menahan napas.

Alaric tetap duduk santai di samping Anggara, kakinya disilangkan.

“Itu CEO lagi nilai aktrisnya mau dipertahankan di agensi dia atau enggak, Al, ” bisik salah satu kru.

“Justru itu,” balas Aluna tajam. “Kalau dia tetap di situ, adegannya bakal makin ‘gagal total’.”

Anggara gelagapan, tapi Alaric malah berdiri.

Ia menatap Aluna dingin. “Aku balik kantor. Lanjutkan syutingnya. Sepertinya kamu lebih ‘berbakat’ dengan dia.”

Alaric menyeringai ke Kael, lalu keluar dari set.

Aluna diam, menunduk. Tapi napasnya sedikit berat.

Bukan karena ciuman. Tapi karena dia berharap, entah sedikit saja, Alaric akan menunjukkan perasaan.

...***...

Aluna duduk di pojok ruangan belakang lokasi syuting, sofa panjang dekat dispenser yang sedikit tersembunyi dari kru lain. Kipas mini mungil di meja kecil mengarah padanya, membuat helaian rambut panjangnya beterbangan pelan ke samping wajah.

Suara langkah pelan menghampiri.

Kael muncul dengan dua cup kopi dan sepotong dessert kue tar stroberi dalam wadah transparan yang dihiasi pita pink kecil.

“Lo nggak ambil minum di fan truck?” tanyanya sambil duduk di sisi kosong sofa.

Aluna menoleh setengah lesu, lalu tersenyum tipis. “Ramai dan panas banget. Gue minta Surya aja yang ambil.” Ia meneguk air mineral dari botolnya, lalu menurunkannya perlahan ke paha.

Kael menyodorkan kopi. “Iced americano, gak ada gula. Sama kayak lo di depan kamera.” Ia terkekeh.

Aluna menerima minuman itu dan ikut tertawa kecil. “Thanks… tapi gue nggak se-pahit itu kali.”

Keduanya terdiam sebentar. Hembusan kipas membuat aroma kopi dan sisa keringat di udara terasa jujur.

Kael menatap ke arah meja make-up yang kosong. “Sorry soal tadi. Kalo terlalu masuk karakter...”

Aluna langsung mengangkat tangan, menggeleng. “No, bukan salah lo. Harusnya gue yang minta maaf. Gue malah yang nggak fokus.”

Kael melirik cepat ke arah Aluna. “Lo gugup karena suami lo nonton?”

Aluna menoleh cepat. Tangannya mencengkeram cup plastik. “Bukan karena itu…”

Ia menarik napas. Lalu cepat-cepat menambahkan, “Dia terlalu profesional. Jadi ya… dia anggap ini bagian dari kerjaan.”

Kael menyipitkan mata, menyelidik. “Kelewat profesional... sampe nggak cemburu istrinya ‘dilahap’ aktor lain di depan mata?”

Aluna terkekeh kaku, lalu tertawa. “Ya... mungkin itu tandanya gue bebas tugas buat bikin dia cemburu.”

Mereka tertawa bersamaan, dan untuk pertama kalinya sejak adegan panas tadi, tidak ada kecanggungan. Tidak ada sisa ciuman. Tidak ada sisa tekanan. Hanya dua aktor yang sedang istirahat.

...***...

Apartemen siang itu sunyi. Hanya suara keyboard laptop dan notifikasi E-mail pelan yang memecah keheningan.

Alaric duduk di meja bar dapur, mengenakan kaos putih tipis dan celana training hitam. Rambutnya sedikit acak, dan kacamata bening bertengger di batang hidung. Smartphone, laptop, dan secangkir kopi hitam menemaninya.

Notifikasi dari sekretaris masuk.

VIRGO—Sekretaris: Perubahan rapat board Kamis dipindah Jumat. Juga reminder press conference minggu depan. Mau diringkas jadwal harian?

Alaric membalas cepat, ringkas, tanpa banyak berpikir. Semua pekerjaan besar sudah ia kebut dua hari terakhir. Hari ini ia sengaja tetap di apartemen—kerja dari rumah, remote.

Layar smartphone menyala. Renzo.

“Bang!” Suara ceria di ujung sana. “Udah kelar kerjaan gue hari ini. Mau mampir ke kantor Abang, boleh?”

Alaric menyender ke sandaran kursi, satu tangan mengusap tengkuk. “Gue di apartemen. Kerja remote aja hari ini. Datang ke sini aja kalo mau.”

“Oke. Tungguin, gue bawa logistik sekalian,” sahut Renzo dengan tawa.

Setengah jam kemudian…

Bel berbunyi.

Alaric membuka pintu dan Renzo masuk dengan dua kantong kertas besar. Aroma kentang goreng dan daging langsung menyeruak.

“Lo bawa burger?” Alaric mengangkat alis sambil membantu menutup pintu.

“Yoi. Burger, french fries, soda. Pantas dong, gue dapet label adek terbaik,” ujar Renzo, meletakkan semuanya di meja makan.

Keduanya duduk, membuka bungkus dengan santai.

Renzo mengenakan kaos putih polos, jas dark grey sebagai outer dan celana jeans hitam. Matanya berbinar seperti biasa, tapi ada sedikit lelah di sudutnya. Mungkin karena kerja, atau mungkin karena alasan yang lain.

Alaric menyodorkan tisu, lalu meneguk soda.

“Gimana rasanya kerja di divisi pemasaran sekarang? Masih betah?”

Renzo menggigit burger-nya, lalu mengangguk dengan mulut penuh. “Seru. Banyak tantangan. Dan…” Ia mengangkat bahu. “Bisa dekat Abang, itu bonus.”

Alaric mendengus, tapi sudut bibirnya naik sedikit. Mungkin hari ini tak sepadat biasanya, tapi kehadiran Renzo membuatnya tetap terasa penuh.

Setelah makan dan beberes seadanya, Alaric dan Renzo kini duduk di sofa, menonton televisi tanpa benar-benar memperhatikan acaranya. 

Hanya suara latar dari talk show yang mengisi ruangan. Tirai tak ditutup penuh, membiarkan cahaya jingga menyusup dari jendela apartemen yang tinggi.

Renzo menyender santai dengan satu kaki naik ke sofa, french fries setengah dimakan masih di meja. Alaric duduk lebih tegak di ujung lain, satu tangan di sandaran sofa, tangan lain memegang remote.

Beberapa menit terlewat dalam diam. Hanya suara iklan.

“Nadhifa…” Renzo tiba-tiba membuka suara. “Dia belum pernah pacaran, Bang.”

Alaric menggerakkan kepalanya perlahan, menoleh sambil menyipitkan mata. “Lo ngulik sedalam itu?”

Renzo nyengir, lalu memutar tubuh sedikit menghadap Alaric. “Dia juga nggak pernah disentuh cowok. Rajin sholat, ikut kegiatan masjid. Sopan. Kalo jalan aja selalu jaga jarak.”

Alaric menghela napas pelan, meneguk soda sisa dari gelas di meja. “Tipe alim banget, ya.”

“Banget.” Renzo tertawa kecil, matanya mengarah ke televisi tapi kosong. “Kadang... malah bikin penasaran.”

Alaric langsung menoleh penuh kali ini. Sorot matanya tajam namun malas.

“Ren,” suaranya berat. “Itu anak dari simpanan Grandpa kita.”

“Iya, gue tahu.” Renzo masih santai, bahunya sedikit terangkat. “Tapi salahnya di mana kalau gue cuma… mikirin?”

Alaric bergeser sedikit, sandarannya kini hampir menempel ke Renzo. Kepalanya miring, suara lebih pelan, nyaris seperti bisikan.

“Dia itu... secara status, seperti bibi kita. Lo ngerti, ‘kan?”

Renzo menoleh perlahan. Pandangan mereka bertabrakan. Sunyi.

Televisi tetap menyala tapi tidak ada yang peduli.

Napas Renzo terdengar lebih berat. “Dan lo sendiri, Bang… tahu rasanya tergoda sesuatu yang dilarang, ‘kan?”

Alaric terdiam. Hanya mata mereka yang bicara—dan di antara keheningan, batas-batas normal mulai kabur.

Lalu Alaric tertawa pendek. Pahit. Ia berdiri, meraih botol minum lalu menuju dapur tanpa berkata apa-apa lagi.

Renzo menyandarkan punggung, lalu menutup matanya. Senyumnya masih tertinggal samar. Seolah sengaja menyulut sesuatu yang belum padam.

Langkah Alaric belum jauh dari sofa. Baru saja sampai dekat meja makan, tiba-tiba tangan Renzo meraih ujung kaos santai Alaric—dan menariknya kembali.

Tubuh Alaric terhentak mundur sedikit. Ia menoleh cepat, mata tajamnya menatap Renzo yang berdiri santai seolah tak terjadi apa-apa.

“Mau ke mana?” Suara Renzo datar, namun dalam.

Alaric mengangkat alis. “Mau minum. Kenapa?”

“Lo pernah mikir…” Suara Renzo rendah, nyaris seperti gumaman,“…kalau gue bukan sepupu lo?”

Alaric tertawa miring. Sinis. “Itu pertanyaan paling bahaya hari ini."

Renzo menyenderkan tubuhnya ke belakang, satu tangan kini terulur, menyentuh ringan bahu Alaric.

“Tapi lo nggak jawab.”

Alaric menegang sebentar. Lalu memutar kepalanya, menatap tangan Renzo di bahunya. “Kalau gue jawab ‘pernah’, apa yang mau lo lakuin?”

Renzo tersenyum samar. Tangannya turun perlahan dari bahu ke lengan Alaric. “Mungkin gue bakal bilang... Lo terlalu jauh untuk jadi sepupu. Tapi terlalu dekat untuk jadi orang lain.”

Mata mereka terkunci. Napas Alaric terdengar lebih berat.

Salah satu tangan Renzo kini menyentuh jari Alaric. Tidak menggenggam, hanya menyentuh. Tapi cukup untuk menyulut semuanya.

“Kita ini…” Suara Alaric serak, “…nggak seharusnya begini, Ren.”

Renzo mencondongkan tubuh. Jarak mereka makin tipis. “Tapi lo nggak pernah benar-benar nolak, Bang.”

Detik itu, dunia terasa sunyi.

Hanya suara detik jam di dinding dan napas mereka yang memenuhi udara.

Tangan Alaric terangkat, nyaris menyentuh wajah Renzo—namun terhenti. Ia memejamkan mata sejenak lalu menjauh cepat tanpa berkata apa-apa.

Renzo tidak mencegah. Ia hanya menatap punggung Alaric. “Lain kali, jangan dekat-dekat kalau nggak mau terbakar,” ucap Renzo pelan, cukup untuk membuat langkah Alaric sedikit melambat.

Alaric berdiri mematung di depan meja dapur. Kedua tangannya mencengkeram tepi marmer putih itu, napasnya belum stabil meski sudah minum segelas air. Pikiran berkecamuk. Suara Renzo tadi terngiang keras—membakar.

Langkah pelan menyusul dari belakang. Renzo.

Tanpa suara, Renzo berdiri tepat di belakang Alaric. Hawa tubuhnya terasa di tengkuk. Tak ada sentuhan—belum. Tapi tubuh Alaric merespons. Tegang. Panas.

“Lo bisa pergi,” bisik Renzo, pelan, “tapi lo tetap di sini.”

Alaric menutup matanya. Rahangnya mengeras. Tapi ia tidak bergerak.

Dan saat Renzo menyentuhkan tangan ke punggung Alaric, tepat di bawah kerah kaos santainya—segalanya pecah.

Tubuh Alaric berbalik cepat. Ia menatap Renzo dalam-dalam. Napas keduanya sudah berat. Mata bertemu mata. Tidak ada kata.

Alaric mencengkeram kerah baju Renzo dan menariknya. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang kasar, penuh penahanan yang pecah.

Renzo membalas seolah menunggu seumur hidup untuk ini. Tangan mereka mencari arah, menjelajah rambut, rahang, pinggang—tanpa jeda. Tubuh saling menekan ke tepi meja.

“Kenapa sekarang?” gumam Renzo, napasnya menempel di kulit Alaric.

“Karena gue capek menyangkal,” jawab Alaric, rendah.

Mereka berpindah, langkah terburu ke sofa. Tangan Alaric menarik baju Renzo hingga terbuka setengah. Ciuman itu kembali liar. Dada bertemu dada. Jari-jari Renzo menekan ke punggung Alaric.

Sofa jadi saksi batas yang mereka lewati. Tak ada lagi logika. Hanya desir kulit bertemu kulit. Suara tertahan. Napas tercekat. Tubuh mereka saling menyeret hingga lenyap di tengah sorotan lampu malam yang masuk dari jendela apartemen.

Dan ketika semuanya reda, hanya suara napas lelah yang tersisa. Tubuh Renzo bersandar di dada Alaric. Mereka tidak bicara—karena apa pun yang diucap bisa membuat mereka sadar… mereka baru saja benar-benar melewati batas.

1
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!