Jaka, adalah seorang yang biasa saja, tapi menjalani hidup yang tak biasa.
Banyak hal yang harus dia lalui.
Masalah yang datang silih berganti, terkadang membuatnya putus asa.
Apalagi ketika Jaka memergoki istrinya selingkuh, pertengkaran tak terelakkan, dan semua itu mengantarnya pada sebuah kecelakaan yang semakin mengacaukan hidupnya,
mampukah Jaka bertahan?
mampukah Jaka menjemput " bahagia " dan memilikinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sicuit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hal tersembunyi
Jaka dan Ibu sudah sampai di rumah sakit, mereka diminta menunggu, karena Dokter Leo masih visitasi.
Tak berapa lama, Dokter Leo kembali, dan dia terkejut karena ada Jaka dan Ibu sudah menunggu di ruangannya.
"Hallo ... Jaka, Ibu, ... bagaimana kabarnya, saya tunggu - tunggu kok ndak ada kemari, melewatkan jadwal periksa?"
sapa Dokter Leo dengan ramah.
Dia menjabat tangan Ibu dan Jaka.
"Iya Dok, mungkin Yunis lupa tidak menyampaikan pada kami," jawab Ibu salah tingkah.
"Mari Mas, coba kita periksa sekarang," ajak Dokter Leo sambil tersenyum.
Jaka mengangguk dan berjalan ke tempat periksa. Dokter memeriksa dengan teliti.
"Well ... semuanya baik, hanya perlu latihan untuk pemulihan," kata Dokter dengan tersenyum.
Ibu lega mendengar keterangan dari dokter, berarti beberapa waktu lagi anaknya akan sembuh.
"Ini saya beri resep lagi ya, Bu ... nanti ambil di ruang obat, sedang untuk latihan, Mas Jaka datang lagi hari Senin ya," kata Dokter Leo .
"Baik, Dok. Terima kasih," jawab Ibu dan Jaka bersamaan.
Mereka pun keluar dari ruangan Dokter Leo dan mengambil obat di ruang yang sudah disebutkan tadi.
##########
Yunis di rumah, segera mencari jawaban dari segala pertanyaan yang ada di hatinya.
Di masuk ke kamar Ibu, diperhatikannya dari sudut satu ke sudut yang lain. Mencari kemungkinan tempat yang paling pas untuk menyembunyikan sesuatu.
"Kira - kira dimana ya?" tanyanya dalam hati.
Dia mulai memeriksa meja kecil yang ada dekat tempat tidur Ibu. Meja yang tertata rapi, hanya ada sisir dan gelas untuk minum.
Laci - laci dibuka, tak ada sesuatu yang mencurigakan
Lalu, Yunis mulai memeriksa tempat tidur reot, dengan kasur kapuk, yang sudah tak bisa disebut kasur lagi.
Dirabanya bawah bantal yang sudah kurang kapuk itu, di bawah kasur juga, tapi ternyata, tak ada satu apa pun di sana.
Yunis duduk di tepi ranjang. Matanya langsung terpusat pada lemari pakaian.
Lemari dengan kayu yang sudah lapuk itu dibukanya pelan - pelan. Bau sabun bercampur apek, dari hawa lembab yang masuk, mengganggu penciuman Yunis. Dia mengibaskan tangan di depan hidungnya.
Satu persatu baju Ibu disibaknya ke kanan dan ke kiri.
Hingga pada urutan baju paling bawah, Yunis merasa menemukan sesuatu, di tempat paling pojok.
Dengan hati - hati, diambilnya benda itu. Ternyata sebuah amplop warna coklat, dalam lipatan rapi.
Dengan penuh penasaran dibukanya amplop itu.
Dan mata Yunis langsung melebar melihatnya.
Tampak beberapa gepok uang kertas yang masih licin dan tertata dengan rapi.
"Hhhaaa ... uang sebanyak ini? Pantes belanja - belanja terus, pake nantang periksa ke dokter segala, ternyata ini jawabnya!" serunya tertahan.
"Dasaarr ndak punya otak, seharusnya dengan uang segini kan bisa kembalikan uangku yang habis dipakai kemaren! Dasar tua tak tahu diri!" Desisnya marah.
Dengan segera diambilnya gepokan uang itu, dan disisakannya beberapa lembar saja yang sudah terlepas dari gepokannya.
Tiba - tiba mulutnya tersenyum. Dia membayangkan sesuatu yang akan segera dilakukannya.
##########
Hari telah siang ketika mereka pulang.
Tapi sampai di rumah, Ibu menjadi sangat terkejut, melihat Yunis keluar dari kamarnya.
Dan lebih terkejut lagi, ketika melihat sebuah amplop ada ditangannya.
Bukan hanya Ibu, Yunis pun terkejut, melihat mereka ternyata sudah pulang dari rumah sakit, di luar perkiraannya.
"Yunis, apa yang kau lakukan di kamarku?" tanya Ibu penuh selidik.
"Hehehehe ... untuk menemukan ini," jawab Yunis sambil tertawa, tangannya menunjukkan amplop coklat itu pada Ibu.
"Jangan diambil, itu milik Jaka, untuk biaya perawatan Jaka!" kata Ibu, dengan nada sedikit meninggi.
"Yunis, apa yang akan kau lakukan, kembalikan!" kata Jaka pula.
"Kalian ini benar - benar orang ndak punya otak ya, kemaren pakai uangku sampe abis, begitu dapat uang, bukannya dikembalikan, malah dipake untuk kepentingan sendiri!" bentak Yunis.
"Ibu tidak pakai untuk kepentingan Ibu sendiri, tapi untuk kepentingan bersama, sesuai permintaan beliau," Ibu membela diri.
"Aku ndak mau tau, pokoknya aku ambil uang ini, aku anggap kalian sudah kembalikan uang yang kalian pakai kemaren!" kata Yunis bersikukuh.
"Kembalikkan uang itu, Nis. Uang itu diberikan untuk mencukupi kebutuhan selama Jaka belum bisa kerja lagi,"
kata Ibu, sambil mendekat pada Yunis, untuk mengambil amplop itu dari tangannya.
Yunis menepis tangan Ibu.
"Oh ... gitu, terus kira - kira kapan mau kerja, sapa juga yang mau terima orang cacat kek begini?" ejek Yunis dengan sinis.
"Yunis! Kamu sudah keterlaluan sama Ibu, ayo kembalikan pada Ibu!" bentak Jaka. Dia maju beberapa langkah mendekati Yunis.
"Ciiss ... sapa sudi kembalikan sama Ibu, sudah aku ambil, iya sudah jadi hakku,! Ini juga ndak aku ambil semua, coba tengok di lemari, sudah aku sisakan untuk kalian!" katanya tak mau kalah, sambil menatap tajam pada Ibu dan Jaka.
Tanpa bicara, Jaka berusaha merebut amplop itu dari tangan Yunis. Yang langsung ditepis, dan mendorong Jaka hingga terjatuh.
"Dasar orang tak tau malu, sudah ndak menafkahi, masih juga serakah!" teriaknya sambil menendang kaki Jaka dengan sekuat tenaga.
"Aauugh ... Aaaugghh ...." ucap Jaka kesakitan, sambil memegangi kakinya.
"Yunis, apa yang kamu lakukan!" teriak Ibu, terkejut dengan tindakan menantunya.
Ibu langsung jongkok, berusaha menolong Jaka.
"Yunis, itu uang untuk hidup kita saat ini. Bulan depan, pamanmu juga pasti akan datang untuk ambil uang kontrak, enam bulan ke depan. Kalau kamu ambil, apa yang mau dipake untuk bayar?" tanya Ibu, berusaha untuk menyadarkan Yunis tentang arti uang itu bagi mereka.
" Terserah ... yang penting uang ini sudah aku ambil, mau aku pake untuk apa, itu terserah aku," katanya sambil berjalan keluar rumah.
BRAAAK!!
Pintu dibanting dari luar.
Ibu berdiri, berlari mengejar Yunis.
"Yunis, tolonglah untuk mengerti, uang itu sangat penting bagi hidup kita saat ini," kata Ibu memohon pengertian menantunya.
"Hidup kita? Hidup kalian pastinya! Kalau hidup kita, ndak mungkin Ibu sembunyikan dan tak memberitahu aku dong!" katanya sinis.
"Sudah Ibu masuk saja, urus anakmu yang ndak berguna itu, aku mau keluar dulu!"
Yunis masuk dalam angkot yang sudah dipanggilnya tadi dan pergi entah kemana.
Perselisihan di depan rumah mengundang beberapa orang untuk melihat, dan mereka spontan geleng - geleng, hampir bersamaan melihat kelakuan Yunis.
Mengetahui bahwa dirinya jadi pusat perhatian, akhirnya Ibu masuk dengan perasaan malu.
Jaka sudah duduk di kursi panjang, menatap Ibunya dengan perasaan kecewa, kecewa dengan sikap istrinya, kecewa pada dirinya sendiri yang tak bisa berbuat banyak.
Ibu menghampiri Jaka,
"Bagaimana kakimu, Nak?"
"Sudah lebih baik, Bu."
Tanpa bertanya lagi, Ibu meneruskan langkahnya, masuk ke kamar. Membuat Jaka merasa sangat bersalah.
Jaka menghela napas panjang.
Dalam heningnya, Jaka mengingat kembali, bahwa sejak dulu pun, sebenarnya Ibu kurang cocok, kalau Jaka memilih Yunis.
Menurut pandangan Ibu, Yunis adalah seorang yang keras hati, dan glamour.
Tapi demi cinta Jaka pada Yunis, dan cinta Ibu pada Jaka, akhirnya Ibu merestui.
Ketika semua menjadi seperti ini, Jaka merasa dalam pusaran putus asa yang dia sendiri tak tahu harus berbuat apa.
Sebagai laki - laki dia menganggap dirinya tak tegas dalam mengambil keputusan.
Yang satu, Ibu, yang satu istri, keduanya adalah orang yang sangat dia cintai.