Lahir dari pasangan milyuner Amerika-Perancis, Jeane Isabelle Richmond memiliki semua yang didambakan wanita di seluruh dunia. Dikaruniai wajah cantik, tubuh yang sempurna serta kekayaan orang tuanya membuat Jeane selalu memperoleh apa yang diinginkannya dalam hidup. Tapi dia justru mendambakan cinta seorang pria yang diluar jangkauannya. Dan diluar nalarnya.
Nun jauh di sana adalah Baltasar, seorang lelaki yang kenyang dengan pergulatan hidup, pelanggar hukum, pemimpin para gangster dan penuh kekerasan namun penuh karisma. Lelaki yang bagaikan seekor singa muda yang perkasa dan menguasai belantara, telah menyandera Jeane demi memperoleh uang tebusan. Lelaki yang mau menukarkan Jeane untuk memperoleh harta.
Catatan. Cerita ini berlatar belakang tahun 1900-an dan hanya fiktif belaka. Kesamaan nama dan tempat hanya merupakan sebuah kebetulan. Demikian juga mohon dimaklumi bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian tempat dengan keadaan yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 12
Kota Pamplona dengan rumah rumah kecil di atas bukit bukit itu sebentar saja sudah berada di belakang mereka. Pekerja jalanan yang sedang memperbaiki jalan lintas cepat itu memaksa Edgar memperlambat kecepatan mobilnya. Setelah melewati mereka, mobil itu meluncur dengan kecepatan tinggi.
Dengan tiap putaran roda Bugatti itu, kepastian semakin tertanam kuat pada Jeane, bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan besar. Ia bertekad untuk mengatur suatu rencana yang dapat membatalkan pernikahan itu, mungkin suatu perceraian, atau apa saja yang dapat mengakhiri pernikahan palsu itu.
Dengan keputusan tersebut, rasa lelah pada mental dan fisiknya mulai menyerang diri Jeane. Sesaat kemudian ia tertidur.
Jam demi jam dan kilometer demi kilometer berlalu, sebelum tempat duduk Bugatti yang tidak nyaman itu membangunkan Jeane. Lehernya terasa kaku dan kepalanya terbanting banting pada sandaran tempat duduk.
Sambil menggosok gosok lehernya, Jeane perlahan lahan membuka matanya. Dengan susah payah diarahkannya matanya pada pemandangan di depannya. Jajaran pegunungan Pyrenees di depan mereka memastikan bahwa mereka berada di Spanyol.
Mereka tidak lagi meluncur di jalanan mulus lintas cepat yang modern. Jalanan yang mereka tempuh itu melalui semak semak dan terbuat dari tanah yang diperkeras tidak rata. Dengan bingung Jeane berpaling kepada suaminya.
"Sampai di mana kita sekarang?" Jeane merasakan tenggorokannya kering, membuat suaranya serak.
Garis rahang pria itu menunjukkan rasa marah dan geram, tapi Edgar tidak sempat melepaskan pandangan matanya dari jalan tidak rata yang mereka lalui untuk berpaling kepada isterinya. "Mestinya kita berada di jalan potong kompas yang menuju Cartagena, tetapi aku rasa orang Spanyol goblok yang menunjukkan jalan ini, sebenarnya tidak mengetahui benar tentang jalan ini."
"Mungkin pula kau mengambil belokan yang salah," kata Jeane.
Pandangan sekilas yang dilemparkan Edgar pada Jeane membuat mobil melenceng jalannya.
"Barangkali jalan ini sudah dianggapnya baik, padahal kalau begini terus, yang rusak adalah mobil ini," Edgar menggerutu.
Ah, syukurlah Edgar masih memikirkan keselamatan mobil ini, Jeane berpikir dengan penuh sinisme. Tetapi ia diam saja. Udara terasa dingin. Jeane memandang ke arah pegunungan Pyrenees dan memperhitungkan bahwa mungkin ketinggian posisi mereka yang menyebabkan suhu turun setajam itu. Dengan menahan badannya yang menggigil, Jeane berkata, " Udara sudah terasa dingin. Tidak dapatkah kau hidupkan alat pemanas?"
"Alat pemanasnya tidak bekerja," Edgar menjawab singkat.
"Tetapi lampu indikator di dashboard itu menyala," Jeane berkata tenang. "Kau juga bisa lihat ada uap keluar dari tutup mesin di depan?"
Edgar melontarkan sederetan caci maki. Ia menghentikan mobil tanpa mematikan mesin, lalu keluar sambil membanting pintu. Uap segera naik ke atas saat tutup mesin dibuka.
Dengan ketidaksabaran yang sama seperti saat keluar dari mobil, Edgar kembali ke belakang kemudi dan mematikan mesin. Sejenak ia duduk dengan tangannya mencengkeram kemudi.
"Sialan!" umpatnya sambil memukul roda kemudi.
"Ada apa?" Jeane merasa dirinya mendapat semacam kepuasan menyaksikan kemarahan suaminya yang frustrasi itu.
"Selang airnya putus," kata Edgar dengan geram.
"Apakah kau dapat memperbaikinya?" mata Jeane yang lebar mengerjap polos. Ia tahu bahwa Edgar membenci pekerjaan tangan.
Muka pria itu menjadi merah saking marahnya. "Tentu saja. Aku selalu membawa suku cadang."
"Aku tidak menyangka begitu," Jeane berkata sambil mengangkat bahu. "Kukira kau sudah melihat kemungkinan akan terjadinya kerusakan dan sudah berjaga jaga untuk menanggulanginya."
"Tutup mulutmu, Jeane," bentak pria itu.
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang? Duduk di sini dan menunggu sampai ada orang lewat? Ini merupakan jalan yang padat lalu lintasnya......................"
Dengan kecepatan seekor kobra yang sedang mematuk, tangan pria itu memegang leher Jeane, mencekik kata kata lanjutan yang mau diucapkan Jeane. Wajahnya yang tampan menyeringai marah.
"Jangan membuka mulut lagi sebelum aku menyuruhmu," bentak pria itu sekali lagi. Jari jari tangannya kemudian melonggarkan cengkeraman. Dengan terengah engah Jeane menarik napas. Ia mengangguk kalah. Jeane memalingkan wajahnya ke jendela di sampingnya, sambil mengusap air mata dengan ujung ujung jari tangannya.
"Kau tidak bisa bergurau ya?" katanya kemudian, tetapi Edgar tidak menjawab.
Hembusan angin mengangkat debu debu yang berpusaran naik ke udara. Betapa kosong dan gersang tanah di situ!
Pandangan mata Jeane tiba tiba menajam. Ia melihat sesuatu yang bergerak di kejauhan sana. Dan ketika awan debu telah turun kembali dan udara menjadi bersih, tampaklah sejumlah kuda dengan penunggangnya di kejauhan. Karena banyaknya semak semak yang kadang kadang menutupi pemandangan, sulit dikatakan berapa banyak penunggang kuda itu. Barangkali setengah lusin, mungkin juga lebih.
Jeane tidak memberitahukan kepada Edgar tentang kehadiran para penunggang kuda itu, sampai rombongan itu yang melihat mobil terdampar. Mereka segera mendekat. Sebuah Bugatti di tengah antah berantah bukanlah pemandangan yang sering terjadi.
"Ed, ada sekelompok orang di sana," kata Jeane akhirnya.
"Apa?" pria itu mencondongkan dirinya ke arah Jeane. "Dimana?"
"Di sana itu," Jeane menuding, digetarkan oleh suatu rasa takut yang entah dari mana datangnya. "Mereka menunggang kuda. Kau tidak melihat mereka?"
"Ya, aku juga melihatnya," Edgar menjawab.
"Menurutmu, siapakah mereka?" Jeane tidak melepaskan rombongan itu dari pandangannya. Herannya, rombongan itu justru tidak maju mendekat lagi.
"Para koboi, kalau melihat penampilan mereka," Edgar menyimpulkan. "Aku dengar ada sejumlah ranch di daerah ini. Katanya daerah ini adalah daerah peternakan."
Jeane mengerutkan dahi. Ragu dan sangsi. "Ya, mungkin saja."
"Jangan kuatir. Aku tidak akan mengambil risiko menghadapi mereka/"
Edgar menoleh dan memutar badannya ke tempat duduk belakang, tangannya menjangkau dan membuka tas nya yang di taruh di atas tempat duduk belakang itu. Jeane juga menoleh, ingin mengetahui apa yang akan dilakukan Edgar. Mata Jeane membelalak lebar ketika melihat revolver laras pendek yang dikeluarkan Edgar dari tas nya.
"Mau apa kau dengan benda itu?"
Edgar tidak menghiraukan pertanyaan isterinya. Diperiksanya revolver tersebut sebelum menyelipkan pada pinggangnya dan kemudian menutupinya dengan jas nya.
Sambil membuka pintu mobil, Edgar memerintahkan, "Kau tetap di dalam mobil. Jangan keluar kalau tidak kuperintahkan."
Pandangan mata Jeane kembali tertuju kepada rombongan penunggang kuda itu, yang kini mulai mendekati kendaraan mereka. Ketika Edgar turun dari mobil, salah seorang dari rombongan penunggang kuda itu memisahkan diri dari teman temannya dan mendahului ke depan.