NovelToon NovelToon
Istri Kedua Suamiku

Istri Kedua Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Spiritual / Kehidupan di Kantor / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Suami ideal
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: ARSLAMET

Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.

Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.

“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”

Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.

Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?

Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.

Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

langkah Pertama di Hari terakhir.

Pagi merekah dengan langit Bandung yang bersih, seolah ikut menyambut hari penting yang telah lama dipersiapkan. Udara masih sejuk ketika Rendi turun dari hotel mengenakan hoodie tipis dan celana kerja kemarin. Matanya sedikit sembab karena kurang tidur, tapi langkahnya tetap tegas.

Di lobi hotel, Bunga sudah menunggunya, mengenakan blus putih sederhana dan celana bahan warna khaki. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya segar meski malam tadi nyaris tanpa tidur.

“Pagi, Pak,” sapanya ringan.

“Pagi. Langsung ke mall aja, ya. Sebelum ramai,” ujar Rendi sambil memasukkan ponsel ke saku.

Mereka menuju sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Riau, yang baru saja buka. Suasana masih lengang. Rendi memilih toko pria pertama yang mereka lewati. Tak butuh waktu lama, ia sudah menggantungkan dua pilihan kemeja di tangan—biru muda polos dan putih bergaris halus.

“Menurut kamu yang mana?” tanyanya sambil menoleh pada Bunga.

Bunga mengamati keduanya sejenak. “Yang putih bergaris. Lebih cocok sama karakter Bapak. Rapi tapi tetap santai.”

Rendi tersenyum singkat. “Oke. Saya coba dulu.”

Beberapa menit kemudian ia keluar dari ruang ganti, mengenakan kemeja itu. Kancing atas dibiarkan terbuka, membuatnya terlihat lebih kasual.

“Gimana?” tanyanya.

Bunga tersenyum. “Sudah siap foto bareng media, Pak.”

Rendi mengangguk puas, lalu segera menuju kasir. Setelah belanja selesai, mereka kembali ke mobil. Di tengah perjalanan menuju venue, obrolan mulai melunak.

“Masih kerasa deg-degan, nggak?” tanya Bunga sambil melirik ke arah Rendi.

“Sedikit,” jawab Rendi jujur. “Bukan karena media atau investor. Tapi karena ini salah satu proyek yang paling personal buat saya.”

“Personal?”

“Ya. Karena restoran ini bukan cuma tempat makan. Ini ruang yang kita bangun dari nol, dari kekacauan vendor sampai akhirnya bisa berdiri seperti sekarang.”

Bunga mengangguk pelan. “Saya senang bisa jadi bagian dari itu, Pak.”

Rendi tersenyum tanpa menoleh. “Kamu bukan cuma bagian, kamu krusial.”

Mereka tiba di venue tepat pukul sembilan pagi. Kru sudah bersiap, meja disusun rapi, bunga segar di setiap sudut. Suasana masih tenang, tapi denyut kesibukan mulai terasa.

Di tengah aula utama, seorang pria bertubuh tinggi dengan jas abu-abu berdiri sambil mengatur file di tangannya. Begitu melihat Rendi, ia mendekat dengan senyum lebar.

“Gila… Rendi . Kita ketemu lagi,” ucapnya sambil menjabat tangan Rendi erat.

“Andriansyah?” Rendi mengerutkan kening sejenak, lalu tertawa kecil. “Gue gak nyangka ini proyek lu!”

Andriansyah tertawa. “Iya. Gue yang handle ekspansi cabang Bandung. Dan ternyata yang ngerjain lo.”

“Ada takdir kecil di balik segala kekacauan, ya,” sahut Rendi, menepuk bahu sahabat lamanya itu.

“Lo masih kayak dulu. Perfeksionis tapi santai,” kata Andriansyah, lalu menerima map dan kunci yang disodorkan Rendi.

“Semua sudah lengkap. Dapur berfungsi, area siap pakai. Ini kuncinya. Restoran resmi jadi milik kalian,” ucap Rendi, formal tapi hangat.

Andriansyah menerima dengan khidmat. “Gue dan tim berterima kasih. Tanpa lo, gue gak yakin kita bisa buka hari ini.”

Mereka berpelukan singkat, lalu berfoto bersama di depan papan nama restoran. Sinar matahari menembus kisi-kisi atap, membuat cahaya pagi jatuh lembut di lantai marmer yang mengilap.

Dari kejauhan, Bunga memperhatikan momen itu sambil tersenyum kecil. Rendi sempat melirik ke arahnya dan mengangguk pelan—sebuah isyarat terima kasih yang tak butuh kata.

Dan di tengah segala hiruk pikuk yang akan segera datang, ada jeda kecil—hangat, tenang, dan layak dikenang—ketika kerja keras akhirnya menemukan ujungnya.

...****************...

Acara pembukaan restoran berjalan lancar. Suasana ramai tapi tertib, media bergantian memotret dan mewawancarai, sementara pengunjung undangan mulai mencicipi makanan di area luar yang dipenuhi meja-meja kecil berhias bunga putih.

Rendi berdiri di sisi taman, menyapa beberapa rekan bisnis. Di sampingnya, Andriansyah berdiri sambil menyilangkan tangan, matanya menyapu sekeliling.

“Gue salut, Ri. Tempat ini lebih hidup dari yang gue bayangkan,” katanya pelan.

Rendi tersenyum tipis. “Capeknya lunas hari ini.”

Mereka berdua sama-sama menoleh ke arah seorang perempuan yang sedang berbicara dengan vendor dekorasi. Bunga. Rambut panjangnya terurai, dan blazer hitam yang ia pakai membuatnya tampak formal tapi tetap lembut. Cara ia memberi instruksi—penuh ketenangan, tanpa membentak—menarik perhatian siapa pun yang memperhatikan.

“Dia siapa?” tanya Andriansyah, alisnya sedikit terangkat.

“Sekretaris pribadi gue,” jawab Rendi singkat.

Andriansyah menoleh dengan tatapan heran. “Baru ya?”

“Baru banget. Belum seminggu. Tapi dari semua orang yang kerja bareng gue minggu ini... dia yang paling bikin gue gak pusing,” sahut Rendi.

“Gue bisa lihat kenapa,” gumam Andriansyah sambil masih memandangi Bunga.

Rendi melirik sahabatnya itu. “Jangan bilang lo mau minta gue kenalin.”

Andriansyah menoleh sambil terkekeh. “Gue cuma nanya siapa. Tapi kalau lo nawarin kenalan, gue gak nolak.”

Rendi tertawa pendek. “Dasar. Oke, tapi janji jangan bikin dia gak nyaman. Dia profesional. Dan baru. Gue gak mau dia kabur karena drama kantor.”

Andriansyah mengangkat dua tangan. “Gue gentleman, Ri. Serius. Kalau dia gak tertarik, gue gak maksa.”

---

Acara mulai mereda menjelang siang. Para tamu pulang satu per satu, dan kru membereskan dekorasi. Rendi menghampiri Bunga yang sedang mencatat hal-hal teknis dari vendor logistik.

“Bunga,” sapa Rendi.

“Ya, Pak?” Ia menoleh dengan senyum sopan.

“Aku kenalin, ini Andriansyah. Owner restoran ini... juga teman SMA lama aku.”

Andriansyah langsung menjabat tangan Bunga. “Senang ketemu kamu. Saya denger dari Rendi, kamu baru kerja di timnya?”

“Iya, Pak. Baru masuk Senin kemarin,” jawab Bunga, agak malu-malu tapi tetap tenang.

“Baru seminggu, tapi kerja kamu udah kayak orang yang tahu alurnya sejak bulan lalu,” puji Andriansyah tulus.

Bunga tertawa kecil. “Terima kasih, Pak. Saya cuma bantu sebisanya.”

Rendi menyela santai. “Dan bantu banget, kebetulan.”

Andriansyah tersenyum, nada suaranya sedikit lebih ringan. “Kalau kamu gak keberatan, mungkin nanti saya mau ngobrol lebih banyak. Sekadar tahu cerita kamu di proyek ini, dan mungkin... tentang hal lain juga.”

Bunga tersenyum, menunduk sopan. “Boleh, Pak. Tapi jangan terlalu lama ya, saya masih harus rekap laporan sore nanti.”

Rendi tertawa. “Udah, ngobrol aja sebentar. Kamu pantas dapet break juga.”

Andriansyah menoleh ke Rendi dengan senyum penuh arti. “Gue mulai ngerti kenapa lo gak stres minggu ini.”

Rendi hanya mengangguk pelan. “Cuma orang beruntung yang punya tim kayak dia.”

Dan siang itu, di antara sisa-sisa kemeriahan, ada percakapan baru yang mulai tumbuh—bukan dalam ruang rapat, bukan lewat formalitas—tapi dari rasa hormat dan kekaguman yang sederhana. Sebuah awal yang mungkin, tanpa diduga, mengubah arah langkah seseorang.

1
Iis Dawina
mendingan mundur alisya...ga blk bner klo ortu dah ikut campur mah
Yati Syahira
sdh panjang bab tdk terungkap perselingkuhan suaminya aneeh bikin males baca
ARSLAMET: biar makin penasaran kak , hehehe staytune trus ya
total 1 replies
D͜͡ ๓KURNI CACAH
wanita sebaik dan secantik sabar alisha kok bisa si di sakiti Sama laku laku kampret Kya si Rendi
D͜͡ ๓KURNI CACAH
ngk rela bgt alisha di Madu
D͜͡ ๓KURNI CACAH
kampret Rendi sama bunga kok bisa nikah ...dasar laki laki apa pun ala San nya tetap tak di benarkan
Rubyna
kok gak ada kejelasan tiba tiba menikah karna apa, dan bunga seharus nya menolak tau kan kalau Rendi susah beristri
ARSLAMET: dukungan nya kaka , selalu berharap yang terbaik untuk tulisan ku dan semua hal hehe
Rubyna: semangat ya, noveltoon gak kayak dulu, asal kontrak sudah dapat cuan sekarang susah
total 4 replies
❤ Nadia Sari ❤
ketikannya kok center semua?
ARSLAMET: @ terimakasih sebelumnya atas sarannya ..
❤ Nadia Sari ❤: bagus yg awal aku tadi bacanya kayak lagu
total 3 replies
pembaca
lanjut kan tuk menuju sukses
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!