Milea, Gadis yang tak tahu apa-apa menjadi sasaran empuk gio untuk membalas dendam pada Alessandro , kakak kandung Milea.
Alessandro dianggap menjadi penyebab kecacatan otak pada adik Gio. Maka dari itu, Gio akan melakukan hal yang sama pada Milea agar Alessandro merasakan apa yang di rasakan nya selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SelsaAulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Suasana hangat mentari pagi menyelimuti Mansion megah itu, Di dalam ruang makan yang diterangi lilin-lilin antik, suasana tegang terpancar dari setiap sudut. "Malam nanti, kau harus menepati janji mu Milea! Kau harus suka rela menjadi Budakku! " desis Gio, suaranya berat, bergema di ruangan sunyi itu.
Mata gelapnya, tajam dan penuh arti, menatap Milea yang duduk di hadapannya.
Wajah Milea pucat, bibirnya terkatup rapat, matanya berkaca-kaca. Ucapan Gio tadi menusuk hatinya seperti sebilah pisau.
Permainan "pertaruhan" yang mereka lakukan semalam, kini terasa begitu pahit. Milea menyadari, Gio telah memanfaatkan kelemahannya.
Dia tahu betul bahwa Mansion ini bagaikan penjara emas bagi Milea. Terpencil dan terisolasi, jauh dari hiruk pikuk kota, jauh dari dunia luar yang Milea kenal.
"Dia hanya ingin melakukan 'itu' tanpa perlawanan dengan dalih Taruhan, Dia pasti sudah tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa keluar dari mansion ini, Permainan mu sangat licik tuan Gio" Batin Milea.
Bayangan-bayangan masa lalu berkelebat di benaknya. Kenangan akan kebebasan, akan tawa lepas bersama teman-temannya di pusat kota, kini terasa begitu jauh, seperti mimpi yang tak mungkin tergapai.
Dia terjebak dalam jebakan Gio, dalam permainan yang telah dirancang dengan cermat. Perasaan marah, kecewa, dan takut bercampur aduk dalam dadanya.
Aroma bunga melati yang biasanya menenangkan, kini terasa mencekik. Lilin-lilin yang berderak pelan, seolah mengiringi detak jantungnya yang berdebar kencang.
Milea menggigit bibirnya, menahan air mata yang mengancam jatuh. Dia harus berpikir cepat. Dia harus menemukan jalan keluar dari jebakan ini, sebelum semuanya terlambat.
Sebelum dia benar-benar menjadi milik Gio, bukan karena cinta, melainkan karena sebuah dendam Gio yang membara.
Pintu ruang makan terbanting keras, suara dentumannya menggema di kesunyian mansion. Gio pergi, meninggalkan Milea terpaku di tempatnya, kata-kata kasarnya—ancaman yang terselubung sebagai kenyataan— masih berdengung di telinganya. "Budakku," bisikan itu berulang dalam pikirannya, menciptakan rasa mual yang menggelitik tenggorokannya.
Langkah kaki Milea terasa berat, setiap langkah bagai beban yang menindih jiwanya. Ia berjalan menuju kamarnya, ruangan yang seharusnya menjadi tempat peristirahatan, kini terasa seperti peti mati.
Harapan yang masih tersisa sedikit demi sedikit memudar, digantikan oleh keputusasaan yang dalam. Ia tahu, sekuat tenaga pun, ia takkan pernah bisa melarikan diri dari jeruji tak terlihat yang mengelilingi mansion terpencil ini.
Di dalam kamar mandi, air hangat membasahi tubuhnya, namun tak mampu membasuh kecemasan yang mengakar di hatinya.
Sentuhan air terasa dingin, berbeda dengan panas yang membakar jiwanya. Bayangan wajah Gio, tajam dan penuh dominasi, terus menghantuinya. Milea memejamkan mata, mencoba menghalau bayangan itu, namun sia-sia.
Waktu berlalu begitu cepat, seperti pasir yang jatuh di antara jari-jari tangannya. Setiap detik terasa seperti tahun, menambah rasa takut dan keputusasaan yang mencengkeramnya.
Milea menatap bayangannya di cermin, wajah pucat dan mata yang berberkaca-kaca.
Ia tak ingin menantikan Malam itu, bayangan kegelapan yang mengerikan seakan mendekat, mengancam merenggut kesuciannya, mencuri masa depannya, meninggalkan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh.
Ia meringkuk di lantai kamar mandi yang dingin, menangis dalam diam, menunggu datangnya malapetaka yang tak terhindarkan.
Suara lembut, namun tegas, menembus dinding kamar mandi, menarik Milea dari jurang keputusasaan yang hampir menelannya. "Nona, apa Anda baik-baik saja?" Pertanyaan pelayan itu bagai percikan air dingin yang membasahi wajahnya, menyegarkan pikirannya yang kalut.
Milea tersentak, segera meraih kimono sutra yang tergantung di gantungan, menutupi tubuhnya yang masih bergetar.
Dengan langkah gontai, ia membuka pintu kamar mandi. Di ambang pintu, berdiri seorang pelayan perempuan dengan wajah ramah, namun sorot matanya menunjukkan kekhawatiran.
"Aku baik-baik saja," jawab Milea, suaranya sedikit gemetar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri dan pelayan itu.
"Maaf, Nona," pelayan itu membungkuk hormat, "Saya diperintahkan Tuan Gio untuk melihat keadaan Anda. Sudah dua jam Anda berada di dalam kamar mandi." Kata-kata pelayan itu bagai pukulan telak.
Milea menyadari, kecurigaannya benar. Kamar ini, sebagaimana seluruh mansion ini, dipenuhi dengan kamera pengawas. Gio, dengan segala kekuasaannya, selalu mengawasi setiap gerak-geriknya.
"Aku baik-baik saja," Milea mengulangi ucapannya, kali ini dengan nada lebih tegas, mencoba menyembunyikan ketakutan yang menggerogoti hatinya. "Kau boleh pergi sekarang."
Pelayan itu mengangguk patuh, kemudian membungkuk lagi sebelum berlalu, meninggalkan Milea sendirian dalam keheningan yang mencekam.
Di balik senyum dan sopan santun pelayan itu, Milea merasakan kehadiran mata-mata Gio yang tak terlihat, mengawasi setiap langkahnya, menunggu kesempatan untuk mencengkeramnya lebih erat. Kebebasan, terasa begitu jauh, seperti bintang yang tak mungkin diraih.
*
*
*
Giovanni Bianchi, atau Gio—nama yang terdengar begitu lembut, bertolak belakang dengan kekejaman yang dimilikinya—duduk tegak di kursi mahaganya,
sebuah singgasana dari kulit buaya yang mahal. Cahaya temaram dari lampu kristal menerangi wajahnya yang tampan namun dingin, menonjolkan garis rahang tegas dan sorot mata yang tajam bak elang.
Di depannya, tersebar berkas-berkas dokumen, peta strategi yang rumit, dan foto-foto orang-orang yang menjadi targetnya.
Udara di ruangan itu terasa berat, dipenuhi aroma mahal parfum dan ketegangan yang mencekam. Gio, bos mafia yang kejam dan berpengaruh, sedang menyusun strategi untuk menghancurkan musuh-musuhnya.
Usaha-usaha ilegalnya yang menggurita—dari jaringan narkoba yang tersebar luas, kasino mewah yang beroperasi di bawah tanah, hingga rumah-rumah bordil kelas atas—telah terusik. Ada yang berani menantang kekuasaannya, mencoba mengambil sebagian keuntungannya.
Jari-jarinya lentik, menelusuri foto-foto para pesaingnya satu per satu. Masing-masing foto menyimpan cerita, kisah-kisah perebutan kekuasaan, pengkhianatan, dan pertumpahan darah.
Gio tersenyum sinis, senyum yang tak sampai ke matanya, menunjukkan kekejaman yang tersimpan di balik fasadnya yang menawan.
Musuhnya akan membayar mahal atas keberanian mereka. Gio bukanlah orang yang mudah ditantang. Ia akan menghancurkan mereka, satu per satu, tanpa ampun.
Kekuasaannya, kerajaannya yang dibangun di atas darah dan dosa, harus tetap terjaga. Malam ini, darah akan kembali tertumpah, menambah daftar panjang korban kekejaman Giovanni Bianchi.
Giovanni Bianchi, dengan senyum tipis yang menyimpan ancaman, memberikan perintah.
Seperti semut yang mengerumuni gula, anak buahnya bergerak cepat, mencari dan menghancurkan siapapun yang berani menantang kekuasaannya. Bayangan-bayangan hitam mulai bergerak di kegelapan kota, membawa teror dan kematian.
Jas hitam Gio, yang selalu rapi dan elegan, kini menyembunyikan senjata api yang siap melontarkan peluru maut.
Setiap langkahnya, setiap gerakannya, mengeluarkan aura bahaya yang tak terbantahkan. Ia bagaikan predator puncak, mencari mangsanya dengan sabar, lalu menerkam dengan kejam.
Di sampingnya, Marco—tangan kanannya, bayangannya, anak buah yang paling setia—bergerak sigap, menangani setiap masalah kecil sebelum Gio harus turun tangan sendiri.
Marco, dengan mata tajam dan insting yang luar biasa, mempersiapkan segalanya, membersihkan setiap jejak, memastikan agar operasi berjalan mulus dan tanpa cela.
Keduanya, Gio dan Marco, adalah mesin pembunuh yang sempurna, dua sisi mata uang yang sama-sama mematikan. Mereka adalah bayangan kematian yang mendekat, mengancam siapapun yang berani melawan kekaisaran Giovanni Bianchi.
Semangat terus kak 💪
di tunggu back nya 🥰