Laluna: 'Aku mengira jika suamiku benar-benar mencintaiku, tetapi aku salah besar. Yang mengira jika aku adalah wanita satu-satunya yang bertahta di hatinya'.
Jika itu orang lain, mungkin akan memilih menyerah. Namun, berbeda dengan Luna. Dengan polosnya Dia tetap mempertahankan pernikahan palsu itu, dan hidup bertiga dengan mantan muridnya. Berharap semua baik-baik saja, tetapi hatinya tak sekuat baja.
Bak batu diterjang air laut, kuat dan kokoh. Pada akhirnya ia terseret juga dan terbawa oleh ombak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon retnosari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah pengkhianatan
“Aku harap kamu tidak gila karena malam-malam bermain hujan!”
Terdengar sosok suara laki-laki. Membuat Luna langsung mendongakkan kepalanya. Matanya yang sembab, bisa dilihat begitu jelas oleh mata indah dari pria itu.
“Jika kamu ingin marah, kenapa tidak menghampirinya. Lebih baik diselesaikan secara langsung,” ujar lelaki itu lagi.
“Pergilah, karena aku tidak membutuhkan celotehmu.” Dengan nada dingin Luna berkata, rasa dingin yang seharusnya ia rasakan. Kini berubah menjadi bara api di mana sedang menggerogoti hati dan pikirannya ketika pandangannya disuguhkan oleh sesuatu yang menyakitkan hati.
“Namun, aku harus membantumu. Tidak baik perempuan berada di pinggir jalan di tambah hujan semakin deras—,”
“Siapa yang butuh bantuanmu? Bahkan aku tidak menginginkannya.” Akhirnya Luna pun pergi karena tidak kuat melihat seseorang yang hidup dengannya selama bertahun-tahun bersama perempuan lain. Mengingkari janji yang sudah ditetapkan juga.
“Itu hanya sebatas kekasih, ‘kan? Tapi kenapa wanita itu tadi begitu kecewa sepertinya.” Begitu juga dengan lelaki bernama—Aroon, ia pun ikut pergi meninggalkan tempat dengan perasaan aneh di kepalanya, karena baginya wanita itu sedikit berlebihan. Menangisi seorang pria dengan status ‘kekasih’ sungguh sangat disayangkan. Begitulah cara berpikir Aroon.
Di rumah.
Pada saat Luna membereskan makanan yang sudah terlanjur dingin. Terdengar suara decit pintu. Itu artinya jika Arindra kembali.
“Sayang, kamu belum tidur? Maaf aku telat karena ada sesuatu yang darurat,” ucap Arin seraya membawa buket di tangannya dan memberikan pada sang Luna.
“Tidak masalah, aku tahu karena kamu adalah orang yang sibuk.” Jawab Luna, seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan seulas senyuman ia berikan kepada suaminya walau ketika matanya menatap wajah Arin begitu menyakitkan.
“Uhm, aku mendapatkannya. Meski harus keliling dan akhirnya ada satu toko yang menjualnya.” Arin pun memberikan buket itu kepada Luna, karena istrinya belum juga mengambil.
Rasa sesak semakin terasa ketika ia memegang buket tersebut, ingatannya kembali ketika sang suami bersama dengan seseorang seperti yang ia lihat beberapa jam lalu.
“Terima kasih,” ucap Luna, tetapi buket itu justru diletakkan di meja hingga membuat Arin sedikit kesal.
“Luna, aku lelah setelah bekerja. Aku tahu aku salah karena melupakan hari jadi pernikahan kita, jika kamu ingin aku melakukannya, … mari lakukan.” Ucapan Arindra langsung membuat Luna tersenyum, bukan, bukan senyum senang ketika suara ajakan didengarnya. Melainkan ia menertawakan dirinya sendiri seolah sedang mengemis sebuah kehangatan.
Luna yang mendengar itu, justru semakin tertawa terbahak-bahak. Benar, itu adalah bagian rencana awalnya. Namun, setelah semuanya terjadi kini Luna tidak menginginkan lagi. Hasratnya telah mati dan tergantikan oleh tusukan tepat mengenai jantungnya.
“Mas, apa wajahku terlihat jika marah soal itu?”
“Jika tidak marah, kenapa kamu mengabaikanku? Ketika aku pulang kamu buru-buru menyambutku, bahkan menuangkan minum untukku, tapi malam ini sikapmu berubah.” Dengan terang-terangan Arindra mengajukan protesnya terhadap Luna.
“Lantas, apa aku pernah marah padamu sampai detik ini? Aku berusaha menahan semuanya, berpura-pura baik-baik saja. Lalu, apa aku bagimu selama lima tahun ini huh, apa!”
Di saat kesabaran yang selalu ia simpan selama ini. Akhirnya Luna mengeluarkan semuanya usai melihat sang suami bersama perempuan di luar sana beberapa jam lalu. Wajah yang awalnya terlihat teduh kini berubah menjadi kekecewaan.
“Mari kita bercerai.”
Bagai dihantam oleh benda besar hingga Luna sulit bernapas usai mendengar pernyataan barusan. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Arin menginginkan perceraian. Apa ini adil bagi Luna? Sedang ia mati-matian mempertahan hubungannya karena mengira sang suami benar-benar mencintainya. Walau selama ini hasrat batinnya tak didapatkan sebagai perempuan normal.
“Apa katamu? Semudah itu kamu mengatakan ini padaku. Aku berusaha menutup mata, menutup telinga dari pandangan orang lain. Picik sekali kamu Mas!”
“Kamu terlalu baik untukku, aku tidak pantas mendapatkan istri sepertimu.”
Begitu juga Arin, beberapa kali meminta maaf. Namun, semuanya, ketika sudah terbongkar tak ada yang bisa dilakukan selain kata menyesal.
“Mas, kamu tersiksa bukan? Lalu bagaimana dengan aku, apa menurutmu aku tidak menyesal? Kamu egois, siapa orang yang menahanku sampai akhirnya aku jatuh ke dalam kefatalan ini? Jika tidak mencintaiku … seharusnya kamu juga tidak harus menyiksaku dengan cara menjijikkan,” ucap Luna panjang lebar.
Seharusnya sekarang mereka merayakan hari jadi pernikahan untuk yang kelima tahun, tetapi sebuah kejutan tiba-tiba membuat keduanya saling menyerang. Arindra tahu jika semua ini salahnya, ia juga tidak ingin menyiksa batin sang istri terlalu lama. Lepaskan, atau pertahankan. Itulah yang ada dibenaknya saat ini.
“Maaf aku telah menyiksamu selama ini, semakin aku berusaha untuk melupakan masa laluku dan selama itu juga aku tidak bisa menghapusnya.” Kata Arindra dalam hati yang tak bisa berbuat apa-apa selain meminta maaf. Tak berniat untuk terus hidup dengan Luna—wanita terbaik di dunia ini.
“Jika kamu tidak menginginkanku, seharusnya kamu juga tidak menahanku seperti ini. Tidak, aku tidak akan berpisah darimu.” Tangis pilu mengiringi hujan di tengah malam. luna pun memohon untuk Arin tidak menceraikan dirinya.
“Lun, apa menurutmu ini akan baik-baik saja. Aku rasa tidak dan akan semakin membuatmu lebih terluka lagi,” ucap Arindra karena baginya, tidak seharusnya Luna mendapat perlakuan darinya dan itu sudah lebih dari cukup.
Luna mengusap air matanya, tidak mudah baginya melupakan cinta pertamanya hingga menjadi pemenang di hidupnya. Namun, tidak dengan hatinya, karena pemenangnya tetap orang lama yang menguasai seluruh kehidupan Arindra.
“Kamu yang menahanku, meminta untuk tinggal di sini. Aku bisa melakukan itu semua asal kamu mengizinkannya,” balas Luna.
“Maaf, maaf … karena aku menjadi seorang lelaki pecundang.”
Dengan erat, Arin memeluk tubuh wanitanya. Rasa bersalah semakin mendalam, tetapi Luna juga tidak mau dilepaskan. Mungkin dengan memberikan kesempatan lagi untuk suaminya, ia berharap jika perselingkuhan itu tak akan pernah terjadi lagi.
Keesokan paginya.
“Lun, aku sudah membuatkanmu bekal. Jangan menunggu aku pulang, karena sepertinya akan pulang terlambat.” Kata Arin dengan posisi masih mengenakan celemek.
“Baiklah, kalau begitu aku akan ke rumah Aruna. Terima kasih juga untuk makanannya,” jawab Luna dengan senyum tampak dipaksaan.
“Uhm, kalau begitu selamat bersenang-senang.”
Luna menatap rumah yang selama ini ia tinggali. Tanpa kehadiran anak itu membuatnya terlihat sepi, bukan hanya itu. Sekarang hidupnya semakin hampa, seolah tidak terjadi apa-apa soal semalam. Bersikap seperti biasanya dan cukup memalukan baginya.
Hari ini Luna berniat izin untuk tidak mengajar. Ia butuh sebuah ketenangan dan disinilah ia berada. Di hamparan rumput yang luas, seraya menatap jernihnya air danau, Luna memutuskan untuk menghabiskan waktunya seorang diri, mencerna tiap kalimat soal semalam di mana Arindra tiba-tiba ingin menceraikannya.
“Apa keputusanku adalah pilihan tepat? Atau aku yang terlalu egois karena tidak bisa melepaskan dia!” Sejurus mata memandang. Luna terus saja dihantui oleh perasaan gelisah.
“Tidak, aku sudah melakukannya dengan benar. Dia yang sudah membuatku seperti ini, jadi aku juga tidak akan melepaskannya.” Suara lirih Luna dengan perasaan yakin, jika suaminya akan berubah.
Di ujung sana! Seorang lelaki tengah menatap Luna dengan seksama. Ia merasa jika wanita itu tidak asing baginya. Memutuskan untuk mencari tahu, dengan begitu barulah ia tahu sosok perempuan semalam atau bukan.
“Cih, ternyata benar.” Lelaki itu tersenyum menyangrai ketika melihat seorang wanita berdiri dengan wajah menyedihkan.
“Nona, aku harap kamu tidak bunuh diri dengan cara melompat ke danau.” Kata lelaki dengan pakaian casualnya.
Luna pun menoleh dan betapa terkejutnya ketika mengetahui sosok lelaki semalam, dan hari ini ia bertemu lagi.
“Apa terlihat menyedihkannya aku sehingga harus melompat?”
Yah, dia—Aroon How, datang ke indonesia untuk menemui saudara perempuannya tepatnya keponakannya. Lelaki itu hanya mengangkat kedua bahunya dengan posisi kedua tangan masih berada di dalam saku dan berkalungkan sebuah Kamera.
“Aku tidak tahu, karena yang merasakan adalah kamu.” Aroon menatap wajah sendu itu, terlihat menyedihkan walau harus berpura-pura tegar.
“Setidaknya aku sudah mendapatkan gambarnya,” gumam Aroon.