Saddam dan teman-temannya pergi ke desa Lagan untuk praktek lapangan demi tugas sekolah. Namun, mereka segera menyadari bahwa desa itu dihantui oleh kekuatan gaib yang aneh dan menakutkan. Mereka harus mencari cara untuk menghadapi kekuatan gaib dan keluar dari desa itu dengan selamat. Apakah mereka dapat menemukan jalan keluar yang aman atau terjebak dalam desa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1. Datang Ke Desa Lagan
Singgalang, Padang, 2008.
BAWAN- 7 Gadis Perawan yang bernama Anggita Sari (19 Tahun), Riska Aulia (18 Tahun), Hanifa Maudina (17 Tahun), Delmi Putri (17 Tahun), Marni Sinandar(14 Tahun), Via Purnama Sari (12 Tahun), dan paling kecil bernama Abel Tasnia(9 Tahun). Meninggal dunia dalam kecelakaan di jalan simpang tiga Lagan, AMP lama, Desa Tapian Kandih, Salareh Aia, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, sekitar pukul 05.30 WIB.
Kapolres Agam AKBP Ivan Irwansyah di dampingi kasat lantas IPTU Damrah Surendra menjelaskan, korban adalah warga Muaro Kandang, Lagan, dan Rimbo Laweh, Desa Tapian Kandih, Salareh Aia.
"Peristiwa tersebut terjadi atas tabrakan dari mobil pick up Mitsubishi L-300 berisi suplai makanan yang akan dikirim ke pusat kota dengan BA 1418 TZ, yang dikendarai oleh Muhammad Lutfi (32 Tahun), datang dari arah jalan Pasaman menuju jalan raya lintas Padang-Pariaman."
Sesampai di TKP, kendaraan dibagian depan tampak penyok, dua ban depan sudah masuk ke dalam parit di tepi jalan, mobil bagian depan itu menghimpit enam gadis sekaligus, sedangkan yang satu lagi terpelanting ke jalan raya.
"Akibat dari kecelakaan tersebut, korban mengalami luka berat, satu orang langsung meninggal dunia di TKP, dua orang meninggal dunia di jalan, saat hendak dibawa ke rumah sakit Bawan, tiga orang lagi meninggal di rumah sakit Bawan, sedangkan satu orang lagi, sempat di rawat di rumah sakit M-Jamil Padang selama tiga hari, namun tak terselamatkan."
Menurut kesaksian dua teman korban yang selamat dari kecelakaan maut, mobil pick up Mitsubishi L-300 itu mengejar mereka dengan laju cepat.
"Saat kami marathon bersama, dari depan kami melihat ada mobil. Tetapi mobil itu terlihat bergerak aneh, seharusnya ada dibagian kanan, tapi mobil malah menyebrang ke arah kiri, ke sebelah kami," tutur Leli (18 Tahun)
"Saat itu, Kak Leli langsung berteriak menyuruh kami menepi, kami semua sudah menepi, bahkan kami sudah melompat ke seberang parit, tetapi mobil melaju dengan cepat ke arah kami, hiks ... hiks ... aku yang berada di paling belakang saat itu, melihat temanku tertabrak di depanku hanya berjarak beberapa senti meter, aku takut sekali, aku menangis histeris, hingga Kak Leli menarik tanganku dan kami meminta tolong. Waktu itu, Mesjid masih ramai dengan Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang baru selesai tadarusan selesai sholat subuh," kata Sherly (16 Tahun) sambil menangis.
Dari kesaksian dan bukti dari TKP, sang sopir dinyatakan lalai dalam mengemudi (mengantuk saat mengemudi) hingga dia diputuskan kurungan di dalam penjara dan ganti rugi.
Setelah sebulan kejadian kecelakaan maut yang menyebabkan 7 kematian Gadis Perawan. Silih berganti terjadinya kecelakaan yang menewaskan para pemuda yang melewati jalan itu, rentang usia 10 tahun hingga 25 tahun selama satu tahun terakhir.
Mulai dari jatuh dari atas atap mobil oplet, ditabrak saat menyebrang, terjatuh dan terguling-guling saat menaiki mobil oplet, kecelakaan sepeda motor, dan lainnya. Pemuda yang meninggal bukan hanya warga sekitar desa Lagan, Amp, Muaro Kandang, Tapian Kandih, dan sekitarnya, namun berbagai pemuda dari daerah lain yang melewati jalan itu.
Hingga semenjak itu, warga sekitar melakukan do'a bersama dengan dipimpin oleh Ustadz, untuk melakukan doa menolak bala dan dijauhkan dari musibah.
Semua Masyarakat bersama-sama berdo'a dan berkeliling kampung.
**Lagan, 2015**.
Terik panas matahari pagi, menjelang jam 11 siang sangatlah pedih menusuk kulit. Ada empat orang pemuda kelas 2 SMK bersama guru pembimbingnya, tengah berjalan kaki menuju rumah kepala jorong/desa (Pak RT).
Mereka di turunkan melebihi simpang tiga oleh bus umum. "Hah, capeknya! Kenapa, sih! Mobil bus tadi nurunin kita di sana? Nggak pas di simpang jalan aja? Kalau gini, kita harus jalan muter mundur lagi," protes salah satu pemuda berbadan kerempeng, rambut ikal bergelombang, dengan gigi yang sedikit mencangkul keluar alias tonggos.
"Udah lah Diro, namanya juga bus umum. Untung aja kita nggak di turunin disimpang satunya lagi, lebih jauh kita jalan," balas Pemuda berkulit putih, rambutnya berdiri-diri, pendek, lurus, dan hitam, badannya sedikit gembul menggemaskan, tetapi dia cukup tinggi.
"Tapi 'kan capek dan panas, Gung!" Masih saja protes.
Yang kurus bernama Diro Haryo, sedangkan berkulit putih ini bernama Agung Sedayu. Lalu di sebelahnya, seorang pemuda pendiam, tatapan mata tajam, tubuh atletis, rambut panjang berponi, gaya urakan dan gaul, namanya adalah Saddam Mousen.
"Udah, udah, kalian ini, ngapain sih ribut. Baru juga sampai di desa Lagan, udah berdebat," ujar Viko Pratama. Pemuda paling tampan diantara mereka berempat, mudah tersenyum dan ramah.
Guru pembimbing hanya diam saja, tak banyak bicara, dia hanya memilih berjalan dengan diam karena lelah dan panas. Rumah di daerah ini sedikit berjarak-jarak, tak sama dengan rumah di kota yang beradu dinding.
Kurang lebih mereka berjalan selama 15 menit, barulah mereka sampai di sebuah rumah semi permanen, rumah yang dibawahnya batu bata, namun di atasnya dengan papan dan atap seng.
"*Assalamu'alaikum*," kata Guru Pembimbing mengucapkan salam.
Toktoktok! "*Assalamu'alaikum*." Guru Pembimbing kembali mengetuk pintu yang tertutup dan mengucapkan salam.
Tak lama terdengar suara sahutan dari dalam. "*Wa'alaikumsalam*."
Seorang ibu paruh baya membuka pintu rumah dan menatap mereka berlima.
"Permisi, apakah ini rumah Kepala Jorong?" tanya Guru Pembimbing ramah.
Ibu itu kemudian membuka pintunya lebar. Berjalan dua langkah ke depan. "Iya, benar. Silahkan duduk dulu," ucapnya dengan mengedepankan tangannya ramah, mempersilahkan mereka semua duduk di kursi yang terbuat dari kayu dan sebagiannya dari rotan di depan teras.
"Tunggu ya, Ibu akan memanggil Bapak dulu, di belakang," pamitnya.
"Iya, Buk," sahut mereka semua ramah dan menganggukkan kepala.
Tak lama, muncul 'lah pria paruh baya menggunakan sarung dengan short shirt berwarna kuning, kopiah berwarna hitam. Wajahnya berkumis lebat dengan bola mata bulat besar.
Guru pembimbing langsung menyalami bapak itu, yang diiringi juga oleh empat muridnya.
"Perkenalkan, saya Anisa Lulu, Guru SMKN 1 Kartika Raya Padang. Ini murid-murid saya, bernama Diro, Agung, Viko, dan Saddam," tunjuk Bu Anisa bergantian pada murid-muridnya.
Pak Jorong mengangguk. "Salam kenal anak muda. Saya Pak Syaf," jawab Kepala Jorong itu. "Dan dia istri saya, Bu Net," lanjutnya lagi memperkenalkan diri, saat Bu Net membawa nampan air putih di dalam teko dengan 5 gelas, serta roti biskuit kelapa di dalam piring.
Bu Anisa tersenyum ramah sambil mengangguk.
"Ada perlu apa Nak Anisa? Apa ada yang bisa kami bantu?" tanya Pak Syaf *to the point*.
"Oh, begini Pak. Berhubungan karena susah nya menemukan lowongan untuk mencari pengalaman di daerah kota Padang, kami memutuskan untuk bertanya-tanya dan mencari informasi. Murid-murid saya mengambil jurusan Teknik Survei dan Pemetaan, di kota tidak ada lagi pembangunan dan pelebaran jalan ataupun pembuatan jembatan. Jadi, kami menelusuri daerah ini yang sedang pelebaran jalan."
"Untuk itu, kami meminta bantuan dan izin Pak Syaf, untuk mengizinkan anak-anak menetap dan tinggal di desa Lagan selama mereka melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL). Kami telah mengirim lamaran permohonan pada PT. Sen Padang, ini surat persetujuannya," ucap Bu Anisa menunjukkan surat dari pihak pengelola untuk memperluas jalan raya.
Pak Syaf membaca surat itu dengan mengangguk. "Baiklah. Lalu, apakah mereka semua sudah mendapatkan tempat tinggal?" Pak Syaf menatap Bu Anissa.
"Sudah Pak, di rumah Buk Raisyah. Saya sudah berkomunikasi dengannya di telepon kemarin malam. Setelah ini, kami akan mendatangi rumah beliau," terang Anisa.
"Oh, syukurlah kalau begitu. Kalian cukup tinggalkan foto copy Kartu Keluarga (KK) dan fotocopy izin PKL di sini saja untuk dokumentasi."
"Baik, Pak."
Setelah berbincang-bincang dengan Pak Syaf dan Bu Net. Kini, sampailah mereka di rumah yang cukup besar. Rumah bercat biru tua yang telah pudar dan sebagian sudah terkelupas. Bunga-bunga di teras rumah itu sudah banyak mati, rumput-rumput di halaman kering kerontang, halamannya berpasir kerikil yang mengkilat dan menyilaukan.
Toktoktok! "Assalamu'alaikum," panggil Bu Anisa.
"Wa'alaikum salam." Terdengar suara menggigil menyahut, seperti suara seorang nenek-nenek.
Dan benar saja! Muncul lah seorang nenek-nenek bungkuk dengan rambut yang sudah beruban, bersanggul, kulit berkeriput, pipi sudah mencekung, dan tentu saja giginya sudah ompong, hanya tersisa dua gigi besar di bagian depan, salah satunya berwarna emas.
Nenek itu tersenyum senang, menunjukkan gigi emasnya. "Hehehe, kamu Bu Anisa, ya?" tanya Nenek itu mengelus punggung tangan Anisa yang langsung menyalami dirinya.
Empat muridnya juga ikut menyalami nenek itu.
"Iya, Nek. Apa Nenek yang bernama Bu Raisyah, saya temannya Kak Delvia?" tanya Bu Anisa dan nenek pun menjawab dengan mengangguk.
"Mari, silahkan masuk." Nenek itu melangkah dengan membungkuk, berjalan perlahan ke ruang tamu yang ada sofa lama dengan motif garis-garis, berwarna coklat tua dan coklat muda seperti kopi susu.
Mereka berlima pun masuk dan duduk di sofa. "Mari bantu Nenek Nak Nisa," ajak Nenek pada Bu Nisa. Mereka berdua berjalan ke arah dapur.
Rumah ini terasa aneh, bulu-bulu kuduk Diro dan Agung berdiri, seolah ada yang menghembus tengkuknya. Mereka merinding dan mengelus tengkuk itu.
Karena takut, Diro dan Agung duduk merapat pada Saddam dan Viko. Membuat Saddam mendengus dan Viko mendelik tajam.
"Ngapain sih duduk rapat, gerah tau, panas!" protes Viko.
"Aku–" ucapan Diro langsung terdiam, karena dia melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya lebih berdiri seketika.
"Kau kenapa?" tanya Agung menatap Diro dan melihat arah tujuan pandangan Diro.
Agung meneguk salivanya seketika, nafasnya terasa sesak. Dia semakin merapat, bahkan sudah memeluk lengan Saddam. "Ah, apa-an sih!" dengus Saddam kesal.
"I-itu!" tunjuknya dengan bibir.
"Itu apa-an sih?" tanya Viko yang juga sudah kesal melihat tingkah laku Diro yang menempel pada nya, seperti Agung yang menempel pada Saddam.
Viko dan Saddam pun menoleh pada arah tujuan kedua temannya itu. Lalu mereka berkata serempak. "Ooh, kuburan. Dari tadi sih kita sudah melewati beberapa kuburan, kok baru sekarang kagetnya." Saddam melepaskan tangan Agung.
"Hah? Beneran?" tanya Diro dan Agung bersamaan.
"Iya, di rumah Pak Syaf tadi juga ada kuburan, di samping teras, di dekat pohon tabu miliknya, ada dua kuburan," jawab Viko santai.
"Apa!" Agung dan Diro semakin merinding karena takut.
Dua pemuda itu memang penakut, sedangkan Viko dan Saddam sedikit berani.