Si Kucing Kecil

...୨ৎ R E M Y જ⁀➴...

Begitu Rainn dikawal keluar dari kantor, aku pun langsung duduk di balik meja kerjaku. Mataku langsung menyorot ke Amilio yang sedang ketakutan.

Dia baru umur dua puluh satu waktu menggantikan Binsar. Tapi tujuh tahun terakhir, pekerjaan yang dia lakukan enggak ada setengahnya dari apa yang Binsar bisa kerjakan dulu. Ditambah lagi, dia punya masalah judi yang mulai menggerogoti duitku.

“Aku dengar kamu suka nongkrong di Midnight Heavens,” gumamku. Klub stripper itu, tempat usaha pertama yang aku buka, jadi aku punya koneksi khusus sama tempat-tempat seperti itu.

Klub itu punya tiga bagian. Heaven, tempat orang cuma bisa nonton wanita-wanita seksi menari. Angel, tempat semua perbuatan dosa terjadi. Dan ruang judi di bagian ketiga, namanya Purgatory. Aku enggak perlu jelaskan, karena itu tempat yang bakal menguras isi dompet.

“Iya, Tuan,” jawab Amilio.

Dia mau duduk di kursi, di samping meja, tapi Benny langsung taruh tangan di dadanya, menggeleng pelan. Karena enggak ada yang boleh duduk di hadapan aku, kecuali nama belakang mereka Arnold, Delaney, Baek, Rose, atau Kim.

“Berapa utangnya?” tanyaku.

Aku sebenarnya tahu persis jumlahnya, tapi aku enggak mau kasih Amilio kesan, kalau aku peduli sama hidup dia.

“Hampir empat miliar,” jawab Benny.

Alisku naik, kepala menggeleng pelan.

Keringat langsung menetes dari pelipis Amilio. “Aku bakal bayar. Secepatnya.”

“Iya, kamu bakal bayar,” kataku datar. “Hari ini.”

Matanya melebar. “Aku enggak bisa dapetin duit secepat itu.”

Wajahku tetap dingin. “Itu urusanmu.”

Benny maju satu langkah dengan aura mengancam, membuat Amilio gelagapan. “Aku bakal bayar. Kasih waktu sebulan.”

Mataku menyipit.

Tatapannya bolak-balik antara aku sama Benny, terus dia menambahkan, “Aku satu-satunya keluarga yang Rainn punya. Tolong kasih aku sebulan. Aku janji bisa dapetin duit itu.”

Alasan basi. Biasanya semua orang bicara seperti itu beberapa jam sebelum aku bunuh. Tapi, mendengar kata 'Rainn', aku langsung berubah haluan. Aku selama ini sibuk, sampai enggak sadar kalau gadis kecil itu sudah tumbuh jadi perempuan cantik.

Aku sudah terbiasa membuat orang ketakutan saat melihatku, tapi melihat teror di mata Rainn tadi, entah kenapa, itu bikin titid aku langsung keras. Reaksi yang jarang sekali aku alami.

Aku jadi penasaran bagaimana rasanya membunuh dia sesuai kehendak aku. Kehidupan seks aku sehat, tapi akhir-akhir ini semua cewek rasanya sama saja. Membosankan. Ditambah lagi om-ku yang sudah mulai berisik, katanya sudah waktunya aku untuk menikah.

Terus, muncul si kucing kecil yang ketakutan di depanku, dan mata dia bikin detak jantungku enggak karuan.

“Rainn udah dua puluh tiga tahun,” kataku.

Amilio pun kaget, terus wajahnya malah terlihat lega. “Iya.”

“Dia udah cukup umur buat nikah.”

“Iya.” Amilio mengangguk-angguk. “Aku cuma nunggu dia umur dua puluh lima dulu baru aku bolehin dia nikah.”

Aku pun tertawa, “Emang kamu pikir siapa kamu, sampai bisa ngatur pernikahnya? Hahaha. Apa kamu udah menggantikan kita sebagai Boss?” Aku angkat tangan.

Mata Amilio langsung melotot lagi. “Eng—enggak gitu, Tuan.”

Kenapa harus menunggu dia umur dua puluh lima?

Aku simpan pertanyaan itu untuk nanti. Benny bisa menyelidiki kehidupan pribadi Rainn setelah urusan sama kakaknya selesai.

Aku sandarkan siku di meja, badan maju sedikit. “Kamu enggak punya hak buat ngatur pernikahan Rainn tanpa restu dari aku.”

Aku mau menikmati perempuan itu dulu, sebelum dia dikasih ke orang yang aku anggap pantas.

Amilio buru-buru mengangguk. “Terus tentang utang, Tuan. Sebulan cukup?”

"Untuk kali ini" Aku mengangguk pelan, terus tunjuk pintu, menyuruhnya pergi.

Begitu dia keluar, aku menengok ke Benny. “Aku mau tahu semua hal tentang Rainn Margot.”

“Iya, Bos.” Benny diam sebentar, lalu bertanya, “Terus, gimana dengan mayat Jowan?”

“Bawa ke rumahnya, biar keluarganya bisa nguburin.” Aku keluarkan HP dari saku jas, “Bayarin biaya pemakaman, kasih delapan ratus juta buat istrinya. Tuhan tahu, dia butuh itu.”

Big Jonny masuk ke kantor begitu Benny keluar. “Cewek itu udah pergi sama kakaknya,” katanya.

Aku cuma mengangguk, sambil cek e-mail dan pesan-pesan di meja.

“Kayaknya dia enggak bakal buka mulut,” tambah Jonny.

Aku mengangguk lagi, mataku pindah ke jadwal rapat Selasa jam lima sore. Tiap dua minggu sekali, lima Penguasa Marunda berkumpul. Awalnya untuk menjaga perdamaian, tapi makin ke sini kita menjadi seperti sahabat. Sekarang malah main poker sambil bahas bisnis.

Sebenarnya sepupuku yang harus duduk di kursi Arnold di Marunda, tapi dia dibunuh oleh kartel Black Lotus saat mereka mencoba masuk ke North District.

"Sudah lima belas tahun, ya?" tanyaku dalam hati.

Pantas saja Om Deth mulai cerewet tentang pernikahan. Dia takut kalau aku keburu mati sebelum meninggalkan pewaris buat keluarga Arnold.

Masalahnya, wanita-wanita dari keluarga yang pantas bersanding denganku, kebanyakan sudah lebih tua dari aku atau malah masih sekolah. Om sempat mencomblangkanku sama Merry, anak keluarga yang punya kekuasaan tertinggi di East District. Tapi itu enggak akan pernah terjadi. Cewek itu enam tahun lebih tua dari aku, plus sinting.

Tiba-tiba, muka cantik Rainn muncul di kepalaku. Aku menggeleng cepat, karena keluarga Margot levelnya jauh banget di bawah Arnold. Tapi, setidaknya dia orang Santoro juga. Aku menggeleng lagi, malas banget kalau sampai Amilio jadi ipar.

Mataku pun turun ke tangan kanan, jari-jariku mengelus pelan, ingat bagaimana lembutnya rambut Rainn di tanganku tadi. Dia sempat meringkuk, seperti mengira kalau aku bakal pukul dia. Karena cewek cuma akan bereaksi seperti itu kalau sudah pernah dipukul sebelumnya.

Mataku menyempit, pikiran melayang ke orang tuaku. Sebelum mereka meninggal, Papa sering memukuli Mama. Dunia tempat aku tumbuh membuatku jadi keras, tapi satu hal yang aku janji kepada diriku sendiri, "Aku enggak akan pernah mukul perempuan."

Bayangan Rainn yang ketakutan masih terbayang jelas. Jari-jariku pun mengetuk meja, kepalaku penuh sama dia. Badanku dua kali lipat ukurannya. Wajahnya berbentuk hati, dikelilingi rambut cokelat keemasan yang terlihat liar. Mata kucingnya yang membuatku susah lepas darinya.

Cewek itu cantik banget.

“Bos?” Big Jonny coba menarik perhatianku.

Aku hampir lupa kalau dia masih ada di kantor. Aku menggeleng, buang pikiran tentang Rainn Margot, terus masukkan HP ke saku. “Ayo ke Klub!"

Setiap hari aku dikelilingi cewek-cewek cantik, tapi enggak ada satu pun dari mereka yang bisa bikin aku segila ini, seperti si Rainn, dengan rambut liar dan mata kucingnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!