Saat di perjalanan turun, Fanda mulai merasa pusing dan badannya terasa panas. Dalam hati ia bergumam,
“Kenapa aku pusing begini ya?”
Tubuhnya semakin lemas dan langkahnya mulai goyah.
Zul, yang sedari tadi menemaninya, melihat kondisi itu. Ia dengan cepat menggenggam tangan Fanda, seolah ingin membantunya berdiri tegak. Namun bukannya membawa Fanda ke mobilnya sendiri, Zul justru menarik Fanda menuju mobil miliknya.
Beruntung, Andre yang berada di dalam mobil Fanda melihat kejadian itu. Ia langsung keluar dan berlari ke arah mereka.
“Hey! Mau dibawa ke mana nona Fanda?” serunya dengan nada tegas.
Zul menatapnya tajam.
“Siapa kamu?”
“Aku temannya Fanda,” balas Andre, menahan emosi.
“Aku nggak ada urusan sama kamu. Aku mau bawa Fanda pulang, aku ini pacarnya. Kamu bukan siapa-siapa.”
Andre sempat terdiam, bingung harus berbuat apa. Tapi dari genggaman Zul, Fanda mencoba bersuara lemah,
“Mas... Andre... tolong aku...”
Tanpa pikir panjang, Andre langsung melayangkan pukulan keras ke wajah Zul.
Phuuukkk!
Suara hantaman itu membuat Zul terhempas ke tanah. Andre segera membopong Fanda menuju mobilnya dan membawanya pergi dari sana.
Zul yang tersungkur di tanah menggertakkan giginya.
“Sial! Rencanaku gagal gara-gara pria itu. Tunggu saja... akan kubalas semuanya!”
Dalam perjalanan pulang, Andre menatap Fanda yang bersandar lemah di kursi penumpang.
“Mbak Fanda nggak apa-apa?” tanyanya khawatir.
“Kepalaku pusing... badanku panas...” jawab Fanda lirih.
“Kalau begitu, aku bawa ke rumah sakit aja ya?”
“Nggak usah... ke apartemenku saja,” ujarnya pelan.
Setiba di lobi apartemen, Andre tanpa pikir panjang menggendong Fanda menuju kamarnya. Saat tiba di kamar, Fanda tiba-tiba menarik tubuh Andre. Andre terkejut.
“Mbak Fanda, kenapa ini?”
“Mas... tolong aku... aku merasa aneh, tubuhku nggak enak sekali.”
Andre bingung harus berbuat apa.
“Saya harus gimana, Mbak?” tanyanya.
Fanda menatapnya dengan mata berair, menahan gelisah dan rasa tak terkendali.
“Mas... aku nggak tahu kenapa... tapi aku merasa aneh. Tubuhku seperti nggak bisa aku kendalikan. Ini pasti ulah Zul…” katanya sambil terisak.
Andre melihatnya dengan rasa iba. Ia tahu Fanda sedang tidak sepenuhnya sadar, tapi rasa iba dan bingung membuatnya sulit berpikir jernih.
Fanda masih memegangi dadanya, napasnya berat.
“Mas… aku benar-benar nggak tahu kenapa tubuhku terasa panas seperti terbakar” ucapnya lirih, matanya mulai berkaca-kaca.
Andre menatapnya dengan cemas. “Tenang, aku di sini. Tarik napas pelan, ya.”
Namun Fanda justru semakin gelisah. Tangannya refleks meraih lengan Andre, menahannya agar tak menjauh.
“Mas jangan pergi... aku takut,” katanya pelan, hampir berbisik.
Andre terdiam. Ia bisa merasakan suhu tubuh Fanda yang semakin tinggi, wajahnya memerah, dan matanya bergetar menahan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
“Mas... tolong aku...” suaranya begitu lemah, nyaris seperti rengekan.
Andre menggenggam tangan Fanda, berusaha menenangkan.
“Aku di sini mbak. Aku nggak akan ninggalin kamu,” ucapnya lembut.
Sesaat mata mereka bertemu ada kebingungan, ada perasaan yang selama ini mungkin tak disadari. Dalam diam, jarak di antara mereka semakin mendekat.
Fanda menatap Andre dengan tatapan memohon, dan tanpa sadar fanda menariknya ke dalam pelukan.
Andre sempat terkejut, tapi tak kuasa menolak. Yang awalnya hanya dorongan emosi berubah menjadi kehangatan, bukan karena nafsu semata, tapi karena keinginan untuk menenangkan.
Suara hujan di luar jendela menambah keheningan malam itu. Andre memeluknya perlahan, mencoba memberi rasa aman, sementara Fanda menyandarkan diri di dadanya, air matanya masih menetes.
Waktu berjalan perlahan… hingga akhirnya, kelelahan membuat keduanya terlelap dalam suasana tenang dan penuh kehangatan.
matahari pagi mulai menembus tirai jendela apartemen itu. Fanda terbangun perlahan, matanya terasa berat. Saat menyadari dirinya tertidur di pelukan Andre, wajahnya langsung memucat.
Ia menatap ke arah tempat tidur yang berantakan, lalu cepat-cepat menyingkir, bangkit dan menuju kamar mandi dengan langkah tergesa. Air di wastafel ia cipratkan ke wajah, mencoba menenangkan diri, tapi bayangan semalam masih terus menghantui pikirannya.
Dari tempat tidur, Andre mulai tersadar. Tatapannya kosong sesaat sebelum akhirnya ia sadar Fanda sudah tidak ada di sebelahnya. Ketika melihat kondisi kamar yang berantakan, tubuhnya menegang.
‘Astaga… apa yang sudah terjadi semalam?’
Dengan panik, Andre segera berdiri dan mengetuk pintu kamar mandi.
“Mbak… Fanda, kamu nggak apa-apa?”
Dari dalam terdengar suara lirih,
“Iya, Mas Andre… aku nggak apa-apa. Tunggu sebentar, ya.”
Beberapa menit kemudian, Fanda keluar mengenakan pakaian bersih, wajahnya terlihat lelah tapi sudah lebih tenang. Ia duduk di sofa, menatap lantai tanpa berkata apa-apa. Andre perlahan duduk di sebelahnya.
“Mbak… aku minta maaf. Aku nggak tahu kenapa semua bisa terjadi seperti ini,” ucap Andre lirih.
Fanda menggeleng pelan.
“Bukan salah kamu, Mas. Aku tahu... aku juga nggak bisa mengendalikan diri waktu itu. Pasti ini efek dari apa yang dilakukan Zul…” suaranya bergetar.
Andre hanya menatapnya dengan penuh rasa bersalah. Ia ingin bicara, tapi tak tahu harus memulai dari mana.
Setelah lama diam, Fanda perlahan bersandar ke bahu Andre.
“Mas Andre… kalau ternyata kita harus menanggung akibat dari malam itu, kamu masih mau tanggung jawab?” tanyanya pelan.
Andre menatapnya, lalu mengangguk mantap.
“Iya, aku akan tanggung jawab. Aku nggak akan ninggalin kamu,” ucapnya dengan lembut sambil mengelus kepala Fanda.
Fanda tersenyum tipis, seolah sedikit lega. “Kalau begitu… mulai sekarang kamu bukan cuma supirku lagi, ya. Aku mau kamu jadi manajer pribadiku,” ujarnya sambil tersenyum kecil.
Andre menatapnya bingung.
“Jangan, Mbak. Aku nggak masalah tetap jadi supir, aku nggak punya bakat di kantor.”
“Ya sudah, terserah kamu aja. Yang penting kamu nyaman.”
Beberapa detik hening. Lalu Fanda menatapnya lagi, kali ini dengan tatapan hangat.
“Mas… terus hubungan kita sekarang apa?”
Andre terdiam sebentar, lalu menjawab, “Maunya kamu apa?”
“Maunya... pasangan suami istri,” jawab Fanda sambil tersenyum kecil dan menunduk malu.
Andre tersenyum, menepuk lembut tangan Fanda.
“Aku nggak mau ngebebanin kamu. Aku kumpulin uang dulu ya, baru aku datang ke orang tuamu.”
“Aku siap nunggu, Mas,” balas Fanda.
“Berarti kita udah pacaran dong?” Andre tersenyum sambil mengelus rambutnya.
“Iya....Kalau begitu, jangan panggil aku ‘Mbak’ lagi.”
“Terus mau dipanggil apa?”
“Panggil aja… sayang.”
Andre terkekeh pelan.
“Oke, sayang.”
Fanda tersenyum bahagia.
“Gitu dong, enak didengar.”
“Sayang, kamu nggak masuk kerja hari ini?” tanya Andre.
“Aku masuk, Sayang.”
“Kalau gitu, sana ganti baju. Habis itu kita langsung berangkat.”
Selama di perjalanan menuju kantor, Fanda terus bersikap manja pada pacar barunya itu. Meski mereka berbeda kasta, tapi rasa cinta di antara mereka terasa begitu nyata.
“Sayang, aku masuk duluan ya,” ucap Fanda begitu sampai di kantor.
“Iya, Sayangku,” jawab Andre dengan senyum lebar.
Sekretarisnya Indah, yang melihat perubahan sikap Fanda, langsung penasaran.
“Tumben bahagia banget, kayak dapet lotre aja. Cerita dong,” godanya.
“Ada deh, nanti juga kamu tahu,” jawab Fanda sambil tersenyum simpul.
“Wah, udah main rahasia-rahasiaan nih,”
ujar Indah sambil tertawa kecil.
“Wleee~” Fanda menjulurkan lidah lalu masuk ke ruang kerjanya.
Baru dua jam di dalam ruangan, Fanda sudah mulai gelisah. Ia menatap ponselnya berkali-kali.
“ Lagi apa ya Mas Andre? Apa kuhubungi aja?” batinnya.
Tuutttt… tuutttt…
“Halo, Sayang, lagi apa?” tanya Fanda manja.
“Ini lagi ngopi bareng satpam, Sayang. Kenapa?” jawab Andre.
“Aku kangen nih. Masuk dong ke ruanganku.”
“Emangnya nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa kok.”
“Baiklah, aku ke sana, Sayang.”
Andre segera menuju ruangan bosnya, yang kini juga kekasihnya.
Di lobi kantor, Indah berpapasan dengannya.
“Mau ke mana, Mas Andre?” tanyanya penasaran.
“Saya mau ke ruang Bu Fanda.”
“Mau dianterin nggak?”
“Nggak usah, Mbak. Saya bisa sendiri.”
Begitu sampai di depan ruangan, Andre mendengar suara Fanda sedang memarahi karyawan-karyawannya.
“Kalian kerja kayak gini aja nggak becus! Mau saya pecat semua, hah?”
“Tolong jangan pecat kami, Bu,” pinta salah satu dengan wajah takut.
“Kalau hari ini belum selesai, lebih baik kalian urus surat pengunduran diri!”
“Baik, Bu. Kami akan segera memperbaikinya.”
“Cepat keluar! Kalian bikin hari aku jadi buruk!”
Begitu karyawan itu keluar, Andre berdiri ragu di depan pintu.
“Duh, apa aku masuk sekarang ya? Tapi kalau nggak, nanti Fanda marah lagi. Ah, masuk aja deh.”
Andre mengetuk pintu pelan.
“Selamat siang, Bu Fanda.”
Wajah Fanda yang tadi tegang langsung berubah cerah begitu melihat Andre.
“Sayang!” serunya sambil setengah berlari memeluk Andre.
Andre tersenyum menatapnya.
“Kenapa kamu cemberut gitu?”
“Ini gara-gara karyawan-karyawan itu, bikin kerjaanku berantakan.”
“Yang sabar ya, Sayang,” jawab Andre sambil memeluknya dan merapikan rambut Fanda.
Mereka berdua larut dalam pelukan, tapi tiba-tiba pintu terbuka. Indah berdiri di sana,matanya membulat kaget melihat pemandangan itu.
Dengan cepat, Fanda dan Andre melepaskan pelukan dan berpura-pura seperti tak terjadi apa-apa, padahal keduanya tahu… rahasia itu sudah terlihat jelas oleh Indah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Rena Ryuuguu
Ceritanya sangat menghibur, thor. Ayo terus berkarya!
2025-10-10
0